Seandainya tidak pernah ada kata kehilangan. Mungkin tidak akan ada kata penyesalan.
.
.
.
.Mahesa terbangun dari tidurnya bersama dengan peluh yang mengaliri pelipisnya. Baru saja dia bermimpi buruk, sangat menakutkan.
Dalam mimpi itu Mahesa meraung-raung kesakitan karena ditinggal putranya untuk selama-lamanya. Kepedihan karena kehilangan itu terasa sangat nyata bahkan setelah dirinya tersadar dari mimpi itu.
Napasnya masih tersenggal saat Mahesa memilih bangkit dari tempat tidur. Disebelahnya Maharani sama sekali tidak terusik dari tidurnya.
Jam menunjukkan pukul 1 dini hari. Tapi Mahesa tidak perduli, dia harus memastikan sendiri bahwa mimpinya itu tidaklah benar. Karena sungguh rasa sakitnya benar-benar nyata.
Mahesa berjalan tergesa menuju kamar putranya. Tapi begitu pintu dibuka, gelap langsung menguasai penglihatannya. Mahesa meraba dinding, mencari saklar lampu. Begitu cahaya mengisi ruangan itu, Mahesa terkejut karena tidak menemukan Juan ditempat tidurnya. Kasur itu bahkan terlihat sangat rapi.
Mahesa beralih pada pintu kamar mandi. Barangkali putranya ada disana.
"Juan, kamu didalam, Nak?" Mahesa memanggil sembari tangannya mengetuk pintu tersebut.
Namun hingga ber menit-menit tak kunjung ada jawaban. Dengan tidak sabaran Mahesa membuka pintu tersebut. Dan tidak mendapati siapapun didalamnya. Lantai kamar mandi itu kering seperti sudah lama tidak pernah dipakai.
Mahesa berubah panik, dia melangkah ke arah balkon sambil memanggil-manggil nama putranya. Namun lagi-lagi Mahesa tidak mendapati keberadaan Juan. Mahesa termenung, ingatannya seperti kembali dilempar pada mimpi buruk tadi. Wajah putranya yang tanpa rona, suhu yang begitu dingin, serta tubuhnya yang kaku. Semuanya terasa sangat nyata hingga membuat dada Mahesa sesak.
"Papa?"
Panggilan itu menyentak Mahesa dari lamunannya. Melda berdiri diambang pintu dengan penampilan acak-acakan, khas bangun tidur.
Teriakan Mahesa memanggil-manggil nama Juan ternyata berhasil membangunkan Melda dari tidurnya.
"Papa melakukannya lagi?" tanya Melda sambil berjalan mendekati papanya.
Mahesa mengernyit tak mengerti apa yang putrinya katakan.
"Papa terbangun karena mimpi buruk kemudian berlari ke kamar Juan dan tidak mendapati keberadaannya. Iya, kan? Papa melakukannya lagi."
Mahesa kali ini terdiam. Lagi? Memangnya sudah berapa kali Mahesa melakukan hal ini?
"Apa Papa tidak meminum obatnya?" Melda kembali mendesak.
Mahesa menggeleng, dirinya terduduk lemas disamping tempat tidur Juan, disusul isakan yang lolos dari bibirnya.
Mahesa mengerti sekarang, mimpi itu bukan hanya sekedar mimpi. Itu adalah kenyataan yang bahkan telah terjadi lebih dari 2 tahun yang lalu. Tapi rasanya seperti baru terjadi kemarin. Rasa sakit dan penyesalannya tidak pernah berkurang sedikitpun, semakin hari malah semakin bertambah. Sangat menyakitkan.
Melda mendekat, ikut duduk disamping papanya dan mengusap bahu pria paruh baya itu. "Besok aku akan membuat janji temu dengan dokter Johan. Papa harus konsultasi lagi. Sekarang istirahatlah."
Mahesa menangis tersedu, tangannya membelai tempat tidur Juan, membayangkan putranya tertidur disana.
Semenjak kepergian Juan, Mahesa di vonis terkena gangguan mental Prolonged grief disorder yaitu gangguan mental yang diakibatkan oleh kesedihan yang berkepanjangan. Mahesa seolah enggan menerima kenyataan bahwa putranya telah tiada.
KAMU SEDANG MEMBACA
SURRENDER (END)
Teen FictionJuan merasa hidupnya seperti terombang-ambing ditengah lautan setelah kepergian Ibunya untuk selama-lamanya. Banyak hal tak terduga yang Juan alami setelah kepergian Ibunya. Mulai dari fakta bahwa ia berasal dari keluarga berada hingga fakta bahwa I...