Usai membersihkan diri, Wahyu berpakaian di kamar mandi. Kaus polo hitam dan celana piama panjang senada atasannya. Idealnya, dirinya tidak memerlukan pakaian di malam pertamanya dengan Vivian. Hanya saja, lelaki itu tidak bisa. Setidaknya, bukan malam ini, di saat pikirannya masih dipenuhi banyak hal. Lagipula, tidak adil bagi istrinya.
Mengingat seberapa lama waktu yang telah dia habiskan di kamar mandi, Wahyu mengira Vivian sudah tertidur. Alangkah terkejutnya lelaki itu saat mendapati sang istri duduk di bibir ranjang. Kegelisahan tampak jelas di wajahnya.
Apa dia dari tadi nungguin aku?
"Sudah selesai, Mas?" tanya Vivian dengan suara bergetar. Pandangannya bersirobok dengan Wahyu. Tanpa sadar, perempuan itu meremas tali jubah tidur yang menutupi tubuh setengah telanjangnya. Sialnya, Wahyu cukup sadar diri dengan pakaian yang saat ini membalut tubuh istrinya. Lingerie yang sebenarnya tidak menutupi apa-apa.
"Kenapa belum tidur, Vi?" tanya Wahyu usai meneguk ludah yang terasa bagai gumpalan daging sekepalan tangan bayi.
Vivian mengerjap. Bukannya seharusnya ….
"Sudah larut malam. Mendingan kita istirahat aja. Besok masih akan melelahkan dibanding hari ini," kata Wahyu melakukan sedikit penekanan di akhir kalimat.
"Mau … apa?"
"Kamu nggak ingat?" Wahyu balik bertanya. Handuk kecil yang tadi digunakan mengeringkan rambut, dia gantung di depan pintu lemari menggunakan hanger.
Vivian diam, berpikir keras mengingat apa saja yang telah mereka bicarakan sebelum menikah.
"Bukannya aku sudah bilang, setelah menikah kamu akan tinggal di rumahku?"
"Secepat ini?"
"Kamu keberatan?"
Vivian menggeleng cepat. Sekarang, besok atau lusa tidak ada bedanya baginya. Hanya saja, dirinya belum sempat menyampaikan hal itu kepada kedua orang tuanya.
Seolah tahu apa yang Vivian pikirkan, Wahyu bertanya, "Belum bilang sama Mama Papa, ya?"
"Belum."
"Kalau gitu, besok biar aku yang ngomong sama Mama Papa. Mereka pasti ngerti. Lagipula, idealnya memang setelah menikah istri ikut suami, 'kan?"
Vivian mengangguk.
Wahyu terkekeh, dia berkata, "Angguk-angguk, geleng-geleng. Kamu sadar nggak, kalau tingkah kamu mirip boneka pajangan? Bener-bener nggemesin."
Lagi-lagi Vivian merasakan pipinya terbakar. Rona merah dengan cepat menyebar.
"Kamu capek, 'kan?"
Hampir saja Vivian mengangguk. Saat teringat olokan Wahyu tadi, dia menjawab singkat. "Iya, capek." Begitu lebih baik, pikirnya.
"Kalau gitu kita istirahat sekarang aja," cetus Wahyu seraya melakukan peregangan. Tidak menampik, dirinya lelah luar biasa. Beberapa hari terakhir dirinya tidak dapat tidur nyenyak. Jadi, yang dia inginkan saat ini adalah menempelkan kepalanya di bantal dan berendam di bawah selimut.
Wahyu duduk di sisi kiri ranjang. Melihat kelopak mawar merah yang bertebaran di atas ranjang, Wahyu bertanya, "Ini mau dibersihkan dulu atau kita tidur begini aja?"
"Terserah." Vivian semakin gugup. Jantungnya keras berdegup. Seumur hidup, baru kali ini dirinya tidur seranjang dengan lelaki. Bahkan dirinya tidak ingat kapan terakhir kali tidur bersama Zainal yang notabene adalah ayah kandungnya.
Wahyu merebahkan diri lalu menepuk sisi sebelah ranjang yang kosong. "Ayo, kita tidur!" ajaknya setelah menguap lebar.
Vivian menurut. Dirinya merebahkan diri di samping Wahyu. Menyadari ada guling di antara mereka, membuat Vivian sedikit lega.
"Siapa yang nyuruh kamu pakai baju kayak gitu?" tanya Wahyu seraya menarik selimut hingga lembaran kain panjang tebal itu menutup hampir seluruh tubuhnya dan sang istri.
"Mama," cicit Vivian tanpa pikir panjang.
"Mama aku atau Mama kamu?" cecar Wahyu penasaran. Dari sifat Vivian yang pemalu, sedari awal dirinya yakin baju tidur transparan tidak termasuk inisiatif perempuan itu dalam menyambut malam pertama mereka.
"Dua-duanya," sahut Vivian tak ingin menutup-nutupi. Dirinya menjawab pertanyaan sang suami
apa adanya.Wahyu mengangguk-angguk. Mama dan mertuanya memang sangat kompak.
"Besok-besok nggak usah pakai baju gitu lagi. Aku tahu kamu risi."
"Tapi, kata Mama–"
"Mulai sekarang, cukup dengarin aku aja."
Vivian menggumam pelan. Lidahnya kelu, sementara otaknya mendadak kram. Dirinya tidak menyangka bisa melihat sisi sang suami yang bertolak belakang dengan Rinta. Lelaki itu mau mengerti dan tidak memaksakan kehendak padanya.
"Aku nggak suka lihat kamu terpaksa."
Vivian meneguk ludah. Apa Mas Wahyu bisa membaca pikiran?
"Jadi diri kamu sendiri aja, Vi. Aku lebih suka hubungan kita berjalan natural. Jangan memaksakan diri kalau memang kamu masih menganggapku asing."
Vivian mengulum senyum. Dirinya tidak menyangka lelaki itu begitu pengertian. Mungkin benar kata mamanya, Wahyu memang suami idaman.
-***-
Tanpa terasa tiga jam berlalu dan Vivian masih belum menyelesaikan berbenah barang yang dia bawa. Satu sisi lain yang Wahyu temukan dari perempuan pendiam itu, perfeksionis. Hal yang cukup bertolak belakang dengannya yang terbiasa asal tidak berantakan, tetapi begitu familier jika disandingkan dengan mama dan mama mertuanya.
"Kalau cara kamu nyusun barang gitu, bisa-bisa sampai malaikat Israfil niup sangkakala nggak bakal selesai."
Candaan sarkas Wahyu sukses menghentikan gerakan tangan Vivian. Kedua pipi perempuan yang telah mengganti gamisnya dengan daster katun panjang dihiasi rona merah yang menggemaskan.
Dengan gerakan perlahan, Vivian melepas pakaian yang tadinya mau dia lipat ulang, menumpuk menjadi satu secara asal dengan sisa pakaian dalam koper lalu menepikannya ke sudut kamar.
"Loh, kok?"
"Mas Wahyu perlu sesuatu? Mau ngopi atau …," Vivian melirik jam yang tergantung di dinding kamar dan meneguk ludah ketika menyadari telah lewat jam makan siang, "mau makan, ya?" lanjutnya tak enak hati. Masalah membereskan barang bawaan yang tidak seberapa saja bisa sangat menguras perhatian dan memakan waktu hingga berjam-jam lamanya. Sampai-sampai dirinya mengabaikan kewajiban sebagai seorang istri. Dasar payah!
Wahyu tertawa. "Iya, nih, lapar," katanya sambil mengusap-usap perut. "Piaraan di dalam sini pada demo karena belum dikasih makan."
Wajah Vivian memucat. Perempuan itu lekas berdiri lantas berlalu begitu saja melewati Wahyu dan keluar kamar. Yang terpikirkan olehnya hanya sesegera mungkin menyajikan makanan untuk suaminya yang kelaparan.
Baru beberapa langkah, Vivian berhenti. Dirinya berdiri linglung di ambang pintu saat menyadari belum mengetahui di mana letak dapur maupun ruangan lainnya. Sejak datang tadi, dirinya mengikuti Wahyu yang langsung membawa seluruh barang bawaan ke kamar utama.
Vivian memberengut saat mendengar tawa lelaki di belakangnya pecah. Lebih menyebalkan lagi, suara itu terdengar semakin dekat dengan telinganya. Perempuan itu memejamkan mata berharap memiliki kekuatan memutar waktu atau setidaknya teleportasi untuk menghilang sementara waktu. Pikiran bodoh itu berhenti saat menyadari keberadaan Wahyu di sampingnya.
Untuk mengahalau rasa tegang yang tiba-tiba datang, perempuan pemalu itu meremas kedua sisi daster berharap bisa sedikit mengurangi kegugupan."Nggak usah masak. Aku sudah beli makanan tadi," kata Wahyu menenangkan. Tawanya sudah reda. Lelaki itu menyentuh pelan pundak sang istri yang bergeming sambil menggigit bibir. "Sini, kita touring tipis-tipis rumah ini dulu. Supaya kamu nggak sesat."
Lagi-lagi Vivian merasakan pipinya terbakar. Perkataan Wahyu membuatnya malu karena bertingkah sangat konyol. Dalam hati, dirinya merutuki diri sendiri.
Makanya, Vi, biasakan gaul sama manusia. Jadi, nggak malu-maluin kayak gini! Kalau keseringan, yang ada nanti dia mikirnya kamu bodoh kebangetan.
"Ayo!"
.
.
.
Terima kasih sudah mampir 🥰 dan meninggalkan jejak ⭐💬
Samarinda, 07 Juni 2023
Salam sayang,
BrinaBear88
KAMU SEDANG MEMBACA
Ada Dia di Antara Kita ✅
RomansMemiliki lelaki idaman yang ingin dijadikan suami, tetapi Vivian harus berbesar hati menerima penolakan sang mama. Dia dipaksa menerima kenyataan, lelaki pilihannya tidak memenuhi kriteria calon menantu idaman. Hatinya patah, asanya musnah. Tidak cu...