Vivian menilik jam di pergelangan tangan kanannya untuk yang ke empat kali lalu menghela napas panjang saat menyadari sang suami sudah sangat terlambat menjemput. Kantor sudah semakin sepi, dan perempuan itu merasa risi karena lobi tempatnya menanti hanya diisi dirinya dan beberapa orang lelaki; seorang security dan lima pegawai lain, tetapi berasal dari lain divisi. Tiga di antaranya dia kenal cukup baik, meskipun obrolan hanya selalu seputar pekerjaan.
Andai di luar tidak sedang turun hujan, Vivian lebih memilih menunggu di teras saja. Namun, curahan air langit ditingkahi gelegar petir bersahutan membuatnya ketakutan. Mencoba tenang, berulang kali perempuan berhijab biru muda itu menekankan pada diri sendiri untuk tidak berpikir yang aneh-aneh. Sikapnya saja yang berlebihan. Kekhawatiran yang terlalu dibesar-besarkan. Dalam hati dia juga merapalkan doa meminta perlindungan kepada Sang Pencipta.
"Apa sebaiknya aku telepon Mas Wahyu?" Vivian bertanya pada diri sendiri usai sekali lagi menilik jam. Sepuluh menit menjelang pukul setengah delapan. Dia menggigit bibir, menatap gamang layar ponsel yang sedari tadi tidak lepas dari genggaman.
Atau … apa lebih baik kalau aku langsung cabut aja? Pulang naik mobil daring sepertinya bukan ide yang buruk. Apalagi cuaca lagi nggak bersahabat begini. Mungkin Mas Wahyu hari ini sibuk banget. Aku nggak mau Mas Wahyu berpikiran aku istri yang manja dan nggak pengertian.
Tersenyum usai dua menit penuh mempertimbangkan, Vivian memutuskan melanjutkan menunggu hingga dua puluh menit ke depan. Jika hingga waktu itu suaminya tetap tidak memberi kabar pun tidak kelihatan batang hidungnya, dia akan pulang sendiri. Selama itu, dirinya akan menghabiskan waktu di musala kantor sembari menanti waktu salat Isya tiba.
Sementara itu di lain tempat yang letaknya hanya dua blok dari Grha Gading tempat Vivian bekerja, Wahyu menyepi ditemani musik keras yang berdentam melalui speaker ponsel. Pikiran yang kusut memaksanya menepi beberapa kali dan berakhir mendekam di sana. Sudah sepuluh menit berlalu sejak dia mematikan mesin, tetapi tidak ada yang berubah. Kekalutannya tidak sedikit pun berkurang.
"Berengsek!" makinya entah pada siapa. Dia sendiri tidak tahu. Gelombang emosi yang terus membesar menghantam dadanya membabi buta. "Sialan! Bangsat!" Umpatan demi umpatan melompat ringan dari bibirnya. Lelaki yang tubuhnya basah oleh keringat itu berulang kali memukul setir dengan kepalan tangan meskipun sadar tindakan itu tidak akan membawa faedah apa pun.
"Tuhan, kenapa harus sesakit ini?" Kepalan tangannya berpindah ke dada sendiri. "Kenapa aku dan Naya nggak bisa dengan bebas menunjukkan cinta kami di mata dunia? Bukan salahnya terlahir nggak sempurna." Air mata yang menggenang di pelupuk mata berjatuhan membasahi pipi. Napasnya menderu, memburu. Lelah, dia mengempas punggung ke sandaran kursi. "Naya berhasil bangkit setelah susah payah mengalahkan kekecewaan pada diri sendiri. Dia juga sudah berusaha keras berdamai dengan keadaan dan pandangan orang-orang sekitar. Tapi kenapa semua penerimaan dan kebesaran hatinya masih belum cukup? Kenapa dia harus terus berkorban? Sampai kapan dia dipaksa menelan kepahitan ini?"
-***-
"Aku nggak apa-apa, Jo. Please, jangan ngomong kayak gitu lagi tentang Mas Wahyu."
"Dasar keras kepala!" Perempuan semampai dalam balutan blus satin dan rok span selutut membuang muka, mengalihkan pandangan dari sahabat sekaligus istri atasannya. Dia tidak bisa menutupi kemarahan—sekaligus keprihatinan—melihat orang yang paling dia sayang dan hormati meringkuk menikmati kesakitan seorang diri. "Heran banget sama kalian berdua. Yang satu patuh banget sama emaknya yang arogan dan egois. Satu lagi tunduk banget sama suami sampai-sampai rela dipoligami. Memang nggak waras kalian!"
Naya tidak menyahut. Dia tidak memiliki tenaga lagi untuk memberi sanggahan apa pun apalagi berdebat dengan lawan bicaranya. Terdengar debas keras sebelum Jo berpaling, kembali menatapnya lalu bertanya, "Yakin nggak pengin makan apa pun?"
Bergeser sedikit untuk menyamankan tubuhnya yang ringkih, Naya menggeleng pelan. Dia tidak bohong jika saat ini dirinya sangat letih; jiwa dan raga. Yang saat ini dia inginkan hanyalah memejamkan mata dan terlelap. Lebih bersyukur lagi jika bayangan ibu mertuanya yang pagi tadi tiba-tiba datang turut menghilang saat bangun nanti. Dia juga berharap setiap kata yang berlompatan keluar dari celah bibir perempuan itu bisa terhapus dari ingatan. Demi calon buah hati yang bersemayam dalam rahimnya, dia harus kuat. Demi sang penerus masa depan, bintang kehidupan yang sangat dinantikan kehadirannya di dunia ini, dia harus tetap waras. Dia harus setegar karang, seperti yang sudah-sudah.
"Aku belikan bubur ayam kesukaan kamu, ya? Selama aku pergi, kamu bisa beristirahat." Jo tak menyerah membujuk. "Tapi janji, begitu aku balik, kamu harus bangun dan makan," imbuhnya penuh penekanan.
Hanya seulas senyum tipis yang mampu Naya suguhkan. Entah netra sipit Jo mampu menangkapnya atau tidak, dia tidak memusingkan. Kepalanya semakin berdenyut pun kelopak matanya kian berat untuk terus terbuka.
Thanks, Jo. Untuk segalanya. Kalimat itu menggaung di benak Naya tanpa kesempatan terucap sebab perempuan itu telah lebih dulu disergap rasa kantuk dan lelah yang teramat sangat. Tidak sampai dua menit usai ditinggalkan, dengkur halus perempuan berbibir tipis itu mengudara di tengah kesunyian.
-***-
Usai menunaikan salat Isya, Vivian mengecek ponsel—yang sebelum berwudu tadi dia simpan—di dalam tas. Senyum getir terukir saat netranya menatap layar yang menyala terang. Tidak ada notifikasi apa pun. Memejamkan mata, perempuan berhijab itu menelan kekecewaan yang sedari tadi berusaha ditekan. Ponsel dalam genggaman kembali dilesakkan ke dalam tas.
"Memang seharusnya manusia tidak bergantung pada selain Allah, kan?" gumamnya mengingatkan diri sendiri. "Lagian, sejak kapan kamu jadi perempuan manja? Dari kecil kamu dibiasakan mandiri. Biasanya apa-apa pun kamu kerjakan sendiri. Lalu … kenapa sekarang begitu berharap semua berubah? Punya suami nggak boleh bikin kamu jadi perempuan lemah yang serba ketergantungan. Jangan lupa, suami pun hanya titipan." Kalimat terakhir seperti tamparan yang membuat perempuan itu beristighfar dalam hati berkali-kali.
Rabb, perasaan apa ini? Aku mohon ampuni aku yang sudah asal bicara tadi. Vivian mencengkeram kuat-kuat hijab yang menutupi dadanya. Seperti orang linglung dia berjalan meninggalkan musala. Langkahnya terhenti saat tak sengaja menubruk seseorang yang keberadaannya tidak dia sadari sebelumnya. "Ma-maaf," bisik perempuan itu seraya mengetatkan genggaman pada pada tali tas di samping pinggangnya.
"Dik Vivian …?"
Jantung Vivian berdegup kencang. Mendadak lidahnya kelu dan kerongkongannya kerontang.
Suara itu …
.
.
.
Adakah yang menantikan kelanjutan cerita ini? Setelah sekian purnama akhirnya aku kembali (sebelum akhirnya menghilang lagi) 🥲
Terima kasih sudah membaca dan meninggalkan jejak 🥰
Samarinda, 16 Juni 2023
Salam sayang,
BrinaBear88
KAMU SEDANG MEMBACA
Ada Dia di Antara Kita ✅
RomanceMemiliki lelaki idaman yang ingin dijadikan suami, tetapi Vivian harus berbesar hati menerima penolakan sang mama. Dia dipaksa menerima kenyataan, lelaki pilihannya tidak memenuhi kriteria calon menantu idaman. Hatinya patah, asanya musnah. Tidak cu...