Bagian 10

2.9K 269 11
                                    

Rooftop menjadi tempat favorit bagi beberapa kalangan siswa. Selain menyuguhkan pemandangan kota yang indah, mereka juga menghindari hingar bingar kantin di jam istirahat.

Seperti halnya Tommy dan teman-temannya. Mereka duduk di bangku bekas yang ada di rooftop itu. Menunggu temannya yang lain yang sedang mencari mainannya. Tommy sudah gatal ingin segera main-main dengan mainannya.

Yang ditunggu-tunggu akhirnya datang. Tapi sepertinya temannya itu datang dengan tangan kosong.

"Mana anak itu?" Tommy langsung bangkit dari duduknya. Terlihat kesal karena tidak menemukan mainannya.

"Teman sekelasnya bilang. Katanya anak itu sakit. Tadi saat jam pelajaran, dia ditemukan pingsan ditoilet. Terus orangtuanya datang menjemputnya"

"Siapa yang menjemputnya?" Ivan yang penasaran ikut bertanya.

Ragu-ragu orang itu menjawab. Matanya mencuri pandang kearah Tommy.
"Paman David"

Tommy tersenyum sinis, kecurigaannya selama ini terbukti benar. Juan adalah anak David, Ayahnya. Sudah tidak bisa diragukan lagi. Dari dulu Tommy memang sudah curiga, Ayahnya rutin mengirimkan uang setiap bulannya pada seseorang bernama Rahma. Bahkan sering menerima telepon dari kontak yang diberi nama Juanda.

Ibu dan ayahnya sering ribut gara-gara hal itu. Tapi ayahnya selalu mengelak dengan mengatakan bahwa dia tidak memiliki anak dari wanita lain. Tapi kenyataannya, orang yang mengantarkan Juan saat hari pertama sekolah adalah David, dan yang hari menjemput Juan juga David. Yang seharusnya hal itu dilakukan oleh orangtua murid. Raut kecewa jelas tercetak diwajah Tommy.

"Kalau Juan anak paman David, berarti secara tidak langsung Juan juga adikmu, Tom" Kata Ivan.

Tommy menatap Ivan tidak suka. "Jangan bicara sembarangan. Sejak kapan aku punya adik. Dari dulu aku ini anak tunggal"

Semuanya terdiam, tidak ada yang berani menyahut melihat kemarahan Tommy.

*****

Mahesa langsung bergegas pulang begitu mendapat kabar dari David jika Maharani enggan memeriksa Juan. Mahesa sedikit kesal dengan sikap istrinya itu yang terlampau egois. Mahesa tau istrinya tidak menyukai Juan. Tapi saat ini Juan sedang sakit dan membutuhkan seorang dokter. Harusnya Maharani bisa menekan egonya.

Mahesa menatap pintu didepannya, sedikit ragu membuka pintu itu dan melihat kedalamnya. Juan tidur dengan membelakangi pintu. Ragu-ragu Mahesa memasuki kamar itu. Kamar yang belum pernah Mahesa masuki sebelumnya. Mahesa duduk di sisi ranjang putranya. Tangannya terulur mengelus rambut Juan. Ada perasaan aneh yang menelusup hati Mahesa. Dia tidak pernah bertindak selembut ini pada Juan sebelumnya.

Mahesa lebih terkesan cuek dan tidak perduli. Padahal hatinya tidak seperti itu. Dia menyayangi putra bungsunya. Hanya saja Mahesa tidak bisa mengungkapkannya.

Juan menggeliat dari tidurnya, saat merasakan seseorang mengelus rambutnya. Mencoba mengubah posisi tidurnya jadi terlentang, Juan mengerjapkan matanya saat pandangannya terlihat buram.

"Papa pasti mengganggu tidurmu, ya?" Mahesa beralih menyentuh kening Juan. Mahesa merasakan suhu tubuh Juan yang meningkat.

Juan tidak menjawab, dia hanya menyunggingkan senyuman di bibir pucat nya. Tidak menyangka Papanya akan datang untuk melihat kondisinya.

"Apa yang kamu rasakan?" Tanya Mahesa.

"Pusing. Mual" Adu Juan, karena Juan merasa dua hal itu yang paling dominan.

"Apa sudah minum obat?"

"Sudah, tadi paman David membantuku meminum obat sebelum dia pulang" Lirih Juan. Kentara sekali jika anak itu sangat lemas.

SURRENDER (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang