Sama-sama menuju area parkir kantor, Aida dan Jo bertabrakan di lobi. Tempat itu sudah sangat sepi saat kata aduh terlompat bersamaan dengan nada nyaris sama tinggi.
"Maaf, Mbak." Jo lebih dulu berucap, menyembunyikan kepanikan yang mampir tanpa undangan. Gesit tangannya bergerak mengumpulkan barang-barang yang berserakan di lantai. Sial, paper bag miliknya robek sehingga tidak lagi bisa digunakan sebagaimana mestinya. Terpaksa barang-barang itu dialihkan ke backpack yang semula hanya dicangklongkan di sebelah pundak.
"Aku juga minta maaf. Karena terburu-buru sampai nabrak kamu." Aida tercenung, lantas diam beberapa saat. Sesuatu—yang memang dia cari—tertangkap ekor matanya. "By the way, thanks, ya, Jo! Informasi dari kamu tadi sangat membantu. Kamu memang sangat bisa diandalkan," pujinya. Perempuan berhijab itu menepuk pelan lengan Jo, penuh rasa terima kasih.
"Aku cuma membantu sebisaku. Lagipula, ini bukan hal besar." Jo tertawa kecil seraya membenahi rambut yang menyapa pundaknya ke arah belakang. "Semoga kesaksianku membawa masalah ini pada titik terang."
"Pasti," balas Aida. Senyumnya terukir tipis, nyaris tak terlihat. Sosok Naya saat ini berputar-putar di benaknya. Dia mengkhawatirkan perempuan itu dan sangat ingin tahu apa yang sedang adik angkatnya itu kerjakan. "Wahyu juga tadi sudah berkoordinasi dengan pihak kepolisian. Sayang banget gerak mereka terlalu lambat."
"Aku yakin masalah ini akan segera selesai."
Aida membalas dengan anggukan pelan. Kehangatan yang sempat memancar dari sorot matanya berubah. Senyumnya sirna seketika.
Karena malam semakin larut, Jo pun pamit undur diri. Langkahnya terasa ringan. Dia senang karena telah melakukan bagiannya dengan sangat baik. Dalam perjalanan pulang, senyumnya terus merekah. Hadiah atas kesabarannya selama ini akhirnya dia terima. Kontan!
Pada akhirnya, yang menggunakan akalnya lebih unggul daripada mereka yang mengedepankan hati dan emosi. Seketika tawa puas pun membahana dalam sunyi.
From : Naya
Terima kasih karena selama ini sudah memberiku tempat untuk berkeluh kesah.
Maaf karena aku selalu merepotkan.
Kamu benar tentang Mas Wahyu, juga tentang Vivian.
Aku yang salah karena sudah memberi mereka ruang dan kesempatan.
Sadar diri nggak lagi berarti, aku putuskan untuk pergi.
Tolong pastikan surat kepemilikan villa, kunci dan cek itu kembali ke tangan Mama.
Kamu nggak perlu khawatir, aku akan tetap hidup meski tanpa membawa satu pun harta kepunyaan mereka.
Setelah ini entah kapan kita bisa kembali bertemu dan menjalin komunikasi.
Mungkin nanti, saat sakitku sudah pulih.
Semoga persahabatan ini tetap terjalin meski kita nggak bisa bertatap muka.
Aku pamit. Bye, Jo.-***-
Yang Naya tahu, Vivian menghilang untuk menenangkan diri. Kehamilan perempuan itu membuat emosinya labil dan tak terkendali. Jo sudah berusaha menjadi penengah di antara mereka, tetapi madunya itu tetap pada pendirian ingin memiliki Wahyu untuk dirinya sendiri saja. Kekecewaan yang Naya rasakan saat mengetahui fakta bahwa Vivian berbadan dua, tidak lebih mengecewakan dari kenyataan bahwa sang suami justru menutupi kabar itu darinya. Jika Jo tidak memberitahu, entah sampai kapan berita itu menjadi rahasia.
Kehadiran buah hati bisa jadi alasan kuat Wahyu mempertahankan Vivian berada di sisinya. Itulah mengapa Naya tidak menemukan jawaban atas pertanyaan yang dia ajukan. Lelaki itu tidak bisa menentukan pilihan. Semakin hari dia juga merasa tidak lain hanya sebagai pengganggu. Tidak lebih dari benalu. Maka, sebelum semakin dalam sakit yang dirasakan—atas pengabaian suami tercinta—dia memutuskan untuk menjauh. Pergi mungkin tidak menyelesaikan masalah, tetapi setidaknya dia punya jeda untuk menata hati yang lara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ada Dia di Antara Kita ✅
RomanceMemiliki lelaki idaman yang ingin dijadikan suami, tetapi Vivian harus berbesar hati menerima penolakan sang mama. Dia dipaksa menerima kenyataan, lelaki pilihannya tidak memenuhi kriteria calon menantu idaman. Hatinya patah, asanya musnah. Tidak cu...