Siapa bilang terlahir sebagai anak tunggal itu hidup aman dan nyaman? Siapa bilang menjadi anak semata wayang itu otomatis mendapatkan limpahan kasih sayang dan keistimewaan?
Nyaris dua puluh tiga tahun usia Vivian saat ini, tetapi tak ubahnya anak TK. Tidak ada kenikmatan seperti anggapan yang selama ini dia dengar dari orang-orang di luar sana.
Vivian merasa tak ubahnya boneka. Hidupnya terkungkung dalam sangkar emas, terikat jerat kata-kata orang tua. Entah sejak kapan, dikendalikan dan tak punya hak bicara menjadi slogannya.
Tidak ada yang tahu, di balik senyumnya, Vivian adalah gadis rapuh yang berdiri di atas panggung sandiwara. Vivian lelah harus memenuhi segala tuntutan yang merujuk pada kata sempurna.
Jika bisa, Vivian ingin sebentar saja menanggalkan topengnya dan menjadi diri sendiri. Vivian ingin menunjukkan bahwa dirinya juga bisa terluka dan sakit hati. Dirinya tidak selalu baik-baik saja. Segala sesuatu berjalan tidak selalu sesuai keinginannya. Namun, keinginan tetaplah semata keinginan. Realita hidupnya tidak lebih beracun dan mematikan dari setetes sianida.
Vivian menyusut cairan bening yang keluar dari hidungnya. Sialnya, cairan itu terus turun meskipun tidak sederas cairan yang luruh dari pelupuk mata. Satu per satu isakan lolos di tengah keheningan malam. Mengiringi sesal karena tak berhasil menyuarakan rasa. Lagi dan lagi, untuk ke sekian kali dia dipaksa bungkam dan memendam.
Vivian menyapu kasar lelehan air mata yang membuat matanya merah dan terasa panas. Ditekannya dada kuat-kuat, menahan sesak akibat meratapi kisah cintanya yang kandas. Dia mencoba bernapas normal, tetapi seakan himpunan oksigen yang masuk menolak melegakan. Sakit yang dia rasakan makin kuat melilit hingga jantungnya mulai kepayahan.
Apa yang terjadi beberapa jam lalu membuatnya lebih dari sekadar terluka. Namun, dia tidak memiliki daya apa pun untuk menolak keputusan sang mama. Lagipula, papanya diam saja. Tidak membelanya. Papanya tidak pernah berbuat apa-apa. Mamanya pengambil keputusan utama. Seperti yang sudah-sudah.
Jangan sedih, Dik. Mungkin memang harus begini akhirnya. Insyaallah, Mas ikhlas. Bagaimanapun keadaannya, jangan lupa untuk selalu tersenyum. Doa Mas menyertaimu selalu. Bahagia, ya ….
Lagi-lagi ucapan Rasyid terngiang. Hati Vivian semakin hancur. Cinta mereka dipaksa mati oleh penolakan. Tak sedikit pun diberi kesempatan untuk diperjuangkan. Ibarat bunga, gugur sebelum kuncup berhasil mekar.
"Insyaallah, Vivi akan belajar ikhlas. Semoga Mas Rasyid mendapatkan perempuan yang lebih baik dari Vivi," ucap Vivi bermonolog, meloloskan kalimat yang tersangkut di tenggorokan selama berjam-jam. Tak peduli ucapannya hanya didengar angin dan kesunyian. Tak peduli ucapannya tak akan pernah tersampaikan.
***
Tiga bulan sebelumnya.
Satu jam berlalu usai Vivian menghabiskan makan malam sambil menonton televisi di ruang keluarga seorang diri. Dia beranjak membawa kantung kresek berisi wadah makan berbahan styrofoam menjauhi sofa yang mulai terasa panas. Langkah kaki jenjangnya terayun menuju dapur.
Mencuci tangan usai melemparkan kantung kresek ke tempat sampah, Vivian memastikan ruangan itu bersih sebelum dia tinggalkan. Simpel saja alasannya, supaya besok pagi kerjaannya lebih ringan. Dirinya tidak ingin diburu waktu jika harus mengurusi pekerjaan domestik sebelum berangkat kerja. Bibir mungil Vivian tertarik menciptakan garis lengkung samar.
"Semua beres!" ujar Vivian pada diri sendiri. Tangannya terulur menekan sakelar lampu hingga ruangan mendadak gulita. Perempuan dalam balutan piama lengan panjang itu putar badan menuju kamar tidurnya di lantai dua.
Berjarak dengan kedua orang tua, ruang lingkup pertemanan yang sangat sempit, membuat Vivian jarang menyentuh ponsel. Untuk apa? Teramat jarang ada yang menghubunginya. Sampai-sampai Vivian merasa begitu akrab dengan kata sunyi dan merana. Namun, malam ini ada dorongan kuat dalam dirinya menyentuh benda pipih canggih yang digilai generasi milenial masa kini.
"Mas Rasyid?" gumam Vivian dengan alis nyaris bertaut saat membaca nama yang—nomornya secara diam-diam—sejak lama dia simpan di kontak ponselnya.
Mata Vivian masih membelalak tak percaya. Telapak tangan menahan pekik riang agar bertahan di tenggorokan. Kebahagiaan membuncah di dadanya hingga menimbulkan sesak yang susah diungkapkan dengan kata-kata.
Sekali lagi Vivian membaca deretan pesan yang masuk di aplikasi What'sUp miliknya; untuk memastikan dirinya tidak salah penafsiran. Dirinya menggeleng, yakin tidak salah. Tidak dengan penglihatannya. Tidak juga dengan daya pikirnya.
Gegas Vivian membalas pesan yang ternyata masuk selepas maghib tadi. Terkirim. Dua centang abu-abu. Matanya berbinar melihat centang dengan cepat berganti biru. Dengan liar matanya menyapu barisan huruf pada pesan yang baru saja dia terima. Senyumnya merekah.
"Selamat beristirahat juga, Mas," ujar Vivian sambil mengetikkan kalimat itu di layar ponselnya.
Vivian meletakkan ponsel ke tempat semula. Baru dia sadari, tangannya gemetar dan basah oleh keringat dingin. Rasa yang bertahan di hatinya membawa euforia sedahsyat itu. Bagai dilemparkan ke tumpukan bunga. Empuk, harum semerbak.
Begini rasanya gayung bersambut? Vivian tidak menyangka perasaannya berbalas. Ah, belum benar-benar berbalas.
"Mas Rasyid bilang pingin mengenal aku lebih jauh. Itu berarti dia pingin lebih dekat denganku, kan? Dia pingin kami ...." Vivian melompat-lompat seperti bocah yang baru saja menerima kejutan di hari ulang tahun. Pipinya bersemu. Napasnya terengah memburu. Dia sangat bahagia.
.
.
.
Hai, aku bawa cerita baru! Tes ombak dulu.
Simpan di perpustakaan atau reading list kalian, ya.. biar pas ada apdetan, kalian dapat notifikasinya.
Seperti biasa, jangan lupa tinggalkan jejak ⭐💬
Samarinda, 25 Mei 2023
Salam sayang,
BrinaBear88
KAMU SEDANG MEMBACA
Ada Dia di Antara Kita ✅
RomanceMemiliki lelaki idaman yang ingin dijadikan suami, tetapi Vivian harus berbesar hati menerima penolakan sang mama. Dia dipaksa menerima kenyataan, lelaki pilihannya tidak memenuhi kriteria calon menantu idaman. Hatinya patah, asanya musnah. Tidak cu...