Dan Terjadilah ...

645 62 12
                                    

Usai mandi dan berganti pakaian, Vivian bergabung bersama Wahyu yang telah lebih dulu duduk di ruang makan. Perempuan yang malam ini mengenakan daster serut tie die yang panjangnya sejengkal di bawah lutut menarik kursi di samping sang suami. Dia lantas duduk, menatap takjub sajian di atas meja. Ada dua gelas teh—buatan sang suami yang sepertinya hangat, semangkuk soto ayam, dan semangkuk bakso sapi yang masih mengepulkan asap. Aroma gurihnya bumbu dan rempah menguar di ruangan itu. Nafsu makan yang semula tidur, bangun dengan cepat. Rasa lapar yang tadinya tak dirasa mulai mengobrak-abrik perut hingga terdengar jeritan yang memilukan sekaligus memalukan.

Wahyu yang tengah sibuk dengan ponsel langsung menghentikan kegiatannya. Lelaki itu menoleh sang istri yang meringis malu. Saking malunya, Vivian menutup wajahnya dengan telapak tangan. Mengulum senyum, lelaki itu pun berujar, "Betul, kan, kataku tadi? Kalau sudah lihat wujud dan cium aromanya, pasti lapar juga." Menu favorit di rumah makan langganannya memang tidak pernah gagal mencuri perhatian, dan akan meninggalkan kesan mendalam setelah mencicipi sendiri bagaimana kelezatannya sejak suapan pertama lolos melewati kerongkongan. Dirinya dan Naya sudah membuktikan selama hampir empat tahun belakangan.

Pelan-pelan Vivian menyingkirkan kedua tangannya lantas menatap sang suami sambil mengangguk kikuk. Tangannya kini berpindah ke depan perut, memberi usapan lembut di bagian itu. "Mana hujannya kayaknya betah banget. Bukannya berhenti, malah makin deras lagi. Jadi, memang pas banget ngisi perut sama yang hangat-hangat."

"Yakin, nih, nggak mau disuapi?" tanya Wahyu sambil menggeser gelas dan mangkuk bakso; menu pilihan Vivian. Hanya sekadar pertanyaan, yang dirinya pun berharap—lebih baik—mendapat penolakan. Tidak baik begitu dekat, meskipun dirinya sadar sang istri juga berhak mendapatkan perhatian yang sama besarnya dengan Naya. Pembatas tebal dan berlapis yang dia bangun tinggi suatu saat bisa tergerus dan akhirnya runtuh karena kedekatan yang intens. Tidak ingin menampik, perempuan di sampingnya memiliki pesona yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Bagaimanapun kokohnya membatasi diri, dirinya tetaplah lelaki normal. Terlebih lagi, dalam hubungan mereka ada status dan label halal yang tercetak tebal.

"Apaan, sih, Mas? Aku bisa sendiri," cicit Vivian, masih tidak bisa mengenyahkan rasa malu akibat bunyi alarm perutnya yang tadi terdengar nyaring. "Eh, ini sambalnya nggak ada?"

"Yah, sampai lupa. Sambalnya masih di dalam plastik." Wahyu menunjuk bungkusan bening di kitchen set yang tadi lupa dia buka karena terburu memanaskan makanan sambil menunggu Vivian mandi.

"Aku ambil dulu." Vivian berdiri, melangkah menuju tempat yang ditunjuk Wahyu. Dalam hati dirinya mengucap syukur, olahan dari cabai bercitarasa pedas yang dihaluskan itu berhasil mengalihkan perhatian. Saat berbalik, sang suami ternyata telah lebih dulu menyantap makanannya.

"Buruan makan, gih! Keburu dingin nanti. Mumpung masih hangat ini," pesan Wahyu saat Vivian kembali ke tempatnya.

"Mas nggak mau sambalnya?"

Wahyu mengibaskan tangan karena mulutnya terlalu penuh. "Karena nggak makan dari siang, sambalnya skip dulu, deh! Takut malah perih lambungnya," terangnya setelah berhasil menelan habis suapannya.

Tidak ada lagi obrolan. Baik Wahyu maupun Vivian sibuk dengan makanan masing-masing. Saat-saat tenang—yang hanya diisi denting sendok beradu dengan mangkuk kaca—berakhir kala Vivian menjerit. Bakso yang mau dia potong melompat dari mangkuk hingga kuah pedas memuncrat mengenai mata kanannya.

"Ya ampun, Vi!" Wahyu ikut menjerit karena panik. Dirinya gegas berdiri lalu menggiring sang istri menuju wastafel untuk membasuh muka perempuan itu. "Jangan gerak dulu. Biarkan airnya mengalir dan membasuh mata kamu."

Vivian diam, merutuki keteledorannya dalam hati. Aliran air dari keran tidak hanya membasahi wajahnya, tetapi merembes hingga leher dan dada. Bajunya basah kuyup. Tak hanya itu, airnya terus mengalir hingga menggenang di lantai saat dirinya menegakkan tubuh.

"Sudah baikan?" Wahyu membantu mengeringkan wajah Vivian dengan beberapa lembar tisu yang dia ambil di meja makan. Tisu-tisu yang kondisinya telah menggumpal karena basah itu lantas dicampakkan ke wastafel meskipun wajah sang istri belum sepenuhnya kering. Jari-jarinya cekatan melerai helaian rambut basah yang menutupi wajah perempuan itu. "Maaf, kayaknya aku terlalu kencang buka kerannya."

Vivian membuka kedua matanya. "It's okay. Mas gitu juga karena panik. Akunya aja yang teledor. Sudah usia begini masih aja—"

"Pssst." Wahyu meletakkan telunjuknya di bibir sang istri. Ditatapnya perempuan itu lekat-lekat sambil berkata, "Jangan ngomong gitu. Hal kayak tadi bisa terjadi sama siapa pun."

Vivian bungkam. Dadanya bergemuruh hebat. Kedekatan ini membuat perutnya diaduk-aduk. Perasaan aneh yang belum pernah dia rasakan sebelumnya diam-diam menyelusup. Perasaan yang dia tidak tahu namanya. Perasaan yang membuat tubuhnya menegang kaku bahkan menolak digerakkan; sekalipun untuk berkedip. Napasnya tercekat saat sang suami menatapnya semakin dalam. Lelaki itu tersenyum saat menangkup kedua pipinya.

"Apa aku pernah bilang kalau kamu cantik banget?" Wahyu bertanya. Suaranya berubah serak. Jakunnya bergerak naik turun karena penampakan sang istri yang begitu menggoda. Lelaki itu yakin, saat ini setan bersorak di mana-mana, berpesta karena telah berhasil menghilangkan kewarasannya. Dinding tebal, tinggi dan berlapis yang dia bangun akhirnya runtuh dalam hitungan detik. Lebih dari sekadar terpikat dan—sialnya—dia tidak mampu menjelaskan lebih rinci bagaimana perasaannya saat ini.

"Mas .…"

Wahyu mendorong Vivian menuju meja makan. Didudukannya sang istri di atas benda berkaki empat yang terbuat dari kayu. Telunjuknya menari di sepanjang pipi lalu berhenti di dagu perempuan itu.

"Vi .…"

"Mas Wahyu …."

Semua kata yang memenuhi otak Vivian mendadak lenyap seiring jarak yang semakin tipis. Matanya menutup saat jarak yang hanya tersisa beberapa senti itu perlahan habis. Dicengkeramnya kerah piama sang suami kala lelaki itu mempertemukan bibir mereka. Ciuman yang harusnya lembut mengingat ini kali pertama bagi mereka tidak pernah terwujud. Nyatanya ciuman itu begitu panas dan menuntut.

Meskipun tidak bisa mengimbangi, Vivian pasrah dengan apa pun yang Wahyu lakukan. Perempuan itu benar-benar kehilangan kendali atas seluruh sel di tubuhnya hingga membiarkan sang suami berbuat sesukanya. Walaupun terkesan terburu-buru, dia hanya bergeming saat tubuhnya digerayangi.

Wahyu melepaskan pagutan. Wajahnya mundur beberapa senti. Bibirnya melengkung membentuk senyum simpul saat tatapannya bertemu dengan netra Vivian. Senyumnya semakin lebar saat menyadari dada yang menempel di dadanya bergerak naik turun. Tawa kecil keluar dari bibirnya saat menyadari mereka sama-sama terengah.

"Jangan lihatin aku kayak gitu," bisik Vivian. "Aku malu." Kedua pipinya berwarna merah jambu. Di mata Wahyu, perempuan itu berubah menggemaskan. Di waktu yang sama pula, menjadi begitu menggairahkan.

"Kamu betul-betul cantik." Dari pipi, tangan Wahyu terus bergerak turun hingga ke belakang leher Vivian. "Dan seksi," imbuhnya, juga berbisik. Napasnya semakin berat dan memburu. Jangan tanyakan ke mana akal sehatnya karena saat ini otaknya diselimuti kabut nafsu.

Sekali lagi Vivian memejamkan matanya. Dibiarkannya jemari besar sang suami terus bergerilya. Dia terlalu lemas dan otaknya—yang kata sang ibu hanya sebesar biji kedelai—mendadak malafungsi dan semakin tak berguna saat secara sadar ditelanjangi, tetapi diam tak bereaksi. Yang dia lakukan hanya menahan napas saat bajunya ditanggalkan secara perlahan.

"Aku mau kamu malam ini." Pertahanan Wahyu tertinggal nama, sirna dihantam realita. "Mendesahlah denganku."
.
.
.
Huhuhu… Vivian, speechless akutuh 😭😭😭
Nulis part ini dengan jantung yang berubah jadi genderang perang. Bikin overthinking.
Apa jadinya kalau Vivian dan Naya hamidun barengan?
Kira-kira nanti Wahyu akan lebih condong ke mana? Gimana perasaan Vivian setelah sadar sudah menjadi orang ketiga padahal saat itu sudah hadir penerus Wahyu dalam rahimnya? Beneran rela gak Naya kalau tau Wahyu sudah ngelakuin 'itu' sama Vivian?
Ayooo, kita pikirkan sama-sama. Mari berpusing dan bersakit hati bareng Vivian dan Naya.
Samarinda, 21 Juni 2023
Salam sayang,
BrinaBear88

Ada Dia di Antara Kita ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang