Tolong, Lepaskan Aku dari Ikatan Ini

950 93 25
                                    

Vivian tidak tahu harus ke mana membawa luka hatinya. Di saat buntu begini, hanya satu tempat yang dirasa akan memberikan keamanan dan kenyamanan yang sangat dia butuhkan. Siapa lagi yang dirinya punya selain kedua orang tuanya? Rinta sebagai ibu kandungnya pasti bisa merasakan perih luka menganga dalam sukmanya. Zainal sebagai ayah kandungnya pasti akan memberikan pembelaan dan perlindungan. Bukankah begitu seharusnya? Namun, apa jadinya jika suaranya lagi-lagi tidak didengar? Ah, orang tua mana yang suka dan tenang melihat anaknya menderita?

Setelah mengekang keraguan dan meredam suara yang riuh di benaknya, Vivian pun memutuskan menghubungi Rinta. Perempuan berhijab itu dapat merasakan tangannya gemetar dan basah oleh keringat dingin. Jantungnya berdentam hebat menunggu panggilan dengan sang mama terhubung. Namun, hingga beberapa kali mencoba tetap tidak ada jawaban. Jadi, panggilan berikutnya dia putuskan menghubungi papanya saja.

"Assalamu'alaikum," sapa Zainal tak berapa lama kemudian.

"Wa'alaikumussalam." Kegetiran yang sedari tadi bercokol di dada Vivian mendesak keluar. Air matanya luruh. Suara sang papa bagai oase yang menjanjikan akan menghapus rasa haus di tengah kegersangan yang tengah dia rasakan.

"Apa kabar, Nak?"

Vivian menekan kuat-kuat dadanya dengan kepalan tangan. Isak tangis berusaha mendahului. Butuh beberapa detik untuknya menenangkan diri. Namun, baru mulutnya terbuka hendak menyahut pertanyaan Zainal, kegetiran itu kembali melesak lantas tenggelam bersama kekecewaan yang mahadahsyat.

"Kenapa, Vi? Kamu tau nggak, sih, ini jam berapa? Ganggu banget!" Rinta menyela. "Kamu tau, kan, kalau weekend begini mama sama papa maunya santai dan istirahat? Gara-gara telepon kamu, kami nggak jadi tidur siang." Sambutan di seberang sambungan ternyata jauh dari harapan.

"Vivi cuma pengin dengar suara Mama sama Papa," kilah Vivian terbata. Napasnya tercekat di tenggorokan. Terlalu sesak hingga dadanya kembang kempis karena kesulitan menghimpun oksigen.

"Lebay banget kamu!" Rinta mencibir. "Memangnya kamu nggak ada acara gitu sama Wahyu? Dia nggak libur?"

Seolah tidak mendengar nama suaminya disebut, Vivian balik bertanya. "Vivi boleh, nggak, jengukin Mama sama Papa?"

"Jengukin kamu bilang? Buat apa? Mama sama papa sehat walafiat. Ngadi-ngadi banget, deh, kamu! Kamu doain kami sakit, begitu?"

"Nggak, Ma. Vivi ... kangen."

"Halah, Vi, kayak apa aja!" Rinta semakin sinis. "Pasti ini kamu lagi berantem sama Wahyu. Jadi, sengaja cari tempat buat melarikan diri. Iya, kan?"

Tidak sanggup menahan tekanan yang mengimpit dadanya, Vivian pun terisak. Bisa-bisanya Rinta setepat itu menerka isi hatinya.

"Eh, eh, malah menangis!" Rinta membentak. "Kalau ada masalah sama suami kamu, selesaikan baik-baik. Jangan main kabur-kaburan! Kamu bukan anak kecil, Vi!" Tanpa bertanya terlebih dahulu duduk permasalahannya, semudah itu pula sang mama mendoktrin.

Vivian membekap mulutnya dengan telapak tangan. Bukan nasihat seperti itu yang dia butuhkan. Yang dia inginkan adalah didengar, dirangkul, diberikan peluk hangat ekspresi kasih sayang yang entah kapan kali terakhir menenangkan hatinya. Namun, sekali lagi realita menghantam dengan bongkahan-bongkahan batu besar, menguburnya hidup-hidup dalam nelangsa tak berkesudahan.

"Kamu boleh ke sini, tapi sama Wahyu. Baikan dulu, sana! Makanya mama bilang dari kemarin-kemarin, jadi istri jangan manja. Begini jadinya. Sebentar-sebentar ngambek. Sedikit-sedikit mewek. Kapan dewasanya?"

Hanya tambahan luka batin yang Vivian dapatkan dari sang mama. Belum berkeluh kesah penghakiman tak berperikemanusiaan yang dia terima. Perempuan itu hanya bisa memandangi layar ponsel dengan pandangan berkabut ditutupi air mata karena Rinta memutus sambungan telepon dengan semena-mena.

Aku ini anak mereka bukan, sih? Apa dosaku hingga terus-terusan diperlakukan begini? Sisi kekanakan Vivian bertanya lirih. Air matanya semakin deras berjatuhan.

"Maaf, Nak. Kamu hadir di saat begini." Vivian menempelkan telapak tangannya di perutnya. Dia tidak tahu berapa usia janin yang kini bersemayam di rahimnya. Jika boleh jujur, dirinya pun tidak begitu peduli. Dirinya terlalu lelah. Batinnya terus berkecamuk dengan terlalu banyak emosi. Dia ingin beristirahat. Sebentar saja.

Tapi ... di mana, Vi? Apa kamu punya tempat bersembunyi? Di mana tempat yang bisa menerimamu setulus hati?

-***-

Tidak memiliki tempat pulang selain sang suami, Vivian terpaksa menginjakkan kaki di tempat yang paling ingin dijauhinya itu. Baru menginjakkan kaki di teras, perutnya bergolak. Mual luar biasa sampai-sampai dia harus putar badan lantas berlari ke sisi kiri rumah yang ditanami beraneka tanaman hias. Seluruh isi perutnya terkuras  hingga kakinya lemas.

"Vi, kamu baik-baik aja?" Wahyu yang baru keluar rumah berniat mendatangi Naya dikagetkan dengan pemandangan di depannya. Vivian duduk di tanah berumput yang basah dalam kondisi terengah lemah. Wajah istri keduanya itu pun pucat.

Tidak menjawab, Vivian membuang muka. Dia muak melihat wajah sang suami. Wajah tanpa dosa lelaki itu mengingatkannya pada berlapis-lapis kebohongan yang disembunyikan di belakangnya. Lelaki yang beberapa waktu lalu membuatnya lena pada kelembutan dan perhatian itu ternyata tak ubahnya serigala berbulu domba.

"Kamu pucat banget, Vi." Wahyu membungkuk hendak menolong sang istri, tetapi uluran tangannya ditepis. Kekhawatiran yang tergurat di wajahnya berganti seringai sinis. Lelaki itu pun menegakkan kembali tubuhnya. Kedua tangannya berkacak di pinggang dengan angkuh. "Sudah berani menolak sentuhanku?"

"Tolong, Mas. Aku sangat lelah," mohon Vivian lirih. Bekas muntah di sekitar bibirnya dia bersihkan menggunakan ujung lengan gamisnya.

Wahyu berjongkok. Menulikan pendengaran dari permintaan sang istri, dirinya bertanya, "Apa aja yang sudah Mbak Aida jejalkan untuk mengotori otakmu sampai-sampai kamu bersikap begini sama aku?"

"Mas, please. Aku capek." Vivian mengiba. Dari rerumputan kotor setinggi dua senti pandangannya beralih ke sepatu yang suaminya kenakan.

"Oke!" Wahyu setuju. Saat ini memang bukan waktu yang tepat untuk mereka bicara. Dia harus segera pergi karena Naya menunggunya. "Aku mau keluar. Kamu bebas melakukan apa pun selama aku pergi. Tapi ingat satu hal, jangan coba-coba lari dariku. Bersembunyi di lubang semut bahkan ke ujung dunia pun kamu pasti kudapatkan." Lelaki itu pun balik badan dan bersiap pergi. Namun, langkahnya yang belum seberapa jauh itu pun harus terhenti saat didengarnya suara Vivian.

"Tolong, lepaskan aku dari hubungan ini."

Kedua tangan di sisi tubuh Wahyu mengepal. Rahangnya mengetat. Bagaimana bisa Vivian meminta hal itu darinya? Sampai kapan pun perempuan itu miliknya. Karena apa? Ratna telah mengharamkan perceraian bagi pernikahan mereka. Jika hal demikian sampai terjadi, maka dirinya pun harus rela melepas dan kehilangan Naya. Hingga detik ini, syarat pernikahannya dengan Naya diterima sang mama hanya jika Vivian berstatus sebagai istrinya. Bagi Ratna, Naya bukanlah siapa-siapa. Tak pernah berarti apa-apa. Namun, tetap saja, sosok yang disebut sang mama sebagai perempuan sial dan tidak pantas menjadi pendamping hidupnya itu adalah pengganggu dan ancaman. Naya dan dirinya dinilai tidak akan pernah sepadan.

"Lupakan hal itu, Vi. Memohon seperti apa pun, aku nggak akan mengabulkan permintaan konyolmu itu." Dengan tegas Wahyu melangkah. Ditinggalkannya sang istri tanpa peduli apa yang nanti akan terjadi setelah dia pergi.

Vivian terengah. Dari celah bibirnya tidak keluar sepatah kata pun. Dirinya menyerah. Mungkin dirinya ditakdirkan untuk terus berpasrah.
.
.
.
Sudah paham belum kenapa Wahyu tega menjadikan Vivian tumbal? Atau malah makin gak ngerti sama alurnya?
Thanks for reading. Jangan lupa tinggalkan jejak yang banyak.
Samarinda, 10 November 2023
Salam sayang,
BrinaBear88

Ada Dia di Antara Kita ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang