Pandai Memainkan Peran

575 72 38
                                    

Sepuluh menit sebelum pukul delapan malam Wahyu sampai di rumah. Bukannya langsung masuk, lelaki itu justru berdiam diri di mobil untuk beberapa saat. Emosi berkecamuk di dalam jiwanya. Napasnya terengah. Tidak jauh berbeda dengan saat dirinya meninggalkan Naya setengah jam lalu.

Setelah beberapa kali menghela napas panjang dan mengembuskan perlahan, perasaannya mulai membaik. Setidaknya, harus tampak baik. Dirinya tidak mau menjadikan Vivian sasaran kemarahan. Walaupun harus diakui, sisi lain hatinya membujuk agar menjadikan perempuan itu pelampiasan. Beruntung, akal sehatnya lebih bisa diandalkan.

Lelaki berkemeja kotak-kotak itu melihat penampilan melalui spion dalam. Kusut dan cemberut. Dengan telaten, jemarinya menyusuri rimbunan rambut hitam legam sembari berlatih mengukir senyum.

"Pelan-pelan, Wahyu. Pelan-pelan. Kamu cuma perlu sedikit waktu. Naya sudah banyak berkorban. Jangan bikin masalah yang akan menghancurkan semua yang sudah terlihat sempurna ini. Kamu sudah berjalan sangat jauh. Pengorbanan Naya nggak boleh berakhir sia-sia karena emosi sesaat kamu," ujarnya bermonolog, mengingatkan diri sendiri bagaimana kerasnya perjuangan Naya. Lelaki itu paham, merelakan cinta dan berbagi perhatian tentu tidak sesederhana kelihatannya.

Langkah Wahyu terayun mantap memasuki rumah. Wangi masakan menyambut bahkan ketika dirinya baru melewati pintu utama. Semakin ke dalam, aroma masakan semakin kuat terhidu. Hal langka dan jarang sekali terjadi. Baik saat dia masih tinggal satu atap bersama Ratna, dan tidak terkecuali juga saat masih ada Naya di sana.

"Wanginya enak, nih!"

Vivian menoleh saat mendengar suara di belakangnya. Sudut-sudut bibirnya terangkat membentuk sebuah senyum manis menyambut kedatangan sang suami. Dengan cekatan dirinya menyiapkan piring untuk Wahyu yang langsung menyerbu meja makan seolah lelaki itu benar-benar kelaparan.

"Mas Wahyu kapan sampai? Vivi nggak dengar suara mobil Mas."

Wahyu menanggapi ucapan Vivian dengan senyum simpul. Dirinya menyapu meja dengan tatapan kagum. "Kamu yang masak ini semua?"

Vivian mengangguk kikuk. Ide menyiapkan sendiri makan malam tercetus begitu saja di saat sang suami mengiriminya pesan menanyakan makan malam apa yang dirinya inginkan.

"Wow!" Wahyu kehilangan kata. Takjub dan rasa bersalah menjadi satu. Perutnya sudah cukup terisi. Meskipun masih bisa menampung, tetapi tentu tidak akan banyak yang bisa masuk. Hal itu mungkin saja akan mengecewakan Vivian.

"Aku nggak tau makanan kesukaan Mas Wahyu, jadi aku masak ini aja."

Sapi lada hitam, tumis buncis pelangi, kepiting telur asin dan sambal goreng hati tersaji menemani nasi putih yang mengepulkan asap tipis. Satu stoples kerupuk udang siap membuat makan malam kali ini semakin meriah.

"Yakin, bisa habis? Banyak banget, loh, ini," ujar Wahyu sembari menarik kursi dan duduk menghadap piring yang telah diisi Vivian dengan nasi. Sebelum terlanjur banyak, lelaki itu memberi kode untuk berhenti mengisi piringnya.

"Kalau nggak habis, bisa dipanaskan untuk sarapan atau makan siang besok. Tapi kalau Mas keberatan, aku bisa masakin lagi yang lain." Vivian mulai mengisi piringnya sendiri dengan nasi. Tidak banyak, sesuai porsinya sehari-hari.

"Ya, nggak apa-apa, dong! Masakan enak gini, kok!" Wahyu tidak asal bicara. Dirinya tulus dan jujur saat memuji masakan sang istri. Sementara itu, Vivian tersenyum malu-malu mendengar perkataan sang suami. Hatinya dipenuhi perasaan yang masih asing, tetapi tidak dapat sedikit pun menyangkal jika dirinya bahagia dan terharu karena pujian itu. Baru kali ini perempuan itu merasa pekerjaannya dihargai.

"Kamu tadi pergi belanja?" tanya Wahyu di sela kunyahan. Dirinya ingat belum mengisi lemari pendingin maupun lemari kabinet dapurnya. Lelaki itu bahkan tidak ingat kapan terakhir kali berbelanja saking seringnya dirinya dan Naya memesan makanan atau pergi makan di luar.

"Semuanya delivery order. Kan, sepeda motor aku masih di rumah Mama."

"Berarti semua belanjaan pakai uang kamu? Wah, belum apa-apa, aku sudah makan hasil keringat istri. Bukannya ngasih nafkah yang sesuai, malah ngabisin duit tabungan kamu."

"Mas jangan ngomong gitu." Vivian mencebik tidak suka. Dirinya sama sekali tidak berpikir sejauh itu. Wajahnya yang cemberut membuat sang suami terkekeh.

"Kamu masih libur besok?"

"Cutiku sampai Sabtu ini. Ditambah Minggu, Senin baru masuk," sahut Vivian. Dia sudah selesai makan.

"Besok kita belanja keperluan rumah. Kirim juga nomor rekening kamu. Biar aku transfer buat belanja bulanan dan jajan kamu."

Obrolan terus mengalir. Sosok Wahyu yang hangat, tanpa kesulitan menarik Vivian keluar dari pagar pembatas yang selama ini dibangun tinggi menghalangi perempuan itu dalam pergaulan. Kekaguman pada Wahyu pun mulai mengakar. Di matanya, lelaki itu benar-benar sosok suami andalan. Di lain sisi, Wahyu menertawakan diri sendiri yang mulai piawai bermain peran.

-***-

"Masih ada lagi, nggak, yang mau kamu beli?"

"Kayaknya nggak ada, deh, Mas."

"Yakin?"

Vivian mengecek kembali barang belanjaan dalam troli dan menyesuaikan dengan catatan yang dia buat semalam. Semua sudah sesuai. Dirinya yakin tidak ada lagi yang tertinggal.

"Nggak sekalian beli barang keperluan pribadi kamu? Pembalut, tisu basah, peralatan makeup atau apa gitu," tukas Wahyu, tanpa sadar membuat sang istri tersipu karena barang-barang pribadinya disebut satu per satu.

"Nanti beli sendiri aja," tolak Vivian pelan. Suaranya serupa desau angin, lirih.

Wahyu terkekeh dan mengusap puncak kepala Vivian. "Sudah, deh! Sekalian aja. Toh, bukan pertama kalinya juga aku lihat yang begitu-begitu."

Sedetik kemudian Wahyu terdiam. Dalam hati, dirinya menyumpahi diri yang nyaris keceplosan.

"Mas sering nemenin Mama belanja, ya?" tanya Vivian lugu.

Diam-diam Wahyu mengembus napas lega. Istrinya yang polos tidak curiga dengan gelagatnya.

Sambil menggosok-gosok hidung, Wahyu menjawab, "Kalau bukan nemenin Mama, siapa lagi, dong? Aku, kan, nggak punya saudara perempuan."

Vivian mengangguk-angguk. Dirinya tersenyum kikuk saat berkata, "Jangan diledekin, ya?"

Wahyu mengulum senyum.

"Janji dulu!" desak Vivian. Tanpa sadar, pegangan pada troli mengerat. Tatapannya terpaku pada mata sang suami.

Wahyu terkekeh lagi. Sekali lagi telapak tangannya menari di puncak kepala Vivian, membuat perempuan itu memekik kesal sambil memperbaiki hijab yang dibuat sedikit berantakan karena perbuatan usil suaminya.

"Iya, deh, iya! Buruan belanjanya. Nanti kesorean. Habis ini kita, kan, mau nonton." Wahyu tertawa geli melihat rona merah yang setia bertahan menghiasi pipi sang istri.

Vivian mendongak. Nonton? Tadi di rumah, Mas Wahyu kayaknya nggak bilang kalau mau nonton. Apa aku yang nggak dengar pas dia ngomong gitu?

"Kita mau nonton?" tanya Vivian memastikan. Sang suami yang sudah siap melangkah berbalik lantas melemparkan senyum. Lelaki itu mengangguk sekali, sudut-sudut bibirnya terangkat semakin tinggi kala mata mereka bertemu.

"Ayo, lah! Hitung-hitung kencan pertama setelah nikah. Kita nggak pergi bulan madu soalnya," ucapnya sambil menggandeng mesra tangan sang istri. Jari-jari besarnya mengisi sela-sela jemari perempuan itu.

Wahyu membuat Vivian terbuai harapan. Hati perempuan itu dihiasi bunga bermekaran, melambung ke awang-awang. Tanpa perempuan itu tahu, lelaki yang dia beri kepercayaan telah menumpuk begitu banyak kebohongan.
.
.
.
Terima kasih sudah mampir dan meninggalkan jejak ⭐💬
Samarinda, 12 Juni 2023
Salam sayang,
BrinaBear88

Ada Dia di Antara Kita ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang