Bagian 13

2.7K 253 10
                                    

Suara decitan ban mobil dengan aspal terdengar cukup kencang. Orang didalam mobil itu langsung turun begitu menyadari dirinya hampir saja menabrak seseorang.

Keterkejutannya bertambah dua kali lipat saat menyadari siapa orang yang hampir dia tabrak.

"Ya Tuhan, Den Juan. Saya cariin dari tadi, Aden kemana saja?" Si sopir langsung menghampiri Juan. Sementara Juan masih dalam mode syok nya.

"Wajah Aden kenapa?" Si sopir berubah panik saat melihat wajah Juan yang penuh lebam.

"Bukan apa-apa, Pak. Ayo kita pulang"

Pak Asep —si sopir— mencoba membantu memapah Juan menuju mobil. Kentara sekali jika anak itu kesakitan, terbukti dari tangannya yang tidak henti memegang perutnya sambil sesekali meringis.

Bahkan di perjalanan pulang hingga sampai ke rumah pun, Juan terlihat diam saja. Pak Asep ingin bertanya, namun dia segan.

Begitu sampai dikamarnya, Juan langsung menyimpan akta dan buku nikah itu di dalam laci yang ada disamping tempat tidurnya. Juan lega, setidaknya dua barang itu ada ditangannya. Meski sebagai gantinya, Juan harus merasakan sakit di sekujur tubuhnya.

Kemudian Juan beralih membuka jaket hitam yang tadi dia kenakan, lalu menyingkap kaus putih polos yang melekat ditubuhnya. Ada lebam keunguan berukuran cukup besar di perut sebelah kirinya. Belum lagi lebam yang ada di kedua sudut bibirnya. Semoga saja tidak ada yang menyadarinya.

*

Juan telah selesai membersihkan dirinya saat acara makan malam akan dilakukan. Seperti biasa, dia duduk dikursi samping Mada. Juan mengaduk makanannya tanpa selera. Nafsu makannya hilang karena rasa sakit yang tidak kunjung hilang diarea perutnya.

Hal itu tidak lepas dari perhatian Mahesa. Dia melihat bagaimana piring anak bungsunya itu masih terisi penuh, bahkan mungkin baru beberapa suap saja yang Juan makan. Kemudian alisnya berkerut melihat sesuatu yang janggal pada wajah putranya.

"Juan, ada apa dengan wajahmu? Kamu bertengkar?" Tanya Mahesa saat matanya tak sengaja melihat lebam disudut bibir anaknya.

Juan tidak menjawab. Dia menundukkan kepalanya tidak berani menatap Mahesa.

Kebungkaman Juan lantas membuat Mahesa menghela nafas. Pegangannya terlepas pada sendok dan garpu di kedua tangannya.

"Juan, tolong jangan membuat masalah. Papa tidak ingin mendengar David dipanggil pihak sekolah karena kamu bertengkar. David sudah cukup repot dengan masalah kantor, tolong kamu jangan tambah-tambah masalah"

Juan menelan salivanya kasar. Tadinya dia pikir Papanya cukup perduli terhadap dirinya, tapi ternyata tidak. Papanya hanya perduli pada urusan kantor saja. Sekarang nafsu makan Juan sudah benar-benar hilang. Fisik dan hatinya sama-sama sakit.

Esok harinya saat bangun tidur, Juan merasa tubuhnya benar-benar remuk. Bahkan saat Juan menggerakkan sendinya, semuanya terasa sakit. Lebih parah lagi dibagian perutnya, Juan rasanya ingin pingsan saja.

Tapi meski begitu Juan tetap pergi ke sekolah. Meski dengan wajah pucat dan keringat dingin yang tidak berhenti keluar dari tubuhnya.

Pak Asep sebenarnya menyadari ada yang salah dengan Juan, tapi saat Pak Asep menanyakannya, anak itu hanya berkata bahwa dirinya sedikit pusing. Pak Asep tidak berani bertanya lebih.

Saat sampai dikelasnya Juan sudah disuguhkan dengan atensi Tommy dan teman-temannya. Entah apa yang mereka lakukan dikelasnya, mengingat mereka adalah kakak kelas Juan. Jelas kelas mereka berbeda.

Oh ayolah, Ini masih pagi. Batin Juan menggerutu.

Bukan apa-apa. Jika saja tubuhnya dalam keadaan baik, Juan mungkin bisa menerima apapun yang akan Tommy lakukan padanya. Tapi kali ini berbeda, tubuh Juan sedang tidak dalam kondisi baik-baik saja. Begitupun hatinya.

SURRENDER (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang