Maaf Kalau Aku Serakah

552 89 58
                                    

Gigi-gigi Vivian bergemeretak menahan geram. Kesabarannya sudah di ambang batas. Dirinya tidak mau lagi disibukkan dengan teka-teki yang menguras emosi. Dirinya sudah terlampau emosional dan tidak ingin beban pikirannya ditambah lagi. Langkahnya pun terayun lebar menyusul Aida, menahan pergerakan perempuan itu saat hendak membuka pintu.

"Mbak, tolong, jangan setengah-setengah kalau bicara. Kalau memang ada sesuatu yang harus aku tau tentang Mas Wahyu, kenapa nggak to the point? Jangan menggantung apalagi ngajak aku main teka-teki. Otakku nggak sampai, Mbak." Vivian hampir kelepasan menjerit. Dirinya sangat frustrasi karena terbelenggu oleh ketidaktahuan dan rasa penasaran. Dia ingin segera bebas walaupun sebelumnya harus menjejalkan pil pahit melewati kerongkongan. Oleh sebab itu, meskipun terkesan tidak sopan, perempuan berhijab itu nekat mencengkeram pergelangan Aida yang notabene berusia lebih tua darinya. Cukup kuat hingga membuat lawan bicaranya itu membeliak.

Sementara itu, Aida yang tadinya terkejut karena tidak menyangka bisa melihat Vivian bisa menggebu dan berapi-api lantas menyunggingkan senyum. Benar-benar jauh berbeda dari yang dia dengar selama ini. Dari orang-orang yang memberinya informasi, semua sepakat mengatakan perempuan itu sangat pendiam, kalem dan terlalu serius. Beberapa di antaranya bahkan mengatakan Vivian penakut, kuper, cupu dan berbagai sebutan buruk lainnya.

"Tolong, Mbak Aida jangan—"

Aida menyela, "Minggu ini, jam 11 siang. Kafe Kulonuwun di Jalan Kenanga." Perempuan itu tersenyum semakin lebar. "Jangan sampai telat," katanya sambil membelai lembut lengan Vivian. Dengan tenang, dirinya melepaskan diri, berbalik lantas mengayun langkah pasti dengan perasaan senang bukan kepalang.

Sepertinya Tante Ratna sudah salah memilih menantu. Vivian bukan perempuan lemah dan bodoh seperti yang Tante kira. Kurasa ... dia bukan boneka yang bisa Tante mainkan sesuka hati. Dia perempuan yang penuh kejutan!

-***-

"Enak?"

Naya mengangguk. "Aku suka." Matanya berbinar memandang sajian di depannya.

"Aku suka lihat kamu makan lahap begini."

"Mas Wahyu beli di rumah makan mana?" Naya diam sejenak. Sekali lagi menyapukan pandangan ke arah meja makan yang dipenuhi masakan khas rumahan kesukaannya. "Ah, ini, sih, kayaknya beli di restoran. Iya, Mas?"

Wahyu tidak menjawab. "Nggak penting asalnya dari mana, yang penting kamu suka." Mengatakan itu masakan Vivian tentu akan membuat Naya patah hati. Setelahnya pasti perempuan itu akan semakin rendah diri. Memasak memang bukan keahliannya.

"Ish, gitu, deh! Bikin penasaran aja!" Naya memberengut, tetapi tidak berapa lama dia pun tersenyum. "Chef-nya pintar banget. Ini, sih, keren!" pujinya tulus.

"Cepat pulih, ya, Sayang," ucapnya lagi, menggenggam tangan Naya. Dia senang, keadaan istri pertamanya terus membaik dari hari ke hari. Meskipun belum bisa makan banyak seperti biasanya, tetapi nafsu makan perempuan itu terlihat meningkat pesat. Hari ini Naya juga tampak lebih cerah dan ceria. Makanan enak yang dia bawakan sepertinya turut mendongkrak semangat perempuan itu.

Naya menandaskan air putih di gelasnya. Tak lama, dia pun bersendawa. Wahyu tersenyum melihat tingkah konyolnya. "Habis ini Mas Wahyu balik lagi ke kantor?" tanyanya manja.

"Kenapa?" tanya Wahyu. Lelaki yang juga baru menyelesaikan makan siangnya itu mendongakkan kepala hingga tatapannya bertemu dengan sepasang netra sang istri. Sayangnya, perempuan itu hanya diam. Namun, dari sorot mata, dia tahu ada yang mengganggu pikiran perempuan itu.

"Mas mesti balik karena jam 2 nanti ada rapat sama Pak Wisnu dan Bu Nindira," terangnya menyebutkan nama manajer pemasaran dan manajer SDM di kantornya. "Ada beberapa hal yang harus kami bahas terkait perekrutan yang akan dilakukan dalam waktu dekat."

Ada Dia di Antara Kita ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang