Deru mobil di carport menarik atensi Naya yang tengah menonton televisi sambil menikmati dimsum yang dibelinya secara online. Perempuan itu bergegas memindahkan piring di pangkuannya ke atas meja lantas berlari ke pintu depan. Senyumnya merekah menyambut kepulangan Wahyu. Suaminya itu sudah berhari-hari tidak pulang sehingga membuatnya gelisah memendam rindu. "Aku kangen," rengeknya sambil bergelayut manja.
Tidak ada senyum menghiasi wajah Wahyu saat menepis perlahan tangan Naya. Alih-alih merangkul atau mencium sang istri seperti biasanya, yang dia lakukan justru terus berjalan memasuki rumah. Langkah gontainya terhenti di sofa panjang ruang tamu. Tanpa melepas sepatu, dia langsung merebahkan diri di sana. Lelaki itu sangat lelah dan mengantuk. "Maaf, Nay. Aku capek," keluhnya lirih. Tidak lama kemudian lelaki itu menguap lebar. Matanya sudah setengah terpejam, terlalu berat untuk dibuka.
Naya menghela napas panjang. "Sabar, Nay," ucapnya pada diri sendiri, juga sambil memeluk diri sendiri. Hatinya teriris, tetapi dia tidak mau kekecewaan ini membuatnya menangis. Ini terlalu sepele untuk diperdebatkan sementara dia tahu betul masalah utamanya telah hilang dari peredaran.
Dengan mata terpejam rapat, Wahyu meraba-raba saku celana bahannya untuk mengeluarkan ponsel. "Kalau ada yang menelepon, tolong bangunkan aku." Kalimat terakhir yang lelaki itu keluarkan sebelum dengkur halusnya mengudara.
-***-
Satu jam berlalu selepas isya, tetapi Wahyu tidak kunjung membuka mata. Naya terpaksa membangunkan lelaki itu karena cacing-cacing di perutnya sudah mengamuk membabi-buta. Dia tidak mau makan sendiri sementara ada suaminya di sini. Dia sudah terlalu sering sendiri dan dia mulai muak dengan kesendirian itu.
"Makan sendiri ajalah, Nay. Aku mengantuk," tolak Wahyu. Daripada perutnya, rasa lapar itu lebih dahsyat menerpa kedua matanya.
"Ayolah, Mas," bujuk Naya tidak menerima penolakan. "Aku sudah belikan makanan kesukaan kamu, loh!" Perempuan itu mulai mengguncang-guncang tubuh sang suami.
"Aku capek, Nay. Tolong mengerti," tolak Wahyu sekali lagi. Suaranya terdengar begitu memelas meminta dipahami.
"Mas Wahyu yang nggak mau mengerti aku!" bantah Naya merajuk.
"Ya Tuhan, Nay!" Wahyu memekik gusar seraya bangun dari tidurnya. "Kenapa kamu bersikap kekanakan begini, sih?" Lelaki itu mengacak-acak rambut frustrasi. Mata merahnya menatap nyalang sang istri. Hidungnya kembang-kempis menahan emosi yang berjejalan memanaskan ubun-ubunnya.
"Nggak perlu berteriak, Mas." Naya membalas tatapan Wahyu dengan mata basah. "Selama ini aku hampir nggak pernah meminta apa pun, tapi sekalinya pengin sesuatu kenapa justru penolakan seperti ini yang kudapatkan?" Perempuan itu mulai terisak. "Aku rela berkorban apa pun buat kamu, Mas. Aku cuma minta ditemani makan. Apa itu permintaan yang berat?"
Wahyu tercenung. Dia tidak bermaksud sekasar itu. Nada tinggi dari ucapannya terlepas begitu saja, di luar kendalinya. "Nay, aku ...."
"Apa, Mas?!" tantang Naya dengan suara turut meninggi.
"Nay, I'm so sorry," bisik Wahyu merayu. Meskipun lelahnya belum sirna, rasa kantuknya sudah sepenuhnya angkat kaki. Dia bangkit terus mendatangi sang istri yang bersandar pada lemari berbahan kayu jati, lantas menjatuhkan diri dan memeluk kedua kaki perempuan itu. Dia benar-benar merasa bersalah.
"Kenapa sekarang kamu begini, Mas?" tanyanya sambil berusaha meloloskan diri. Begitu terlepas dia beranjak menjauh. "Apa karena perasaan Mas Wahyu sudah terbagi? Atau ... malah perasaan untukku sudah nggak ada lagi?" Kengerian membayangkan sakit hatinya akan bertambah jika jawaban sang suami ternyata jawaban yang paling tidak ingin dia dengar tidak menghalangi lidahnya melemparkan pertanyaan itu.
"Jangan mikir yang aneh-aneh, Nay." sangkal Wahyu, sengaja menghindar. Kegagalan menafsirkan rasanya pada Vivian membuatnya takut memberi jawaban.
Mata bulat Naya mengerjap cepat. Bibir perempuan itu bergerak-gerak, tetapi tidak satu kata pun terdengar. Otaknya penuh, tetapi kebingungan menyusun dan melemparkan kalimat. Semua berjejalan, tetapi tersangkut di tenggorokan. Dia pun luruh seolah ada sosok tak kasatmata yang menyedot tenaganya nyaris tak bersisa. "Aku lelah," ucapnya lirih, meringkuk memeluk diri sendiri yang diserang tremor.
Melihat gelagat sang istri, Wahyu tahu kepanikan mulai menyergap perempuan itu. Dia tahu, pelukan dan kata-kata menenangkan yang Naya butuhkan darinya. "Aku di sini, Nay. I love you, Honey," bisiknya sembari melabuhkan kecupan di puncak kepala perempuan itu.
"Aku muak dengan semua ini! Aku mau kita berhenti bermain!" jerit Naya di dalam dekapan sang suami. Dia meronta, tetapi melemah di waktu yang bersamaan. Dayanya nyaris tiris.
"Ini bukan permainan, Nay." Wahyu memeluk sang istri kian erat. "Cintaku ke kamu nggak pernah main-main. Pun dengan hubungan ini."
Naya tergugu. Menurutnya, Wahyu harus menentukan sikap. Meskipun mungkin terlambat, tetapi lebih baik daripada memaksakan diri. Dirinya menyerah menerima. Ternyata berdamai dengan keadaan ini berat dan membuatnya menderita. Dia sekarat. Dengan sisa tenaga, dia mendorong dada sang suami untuk menjauh. Dirinya memerlukan ruang untuk membaca riak wajah lelaki itu. "Aku atau Vivian?" tanyanya di tengah keresahan yang membuncah.
"Hah?" Wahyu gelagapan. Dia tahu muara pertanyaan itu, tetapi lebih memilih berpura-pura tidak mengerti. Lebih baik menghindari pembicaraan. Meski sadar tidak bisa selamanya menghindar, tapi itulah pilihan tepat saat ini.
"Nggak pernah terpikirkan olehku memintamu menentang Mama. Bagaimanapun, aku orang asing buatmu. Sedangkan Mama, sekeras apa pun dia, kamu darah dagingnya. Buat Mas Wahyu, lebih baik menuruti kata-katanya," tutur Naya terbata. Perempuan itu menarik napas panjang—mengguyur paru-parunya yang kerontang kekurangan pasokan oksigen—sebelum lanjut bicara. "Aku pengin banget mencoret nama Vivian dari bagian perjalanan kita. Sejak awal memang dia nggak seharusnya ada."
Wahyu mendadak bungkam. Keberadaan Vivian saja sampai saat ini masih belum diketahui. Apa memang semudah itu mengeliminasi? Demi Naya, memang dia akan melakukan apa pun. Namun, kenyataan tidak sesederhana itu. Ada calon bayi yang harus dipikirkan nasibnya. Tidak mungkin dirinya membiarkan anak itu lahir tanpa seorang ayah. Membesarkan buah hati sendirian tidaklah mudah. Kasihan Vivian dan anak mereka nantinya.
"Mas Wahyu bersedia menceraikan Vivian, kan?" tanya Naya memandang lekat wajah sang suami. Kedua matanya berbinar penuh harap.
"Beri aku waktu, Nay."
Bagi Wahyu, itu sebuah permohonan. Namun, bagi Naya jawaban singkat itu meluluhlantakkan harapannya. Mereka sudah banyak membuang waktu, dan dirinya tidak ingin memberi lebih banyak lagi.
Lebih baik Vivian nggak pernah kembali. Aku harap dia memang nggak pernah kembali.
.
.
.
Samarinda, 19 Januari 2024
Salam sayang,
BrinaBear88
KAMU SEDANG MEMBACA
Ada Dia di Antara Kita ✅
RomanceMemiliki lelaki idaman yang ingin dijadikan suami, tetapi Vivian harus berbesar hati menerima penolakan sang mama. Dia dipaksa menerima kenyataan, lelaki pilihannya tidak memenuhi kriteria calon menantu idaman. Hatinya patah, asanya musnah. Tidak cu...