Ya, Kita Menikah

659 68 13
                                    

Hingga lewat tengah hari Vivian tidak juga membalas pesan Wahyu. Perempuan itu berusaha tenggelam dalam rutinitas pekerjaan harian, tetapi sial, otaknya menolak bekerja sama. Fokusnya terpecah.

Desahan panjang luapan rasa lelah dan frustrasi terlepas setelah terkungkung sejak dirinya membuka mata pagi tadi. Dengan enggan, perempuan itu akhirnya mengambil ponsel yang dia simpan di laci meja kerja. Setelah mengetikkan beberapa angka, kunci ponsel terbuka. Vivian bergeming beberapa saat memandangi pesan yang dikirim Wahyu.

"Bagaimana pendapatmu tentang perjodohan ini?" Bagi Vivian, pertanyaan itu sedikit lucu. Orang tuanya saja tidak pernah bertanya apa keinginannya. Tidak pernah juga ingin tahu apa yang dia pikirkan. Lalu, untuk apa lelaki itu meminta pendapatnya?

To : +6289876543210
Orang tua kita sudah memutuskan. Insyaallah, inilah yang terbaik.

Baru hendak menyimpan kembali ponselnya, denting notifikasi terdengar. Balasan dari Wahyu.

From : +6289876543210
Berarti kamu setuju menikah denganku?

To : +6289876543210
Ya, kita menikah.

Vivian termangu melihat balasan yang baru saja dia kirimkan untuk lelaki itu. Helaan napas panjang terjadi setelahnya.

Memangnya aku punya pilihan selain itu?

-***-

Pesta pernikahan yang digelar secara besar-besaran baru saja usai. Kemeriahan acara yang meninggalkan rasa lelah luar biasa.

Kepenatan bersarang hampir di sekujur badan Vivian. Padahal yang dia lakukan sepanjang hari hanya menampilkan senyum selama bersanding di pelaminan.

Mungkinkah karena senyumnya tidak berasal dari hati? Tapi … bukankah selama ini dirinya telah terbiasa dengan kepura-puraan? Pura-pura bahagia, pura-pura sempurna, pura-pura baik-baik saja. Lagipula, dia sendiri yang memutuskan menerima perjodohan ini. Meskipun memang, dirinya tidak diberi pilihan menolak oleh sang mama. Lantas mengapa hampa tetap meraja dalam sukmanya?

Demi rasa bakti, Vivian ingin kedua orang tuanya bahagia. Dirinya yang selama ini selalu kurang di mata mereka, 'katanya' kini telah lengkap. Wahyu adalah sosok yang menutupi segala kekuranganya. Setidaknya, begitu yang mamanya bilang.

"Belum mandi, Vi?" tanya Wahyu, menarik Vivian keluar dari lamunan.

Vivian menoleh pada lelaki yang sejak pagi tadi telah mengganti statusnya menjadi seorang istri. Wahyu duduk di bibir ranjang, menatap lurus ke arahnya. Sorot lembut yang tertangkap saat dua pasang mata bersitemu membuat bulu halus di sekujur tubuh perempuan itu meremang.

Perasaan aneh menyelusup. Entah apa namanya. Rasa itu terlalu asing bagi Vivian. Berada di ruang tertutup bersama lelaki berstatus suami—sekalipun mereka masih saling asing—adalah momen yang sangat istimewa baginya.

"Vi?"

Perut Vivian ikut-ikutan berulah. Organ dalam perutnya mulai melilit dan mengejang.

"Ditanyain malah ngelamun." Wahyu berdiri, menanggalkan jas yang nyaris seharian melekat di tubuhnya lalu melemparkan ke sofa yang letaknya tak jauh dari ranjang. Tubuh atletis itu terlapisi kemeja putih yang telah basah di beberapa bagian. Lelaki itu berjalan santai ke arah Vivian sambil menceraikan beberapa kancing teratas kemejanya.

"Mas … tanya apa?" Vivian gugup setengah mati. Selama ini dirinya tidak pernah dekat dengan lelaki mana pun, sekalipun sepupunya sendiri. Namun, kali ini dirinya bersama sang suami dalam satu ruangan dengan pencahayaan temaram. Demi apa pun, dirinya ingin melarikan diri dan bersembunyi.

"Kamu mikirin apa, sih, sampai nggak fokus gini?" Wahyu berdiri tepat dua langkah di depan sang istri. Senyum lembutnya masih setia terukir. Satu langkah lagi dia ambil menipiskan jarak yang tersisa.

Vivian merasakan wajahnya memanas. Dia menunduk, menyembunyikan wajahnya yang bersemu karena malu. Namun, belum sampai semenit, Wahyu mendongakkan kembali wajahnya untuk mempertemukan tatapan mereka.

"Mandi dulu, gih! Habis itu baru kita …." Wahyu berdeham. Melihat wajah Vivian semakin merah, lelaki itu terkekeh geli.

"Ma-mau … ngapain?" Vivian tidak bisa menyembunyikan kegugupan. Sepasang mata bulat di bawah naungan bulu mata lentik itu mengerjap polos. Tawa Wahyu yang menggelegar di keheningan membuat gadis itu jengah.

"Mau apa, ya ...?" Wahyu mengerling menggoda.

Vivian meneguk ludah. "Kita … anu … Vivi–"

"Hayooo, kamu mikirin apa coba?" sela Wahyu, gemas melihat Vivian salah tingkah. Sebelah tangannya terangkat dan nyaris mendarat di pipi sang istri andai perempuan itu tidak melangkah mundur secara tiba-tiba.

Vivian menggigit bibir bawahnya seraya menggeleng. "Ma-maaf," mohonnya dengan suara lirih. Dalam hati, Vivian memaki diri sendiri yang tidak bisa mengendalikan diri.

"It's okay. Aku ngerti kamu pasti gugup," tukas Wahyu. Herannya, senyum masih bertahan menghiasi wajahnya usai kejadian tadi. "Pelan-pelan, kita memang masih dalam tahap menyesuaikan diri satu sama lain."

Vivian mengangguk dan tersenyum kecil, setuju dengan apa yang suaminya katakan. Dia bersyukur, Wahyu tidak marah karena sikap konyolnya tadi.

Perlahan dan hati-hati, Wahyu meletakkan kedua tangannya di bahu Vivian. Perlahan remasan lelaki itu berikan sebelum menyasar lengan sang istri. Kali ini perempuan itu tidak menghindar, meskipun jantungnya berdetak kencang menahan luapan rasa yang baru pertama kali ini menyapa hatinya. Jantung dan hatinya jungkir balik tak karuan.

Wahyu memajukan wajahnya hingga hanya berjarak sejengkal di depan wajah Vivian. Dari jarak sedekat itu, dia dapat melihat dengan sangat jelas kecantikan istrinya. Sempurna, tanpa cela. Persis yang mamanya katakan. Hati kecilnya memuji, dia sangat beruntung. Perempuan di depannya mungkin akan dengan mudah membuatnya jatuh cinta, seperti kata Naya. Namun, bagaimana jika itu benar-benar terjadi?

"Mandi dulu, Vi. Jangan lupa keramas," pesan Wahyu. Disentuhnya kening Vivian dan menetapkan telunjuknya di bagian itu beberapa saat. "Biar pikiran-pikiran anehnya hilang kena busa sampo," imbuhnya dengan senyum mengembang.

Mengambil langkah seribu, Vivian berlalu menahan rasa malu yang tumbuh semakin besar. Sementara itu, tawa Wahyu membahana di keheningan kamar.

Wahyu mengikuti pergerakan Vivian hingga tubuh mungil perempuan itu hilang disembunyikan pintu kamar mandi yang tertutup rapat. Detik itu juga senyum lelaki itu luntur. Hela napas panjang terlepas. Gegas dia menuju nakas dan mengambil ponsel, membuka pesan masuk yang sejak siang tadi belum dibaca.

Jo :
Selamat, Mas.
Sakinah mawaddah warahmah.
Till jannah.
Ingat, jangan berat sebelah!

Wahyu memejamkan mata menikmati rasa sakit yang menjalar di hatinya. Sekuat apa pun dirinya berusaha, tawa yang dia tampilkan tetap palsu dan menyimpan luka. Tidak seharusnya dirinya menyeret Vivian dalam situasi seperti ini. Namun, hanya ini cara satu-satunya yang bisa dia lakukan.

I'm so sorry, Vi. Andai aku punya pilihan, aku nggak mungkin tega menarik perempuan sebaik kamu turut serta dalam bahtera penuh duri seperti ini. Percayalah, pernikahan penuh rahasia seperti ini juga berat untuk kujalani. Semoga kamu kuat saat badai itu datang menyapa nanti
.
.
.
Hmmm.. Wahyu punya rahasia apa, sih? Ada yang bisa menebak alurnya?
Terima kasih sudah mampir 🥰 dan meninggalkan jejak ⭐💬
Samarinda, 05 Juni 2023
Salam sayang,
BrinaBear88

Ada Dia di Antara Kita ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang