Malam sudah terlampau larut, tetapi Jo masih belum bisa memejamkan mata. Wajah Vivian dan Naya secara bergantian melintas di benaknya dan itu sangat mengganggu. Padahal tubuhnya begitu lelah, tetapi pikirannya malah berlarian ke mana-mana, menolak diistirahatkan. Alhasil, perempuan itu bangun lagi, berjalan menjauhi ranjang lantas keluar kamar untuk mencari udara segar. Meski membuat segelas susu atau teh terdengar menarik, keinginan itu ditepis jauh-jauh. Dia sudah menggosok gigi dan tidak ingin kembali ke kamar mandi untuk mengulang kegiatan itu dua kali.
"Soal kedatangan Vivian, jangan sampai ke telinga Naya. Kalau sampai itu terjadi, nggak cuma biaya kuliah Jeje yang aku cabut, tapi kupastikan kamu kehilangan pekerjaan."
Kalimat itu kembali terngiang padahal sudah berlalu sebulan. Mungkin juga dua atau tiga bulan? Jo tidak ingat pastinya. Loyalitasnya selama bertahun-tahun menjadi tidak bernilai karena masalah sepele. Ancaman Wahyu kala itu begitu membekas, memantik munculnya benih-benih dendam dan kebencian. Dia kecewa, mengapa harus mengaitkan masalah pribadi dengan pekerjaan? Seingatnya, selama ini dia sudah cukup profesional dengan tidak mencampuradukkan masalah pekerjaan dengan hati. Dia sadar memang agak kelewatan, tetapi tidak sepantasnya sang atasan melayangkan peringatan sekeras itu.
Siapa yang memulai peperangan ini, Mas? Memang nggak menyakiti secara fisik, tapi hatiku terluka sangat dalam karena ucapanmu. Semut saja akan membalas kalau diinjak-injak. Jadi, jangan salahkan kalau aku bereaksi!
"Setunduk dan sesetia apa pun kamu, kamu nggak bisa membuatku berpaling. Naya, bagaimanapun keadaannya, seburuk apa pun dia di mata orang lain, dia punya tempat teristimewa dalam hati dan hidupku."
Perempuan bertubuh langsing itu memejam erat-erat, menekan segala emosi yang berkecamuk. Dia sampai menghela napas panjang berkali-kali, tetapi ulu hatinya tetap berdenyut perih. Darahnya bergejolak, mendidih.
Serendah dan sehina itukah aku di matamu? Bahkan Naya yang rusak dan bobrok itu saja kamu anggap masih jauh lebih baik dariku. Sebenarnya apa tolok ukur kelayakan yang kamu jadikan patokan? Andai kamu lebih bisa menghargai, aku nggak akan berbuat sejauh ini. Yang kamu harus tahu, melihatmu hancur meskipun harus memakan banyak korban seperti sekarang membawa kepuasan buatku.
-***-
Aida merasa ada kerancuan pada cerita yang Jo paparkan. Ditambah lagi kabar dari kepolisian bahwa ponsel Vivian ditemukan dalam keadaan rusak di semak-semak tidak jauh dari rumahnya. Seperti habis dilindas atau memang tidak sengaja terlindas ban kendaraan. Petugas penyelidik di lapangan menegaskan asumsi bahwa benda pipih tersebut tidak mungkin jatuh, melainkan sengaja dibuang.
Meskipun punya motif yang sangat kuat, tetapi mengingat watak Naya, Aida yakin bukan adik angkatnya itu dalang di balik hilangnya Vivian. Tekadnya kuat untuk segera menemukan Vivian. Dengan begitu, nama baik Naya terjaga sekaligus mematahkan keraguan tante dan sepupunya setelah mendengar kesaksian Jo beberapa saat sebelumnya.
Nada sambung yang menghubungkan ponselnya dengan Naya membuat Aida ingin memekik gusar. Sudah lima menit dia melakukan panggilan, tetapi tidak juga mendapat sahutan. "Angkat, Nay! Ini penting," bisiknya gemas sambil terus menempelkan ke telinga ponsel yang mulai terasa panas.
"Halo, Mbak."
Aida nyaris berteriak saking senangnya. "Kamu di mana?" tanyanya tidak sabar. Beberapa saat tidak ada jawaban sehingga dia mengulang sekali lagi pertanyaannya.
"Aku pergi, Mbak," jawab Naya lirih.
"Pergi?" Perasaan Aida semakin tidak enak.
"Aku memilih berhenti." Debas keras terempas. "Keluar dari rumah Mas Wahyu juga kehidupannya. Aku menuruti perintah Mama, demi kebahagiaan semua orang."
Ya, ampun, Naya! Aida berusaha keras meredam umpatan dan jerit bahagia yang muncul bersamaan, sangat tidak tepat waktu. Meskipun kabar ini membuatnya lega bukan kepalang, tetapi dia tahu benar bagaimana perasaan adiknya. Hancur saja tidak cukup mendeskripsikan keadaan Naya.
"Tiga hari lalu Mama datang, memberiku villa dan cek senilai 250 juta untuk menebus kebebasan Mas Wahyu. Meskipun aku menolak, Mama bersikeras meninggalkan itu semua. Tapi, aku tetap pada pendirianku. Kalau aku menerima, sama saja membiarkannya menghancurkan harga diriku."
Hancur hati Aida mendengar getar kesedihan dari suara Naya. Cukup lama obrolan terjeda sebelum perempuan itu mendengar lawan bicaranya berkata, "Surat kepemilikan, kunci dan ceknya aku titipkan Jo."
"Jo?" Nama itu kembali menarik perhatiannya, memulihkan kesadarannya. Tidak sabar dia menunggu kelanjutan cerita selanjutnya.
"Ya, asistennya Mas Wahyu. Mbak Aida kenal dia, kan?"
Aida hanya menggumam. "Terus bagaimana?" burunya.
"Aku nggak pernah punya sahabat sebaik Jo. Dibanding Mas Wahyu yang cuma diam karena dilema, Jo mencoba menjadi penghubung antara aku dan Vivian."
Di pikiran Aida mulai tersusun skenario yang Jo mainkan. Dia terus menyimak semua yang Naya katakan, menahan keinginan menyela atau bertanya karena tidak ingin melewatkan hal sekecil apa pun.
"Sebelum Vivian pergi dan membuat kehebohan seperti sekarang, Jo sempat mencoba mendamaikan kami dengan menjadi penengah. Dia menemui Vivian dan mereka bicara dari hati ke hati. Jo bilang, Vivian sangat terbuka tentang perasaannya. Vivian bilang ke Jo, apa pun yang terjadi dia tetap menolak dipoligami."
"Itu yang memperkuat keputusanmu untuk pergi?"
Naya terisak, dadanya semakin sesak. "Aku bisa apa selain menepi?" tanyanya frustrasi. Ada nasib seorang anak yang dipertaruhkan. Dia tidak mau sampai anak itu harus tumbuh dan merasakan betapa getirnya kehidupan dalam rumah tangga yang terpecah.
Lagi-lagi, demi mewujudkan bahwa intuisinya benar, Aida menanggung risiko dengan memperdalam penyelidikan. Dia putuskan untuk mengetes Jo, mencari tahu apa yang perempuan itu sembunyikan bagaimana pun caranya. Dia sudah mengantongi sangat banyak informasi dari Naya dan sekaranglah waktunya eksekusi.
Gotcha! Senyum sinis terukir di wajah Aida. Entah ceroboh atau memang terlalu sedikit waktu yang Jo punya sehingga tidak sempat menyingkirkan bukti kejahatannya.
-***-
"Kita nggak boleh membuang lebih banyak waktu lagi dengan hanya berdiam diri menunggu polisi turun tangan. Suamiku sudah mengerahkan anak buahnya dan mereka sedang dalam perjalanan ke sana," terang Aida.
Wahyu dan Ratna melempar pertanyaan di waktu yang nyaris bersamaan. Ibu dan anak itu menatap lekat wajah Aida seolah menyangsikan.
"Mbak Aida yakin?"
"Serius kamu, Da?"
Aida mengangguk mantap. "Aku yakin Vivian disembunyikan di sana." Mimiknya sangat serius saat menambahkan, "Sekali lagi aku tegaskan bukan Naya pelakunya, melainkan Jo."
Wahyu tercenung, tampak bingung. Beberapa saat yang lalu dia baru saja berhasil meyakinkan diri bahwa memang istri pertamanyalah yang berusaha "menyingkirkan" Vivian seperti yang Jo ucapkan, lantas pernyataan Aida barusan justru mematahkan keyakinan itu. Dia lega jika memang bukan Naya, tetapi dia juga tidak memikirkan Jo mampu berbuat sejauh itu.
Apa alasannya?
"Aku sudah berusaha membantu sebisaku. Aku harap kamu bisa mengambil keputusan yang bijak. Baik Naya ataupun Vivian layak mendapatkan kepastian dan kebahagiaan. Kamu bisa tanyakan ke diri kamu sendiri, apa memang pernikahan seperti ini yang kamu inginkan? Apakah kamu sudah bersikap adil selama ini?" Aida menggeser pandangan dari Wahyu pada Ratna dan dapat terlihat jelas olehnya wajah adik kandung ibunya itu memerah menahan marah. Namun, dia tidak gentar. Perempuan yang pernah gagal dalam berumahtangga itu tetap membicarakan isi hatinya. "Vivian dan Naya adalah perempuan-perempuan tangguh yang berhati lembut, tapi nggak sepatutnya mereka dihadapkan dalam situasi untuk saling berebut. Mereka nggak pantas menderita, apalagi karena ulah seorang pengecut."
.
.
.
Mendekati kata "tamat", terima kasih banyak karena selalu membersamai langkahku dalam menyelesaikan cerita ini 🥰🥰🥰
Samarinda, 25 Januari 2024
Salam sayang,
BrinaBear88
KAMU SEDANG MEMBACA
Ada Dia di Antara Kita ✅
RomantizmMemiliki lelaki idaman yang ingin dijadikan suami, tetapi Vivian harus berbesar hati menerima penolakan sang mama. Dia dipaksa menerima kenyataan, lelaki pilihannya tidak memenuhi kriteria calon menantu idaman. Hatinya patah, asanya musnah. Tidak cu...