Tidak Akan Ada Kata Cerai

845 91 37
                                    

Vivian mengerjap menyesuaikan diri dengan cahaya yang memasuki retinanya. Perempuan itu melenguh akibat sakit yang dia rasakan tidak hanya di bagian kepala melainkan sekujur tubuh. Butuh beberapa saat untuknya mengumpulkan kepingan ingatan. Sampai saat semua memori terkumpul, dirinya justru berharap melupakan segalanya.

"Akhirnya kamu sadar."

"Aku pingsan," kata Vivian seperti igauan.

"Iya, kamu pingsan." Aida membantu Vivian bangun. Dari berlutut di lantai, perempuan itu pindah duduk ke sebelah kanan Vivian.

"Aku di mana?" tanya Vivian sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tempat itu tampak begitu asing.

"Kita masih di kafe Kulonuwun. Ini ruang istirahat karyawan." Aida menjelaskan. "Mereka yang bantu bawa kamu ke sini. Kamu nggak sadarkan diri kurang lebih setengah jam."

Vivian mengangguk pelan. Pantas tadi dirinya berbaring di sofa panjang. Pun, bukan AC melainkan kipas angin yang digantung di langit-langit yang mendinginkan ruangan. Namun, ruangan berukuran 2×2 meter bercat biru muda itu terasa sejuk dan nyaman. Lagi-lagi dirinya melenguh. Kali ini perempuan itu memijat pelipis. Kepalanya berdenyut lagi. Perutnya juga mual, tetapi tidak sampai ingin muntah.

"Are you okay, Vi?"

Vivian tersenyum getir. Bagaimana bisa dirinya ditanya begitu? Setelah fakta yang sebenarnya tidak begitu mengejutkan mengenai suaminya dibeberkan beserta bukti-buktinya, apakah dirinya masih bisa dikatakan baik-baik saja? Dirinya berharap tidak pernah bangun lagi. Setidaknya melupakan segala hal yang hanya menambah lapisan rasa sakit di hatinya. Meski demikian, perempuan itu tetap mengangguk. "Aku baik-baik saja."

"Sure?" Aida menyangsikan. Perempuan itu benar-benar khawatir. Bukan hanya karena air mata Vivian, tetapi tumbangnya perempuan itu membuatnya didera perasaan bersalah. Demi membebaskan Naya dari hubungan toxic bersama Wahyu, dirinya jadi bertindak gegabah. Pikirannya tidak sejauh ini. Sebelum ini, tidak pernah tebersit di benaknya bahwa perempuan berkerudung di depannya akan pingsan. Dia pikir sebelumnya, Vivian hanya akan menangis karena sedikit kecewa, tetapi beberapa saat kemudian kondisinya membaik setelah sadar bahwa pernikahannya dengan Wahyu karena perjodohan. Namun, sepertinya kali ini intuisinya salah.

"Apa nggak sebaiknya kamu rawat inap di rumah sakit? Kondisi fisik dan psikismu membuatku khawatir. Bagaimanapun, aku pernah berada di posisi kamu. Aku tahu bagaimana-"

"Aku baik-baik saja," sela Vivian.

"Tapi kamu baru saja siuman, Vi!"

Vivian tidak menampik kondisi kesehatannya memang tidak begitu baik belakangan ini. Terlebih lagi dirinya baru saja tumbang tidak sadarkan diri beberapa saat lalu. Entah karena terlalu lelah, syok atau ....

Kamu kuat, Vi! Nggak ada waktu untuk mengeluh. Bukan saatnya menjadi rapuh. Selama ini bukankah kamu sudah terbiasa hidup bertemankan topeng? Menyembunyikan raut seribu luka dan berlakon seolah kamu perempuan paling bahagia di dunia. Untuk sekali ini lagi, terlihatlah kuat di depan mereka! Sembunyikan wujudmu yang babak belur dipukuli realita!

"Terima kasih Mbak sudah berbaik hati memberitahuku tentang Mbak Naya. Bagaimana kelanjutan hubunganku dengan Mas Wahyu ke depannya adalah urusan kami."

"Tapi-"

"Mbak Aida begini pasti karena merasa bersalah," terka Vivian. Kebungkaman Aida menegaskan perkataannya. "Jujur, sebelum bertemu Mbak Aida, aku sudah curiga ada yang nggak beres dengan rumah tangga kami. Kehadiran orang ketiga sudah cukup lama menghantui. Aku mencari kebenaran tentang orang ketiga itu, tapi ...," dirinya meneguk ludah, menurunkan pandangan dari wajah lawan bicaranya pada vas bunga yang berada di tengah meja, "aku nggak pernah menyangka justru akulah yang menjadi hantu dan perusak dalam rumah tangga perempuan lain." Sekuat hati dirinya bicara tanpa menangis. Sangat susah, karena air mata kembali berdesakan di pelupuknya. Namun, dirinya menekan luka itu kuat-kuat. Luka itu tidak boleh lagi terlihat.

Aida tetap menutup mulutnya rapat-rapat. Sudah cukup rasanya dia berulah. Entah ke mana kepercayaan diri yang senantiasa menyelimuti dirinya. Di depan Vivian perasaan itu hancur. Baru sekarang dirinya sadar, dirinya terlalu jauh melangkah menjajak ranah yang tidak seharusnya disentuh. Namun, bagaimana dirinya ingin kembali dan menghapus semua jejak?

"Mbak nggak perlu khawatir. Aku nggak serapuh yang Mbak lihat tadi. Aku pingsan karena memang kurang istirahat," tampik Vivian. Dirinya mulai bersiap untuk berpamitan. Pandangannya tidak lagi kabur, dirinya yakin kekuatannya perlahan kembali. "Aku permisi, Mbak. Assalamu'alaikum."

Belum cukup jauh Vivian berjalan, Aida menyusul. Dicegatnya langkah perempuan itu. "Vi, kalau kamu perlu bantuan, jangan sungkan menghubungi aku," pesannya sembari memeluk Vivian. Dirinya masih ditekan perasaan bersalah.

"Terima kasih, Mbak."

Saat melerai pelukan, Aida kembali berkata, "Jauhi Tante Ratna. Jangan pernah injakkan kakimu di rumahnya. Dia perempuan berbahaya."

Vivian mengangguk. "Aku pergi."

Luka hatimu membuat nalurimu tumpul, Da. Lihat perempuan di depanmu! Demi seseorang yang kamu akui sebagai adik, seseorang yang sebenarnya nggak mau ditolong, seseorang yang menolak uluran tanganmu lantas kamu membuat orang lain terluka? Kenapa nggak membiarkan waktu yang menyibak tabir kepalsuan yang selama ini Wahyu dan Tante Ratna bentangkan? Kamu lancang, Da! Sangat lancang! Demi apa pun, setelah ini jangan alihkan perhatianmu dari dia. Vivian nggak tahu seperti apa suami dan mertuanya.

-***-

Lelah mondar-mandir seperti setrika yang digunakan melicinkan pakaian, Wahyu mengempaskan tubuhnya di ranjang. Lelaki itu menggeram.

Sialan kamu, Mbak Aida! Aku yakin, ini semua ulahmu. Cuma kamu yang lancang dan terlalu sok ikut campur. Kalau sampai Vivian menuntut cerai dariku, nggak akan kubiarkan hidupmu tenang!

Di tengah tempat tidur berserakan foto-foto akad dirinya dengan Naya. Yang dirinya tidak tahu, mengapa acara yang digelar secara privat itu bisa sampai ke telinga kakak sepupunya itu. Bahkan, foto-foto yang merupakan dokumentasi satu-satunya bisa Aida dapatkan. Sialnya, kini lembaran kertas bergambar itu berpindah ke tangan Vivian.

"Tapi ... nggak semudah itu lepas dariku, Vi." Wahyu mengulum senyum. Alat tes kehamilan dengan dua garis merah yang mengintip di balik tumpukan foto membuat senyumnya lebih lebar.

Wahyu bertekad tidak akan ada perpisahan, baik itu antara dirinya dengan Vivian, maupun dengan Naya. Dirinya yakin, kedua istrinya bisa hidup rukun dan saling menghargai. Dirinya juga yakin, bisa membagi perhatian dan kasih sayang secara adil. Jangan tanya perihal nafkah lahir, dirinya lebih dari mampu mencukupi kebutuhan kedua istrinya sekalipun Vivian berhenti bekerja.

"Kamu pikir bisa menyembunyikan hal ini dari aku, Vi? Kamu terlalu polos untuk bermain peran denganku." Lelaki itu menyeringai. "Aku memang nggak mengerti apa nama perasaanku ke kamu saat ini. Aku juga nggak tahu bagaimana perasaanmu. Tapi, dengan hadirnya calon bayi kita, aku punya cukup banyak waktu untuk meyakinkan kalau kita bisa melalui ini semua bersama."
.
.
.
Setelah sekian purnama, akhirnya aku bisa update juga. Gak tau kenapa hari ini lancar banget nulisnya.
Problemnya mulai menanjak, ya.. Meskipun masih terbilang slow, semoga gak pada enek sama alurnya.
Terima kasih sudah membaca. Jangan lupa tinggalkan jejak. Aku mau lihat, seberapa banyak yang masih menantikan lanjutan cerita ini.
Samarinda, 29 Oktober 2023
Salam sayang,
BrinaBear88

Ada Dia di Antara Kita ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang