"Mas Wahyu benar-benar sudah ikhlas menerima semua? Aku keguguran, Mas. Kita kehilangan calon bayi kita." Naya terisak pilu. Matanya yang basah menerawang sendu. "Aku mengecewakan Mas Wahyu. Aku nggak becus bahkan sebelum resmi jadi Ibu." Perempuan itu meremas selimut yang membungkus setengah tubuhnya. Sekuat-kuatnya. Seolah dengan begitu bisa menyalurkan semua sakit yang bersemayam dalam kalbunya.
"Jangan ngomong begitu, Nay. Kamu perempuan hebat, kamu akan jadi ibu yang hebat," sangkal Wahyu dengan perasaan lebur. Kesakitan Naya juga menyiksa batinnya.
"Aku pembawa sial, Mas. Nasib burukku langsung berdampak sama keturunanku. Bahkan saat dia masih di kandungan." Naya semakin pilu. Air matanya banjir bercampur lendir bening yang mengalir dari hidungnya. Penampilannya sangat kacau.
"Kamu nggak usah mikirin yang macam-macam, Nay. Fokus sama kesembuhan kamu aja." Wahyu memeluk Naya, membelai lembut rambut perempuan itu penuh kasih. Dibiarkannya sang istri menumpahkan semua luka lewat air mata. Saat merasa tubuh dalam dekapannya berangsur tenang lelaki itu mengurai pelukan. Tersenyum sambil berkata, "Tuhan tahu yang terbaik buat hamba-Nya. Mungkin, menurut-Nya inilah yang terbaik untuk kita semua."
Naya membeliak. Dia menggeleng sambil mendorong tubuh Wahyu menjauh. Perkataan sang suami mencubit hatinya. Getir, dia berucap, "Omongan Mas Wahyu tadi menyiratkan kalau kepergian anak kita nggak diinginkan. Betul begitu, Mas? Mas Wahyu nggak mau dia ada?"
"Bukan begitu, Nay. Melihat kondisi kamu begini, kurasa itulah yang terbaik. Tuhan nggak mau memberi kamu beban dan tanggung jawab lain di saat kamu sendiri belum bisa—"
Naya menyela, "Sudah, aku nggak mau ngomong dengan Mas Wahyu lagi. Percuma! Mas nggak ngerti! Mas nggak peduli sama perasaanku."
Debas keras terlepas dari celah bibir Wahyu. "Kamu tenangkan diri dulu. Tenangkan hati dan pikiranmu. Kamu tau pasti Mas gimana. Setelah itu, kamu pasti sadar kalau yang keluar dari mulut kamu tadi semata karena emosi." Lelaki itu mengecup puncak kepala sang istri lalu bangkit. Gontai, dia mengayun langkah pergi. Sebelum membuka pintu dirinya berpesan, "Istirahat yang banyak. Mas mau kamu cepat pulih, Sayang."
Wahyu termenung usai menutup pintu. Hatinya tidak tenang. Entah bagaimana, di saat seperti ini justru Vivian selalu membayang. Perempuan berhijab itu menari di benaknya. Kejadian semalam berkelabatan tak henti-hentinya.
"Gosh, sial banget! Kenapa bisa kepencet, sih?" Jo merutuki diri. Perempuan bertubuh ramping itu mondar-mandir sambil mengetuk kepalanya dengan ponsel.
"Kenapa, Jo?"
"Ini temanku ada kirim undangan, nggak taunya APK. Aku baru sadar setelah klik tautannya, hapeku mendadak error. Kayak ada glitch gitu. Duh, gimana, sih, jelasinnya? Pokoknya kayak ada yang aneh, nggak kayak biasanya gitu," terang Jo emosi.
"Baru aja kejadiannya?"
Jo mengangguk, lantas menggeleng. "Ada kali hampir satu jam." Matanya berkaca-kaca. "Aku galau karena nggak bisa akses m-banking aku."
"Aku pernah baca di artikel, kalau telanjur klik modus-modus sniffing kayak gitu, cepat hubungi call center bank untuk memblokir rekening sama ganti PIN dan password. Jangan lupa habis itu matikan paket data sama wifi di perangkat," saran Wahyu.
"Terus gimana? Beneran berhasil, nggak, Mas?" Jo antara sangsi dan senang diberi solusi.
"Hapus dan blokir m-banking kamu, terus kembalikan format hape ke setelan pabrik." Wahyu menghela napas. "Semoga belum terlambat," katanya sambil menatap iba sahabatnya.
Sayangnya, sebelum Jo menuruti semua arahan Wahyu, ponselnya berdenting. Notifikasi mobile banking yang menginformasikan jika akunnya saat ini sedang digunakan oleh ID lain.
"Terlambat," keluh Jo nelangsa. Perempuan berkulit putih itu menitikkan air mata menatap layar ponselnya. "Tega banget, sih, orang-orang ini?"
Wahyu menuntun Jo menuju sofa di ruang tengah, letaknya persis di depan kamar tidurnya dengan Naya. "Sabar, ya ...." Lelaki itu turut prihatin. Dia tahu benar, terlahir dari keluarga yang kurang beruntung dari segi ekonomi, menjadikan Jo harus bekerja keras selama ini. Terlebih semenjak ayahnya meninggal dunia, Jo yang merupakan anak sulung mengambil alih peran sang ayah menjadi tulang punggung keluarga menghidupi ibu dan adiknya.
"Uang di rekening itu memang bukan semua tabunganku, tapi di situ semua dana yang khusus kusiapkan untuk biaya pendidikan Jeje. Mas tau, kan, dia pengin banget masuk fakultas kedokteran? Biayanya pasti nggak sedikit. Uang di situ aja belum tentu cukup, tapi semangat Jeje bikin aku rela melakukan apa pun untuk bisa mewujudkan mimpinya jadi dokter." Jo tenggelam dalam sedu sedan. Perempuan itu menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. "Padahal kemarin Jeje senang banget waktu ngabarin kalau dia lolos seleksi masuk. Tapi, sekarang ...." Dia tidak lagi bisa melanjutkan ucapan. Air mata terus mengalir tak mau berhenti.
"Sabar, Jo." Wahyu membelai pundak Jo yang berguncang.
"Aku ngumpulin uang itu bertahun-tahun, Mas. Terus sekarang raib begitu saja. Gimana aku bisa ikhlas?" Teringat semua perjuangannya mengumpulkan rupiah demi rupiah hingga harus begitu berhemat, Jo merasa dadanya semakin sesak setiap detiknya.
Belum berhasil menenangkan Jo, pintu rumahnya diketuk. Wahyu berucap, "Ada tamu. Aku bukain pintu dulu." Lelaki itu mengayun langkahnya dengan ringan, tanpa firasat apa pun. Namun, sesaat setelah membuka pintu, lelaki yang saat ini mengenakan kemeja slim fit biru langit itu merasa jantungnya berdebar keras hingga nyaris meledak. "Vi?" gumamnya tak percaya. Vivian sama tak yakinnya. Namun, kedua insan yang telah saling mengikat diri dalam janji suci perkawinan itu sadar bahwa yang terjadi saat ini adalah nyata.
"Vi?"
"Mas?" ucap Vivian dan Wahyu bersamaan, lantas keduanya terdiam saling pandang. Seolah mereka terjebak dalam dimensi dan waktu berhenti bergerak sejenak.
"Betul, Vi, dia suamimu?" Suara Helena menyadarkan keduanya.
"Siapa, Mas?" Di saat bersamaan Jo keluar dengan mata sembap. Jejak air mata bahkan masih terlihat di sepanjang pipinya.
Mata Vivian bersirobok dengan mata Jo. "Kamu ...." Vivian merasa suaranya tersangkut di kerongkongan.
Wahyu panik. Lelaki itu pasi. Dia merasa benar-benar terjepit. Kenapa bisa Vivian ada di sini? Dia melirik Jo sambil berucap, "Jangan salah paham, Vi. Dia—"
"Dasar laki-laki berengsek!" maki Helena sambil melayangkan tinjunya ke wajah Wahyu. Dia kalap karena terlalu emosi.
"Mas!" Jo tanpa sadar memekik. Perempuan itu gegas menghampiri sang atasan yang terhuyung akibat bogem mentah yang dilayangkan si tamu asing. Sambil membantu Wahyu berdiri, dia menghardik, "Kalian apa-apaan, sih? Aku panggilkan sekuriti buat mengusir kalian!"
"Kamu pelakornya?" Helena yang benar-benar marah maju dan nyaris menerjang Jo. Namun, Vivian gesit menangkap pergelangan perempuan itu, menahan pergerakannya.
"Vi, mereka pantas dikasih pelajaran!" geram Helena tak terima. Dari Vivian, dia beralih pada Jo. "Heh, kamu yang namanya Naya, kan? Maju sini! Dasar pelakor sialan! Percuma muka cantik, tapi hati kayak setan! Kalau gatal, jangan minta garuk sama suami orang, dong!"
"Naya?" Jo dan Wahyu saling pandang.
"Len, jangan bikin keributan di sini! Nggak baik." Vivian mengingatkan sahabatnya. Sekuat tenaga dia menahan Helena. Namun, tidak bisa dipungkiri jika hatinya teremas perih bagai ribuan tombak dilemparkan dan menancap bersamaan di sana.
"Please, kamu jangan salah paham, Vi." Wahyu buka suara setelah tersadar dari keterkejutan. Dia mencoba tenang walaupun tahu peluangnya meyakinkan sang istri mungkin begitu tipis. "Dia Naya, asisten aku di kantor," terangnya memperkenalkan Jo. Berpaling menatap sang sahabat, "Nay, please, bantu jelasin ke Vivian supaya nggak ada kesalahpahaman. Dia sepertinya salah mengira soal hubungan kita."
Dia ... Vivian?
.
.
.
Samarinda, 14 Juli 2023
Salam sayang,
BrinaBear88
KAMU SEDANG MEMBACA
Ada Dia di Antara Kita ✅
RomanceMemiliki lelaki idaman yang ingin dijadikan suami, tetapi Vivian harus berbesar hati menerima penolakan sang mama. Dia dipaksa menerima kenyataan, lelaki pilihannya tidak memenuhi kriteria calon menantu idaman. Hatinya patah, asanya musnah. Tidak cu...