Perubahan

466 65 19
                                    

Wahyu tidak tahu harus menyesal atau justru bersyukur, tetapi dia cukup lega karena ponselnya aktif di waktu yang tepat. Setengah jam berlalu usai menutup panggilan sang mertua, lelaki itu kini menjajakkan kakinya lagi di rumah yang telah seminggu terakhir dia tinggalkan. Hela napas panjang dilakukan lelaki beristri dua itu sebelum memastikan senyum semringah menghiasi wajahnya. Tentu saja keceriaan palsu yang sudah dia persiapkan selama perjalanan. Topeng sempurna untuk menutupi belang dan kebusukan yang dia sembunyikan.

"Kenapa Mama nggak ngasih kabar sebelumnya kalau mau main ke sini?" Wahyu bertanya setelah mencium punggung tangan Rinta.

"Lah, nggak boleh memangnya? Jadi, kalau mau ke sini, harus bikin appoinment dulu, gitu?" Rinta mendengkus, melayangkan tatapan tajam menghunus.

"Ya, nggak begitu, Ma." Wahyu tertawa kecil, menutupi kegugupannya. Nada sinis Rinta membuat jantungnya berdetak semakin cepat dari sebelumnya. Dalam benaknya memperingatkan untuk lebih berhati-hati melemparkan ucapan. Mertuanya ini tampaknya sedang dalam suasana hati yang tidak baik. "Kalau Mama ngabarin lebih dulu, kan, aku bisa pulang lebih cepat. Atau kalau perlu nggak kerja sekalian. Masa tamu spesial nggak dapat sambutan yang istimewa?"

Segaris senyum membayang di wajah Rinta. Ucapan manis Wahyu menghangatkan hatinya. Dia tersanjung mendengar pujian itu. Saat melihat sang menantu mengeluarkan kunci rumah dari saku celana, dia menegur, "Pintunya nggak dikunci, loh!"

Ucapan Rinta membuat Wahyu urung memasukkan kunci ke lubangnya. Perlahan lelaki itu mendorong pintu rumah. Detik itu juga dia mengumpat keteledoran sang istri. Tentu saja, umpatan itu hanya berani disuarakan dalam hati.

"Waktu baru datang, Mama ngetuk pintu sambil manggil-manggil kamu sama Vivi, tapi nggak ada yang nyahut. Mama intip di jendela, tapi nggak kelihatan apa-apa karena terhalang gorden. Pas mau ngetuk lagi, eh, malah terdorong terus pintunya terbuka sedikit. Karena takut ada apa-apa sama kalian, jadinya Mama masuk. Nggak taunya rumahnya malah kosong. Habis itu Mama langsung telepon Vivi, tapi malah nggak diangkat. Makanya Mama buru-buru nelepon kamu." Rinta menerangkan. "Karena takut dibilang nggak sopan gara-gara masuk sembarangan, makanya Mama memilih nunggu kalian di sini."

"Soal pintu, maaf, Ma. Vivian khilaf. Biasa, kan, kalau pergi buru-buru suka ada aja hal penting yang kelewat atau kelupaan."  Lagi, Wahyu tertawa kecil. "Masalah nunggu di dalam juga padahal nggak apa-apa, loh! Nggak masalah. Lagian, barang apa yang bakal hilang? Orang rumah ini masih kosong melompong," ujar lelaki itu merendah.

"Kebiasaan Vivi, sih, ini! Teledornya nggak sembuh-sembuh!" Rinta berdecak kesal.

"Namanya juga manusia, Ma. Wajar melakukan kesalahan," ucap Wahyu. Sekalipun kesal, tetapi tidak mungkin dirinya ikut memojokkan sang istri apalagi di depan mertuanya sendiri.

"Masuk dulu, Ma! Kita ngobrol di dalam aja."

Rinta berdecak lagi. "Memangnya istri kamu ke mana, sih? Jam segini bukannya di rumah nungguin suami, malah pergi keluyuran nggak jelas." Perempuan berusia 50-an itu pun mengikuti langkah sang menantu yang telah lebih dulu memasuki rumah.

Vivian ke mana? Sudah malam belum pulang, apa dia lembur? Atau ... mungkin nggak kalau dia pergi jalan-jalan karena bosan di rumah sendirian?

"Ish, ditanya malah melamun! Jangan bilang kalau kamu suaminya pun nggak tau Vivi ke mana."

"Nggak, dong, Ma! Vivian tadi katanya lembur," sangkal Wahyu, mencari alasan yang paling masuk akal.

"Loh, Vivi masih kerja? Padahal dari jauh hari Mama sudah suruh dia resign." Rinta terdengar jengkel lagi. "Kamu yang kasih izin atau dia yang ngotot nggak mau berhenti?"

"Aku yang kasih izin, Ma. Kasihan kalau Vivian nggak punya kesibukan. Apalagi untuk waktu-waktu ke depan aku bakalan sering ke luar kota, karena ada rencana ekspansi. Kalau cuma sendirian di rumah terus nggak ngapa-ngapain, nanti dia jenuh. Nggak tegalah aku."

"Kamu, ya!" Rinta tersenyum senang. "Vivi beruntung banget punya suami kayak kamu."

-***-

"Mas minta maaf karena nggak bisa menemani kamu malam ini. Mamanya Vivian tiba-tiba datang. Takut semuanya berantakan, makanya Mas langsung pulang. Kamu bisa ngerti, kan?" bisik Wahyu pada Naya lewat sambungan telepon. Setelah Vivian datang, lelaki itu melarikan diri dari Rinta dengan alasan ingin membersihkan diri. Di waktu yang sempit itulah digunakan semaksimal mungkin untuk menghubungi istri pertamanya. Sekadar bertukar kabar agar tidak membuat perempuan itu risau atau pun kecewa. "Mas janji, kalau di sini semua sudah beres, Mas langsung ke sana."

Seperti biasa, Naya yang baik hati memberi segenap pengertiannya. Perempuan itu malah meminta sang suami untuk tetap tinggal bersama madunya. Kasihan Vivian, begitu yang dia katakan. Hal yang membuat Wahyu bersyukur, sekaligus menyesal di waktu yang sama.

"Mas usahakan secepatnya ke sana buat menemani kamu. Ingat, kalau perlu apa-apa, bilang sama Jo," pesan Wahyu sebelum mengucap salam dan mengakhiri pembicaraan.

"Makan malamnya sudah siap, Mas."

Wahyu terlonjak hingga ponsel dalam genggamannya terlepas. Beruntung refleksnya bekerja dengan baik. Benda elektronik itu berhasil ditangkap dengan kedua tangannya sehingga batal mencium kerasnya ubin.

"Maaf." Vivian berucap singkat.

"Bisa, nggak, jangan ngagetin kayak gitu?!" Tanpa sadar Wahyu membentak.

Vivian yang pemalu tidak menunduk seperti biasa walaupun dalam hatinya sempat gentar kerena Wahyu yang selalu santun tiba-tiba bicara dengan nada tinggi menggelegar. "Maaf," ucapnya seperti sebelumnya. Perempuan itu menatap lekat sang suami. Tatapannya yang sendu menyorotkan luka.

"I'm so sorry, Vi. Aku nggak bermaksud membentak kamu. Aku refleks," mohon Wahyu tak tega melihat kaca-kaca yang bertebaran di mata Vivian. Terlihat jelas bahwa perempuan itu berusaha keras menghalau tangis.

"I'm okay. Itu cuma bentakan. Karena yang lebih menyakitkan dari itu sebelumnya sudah aku rasakan," balas Vivian.

Wahyu tertampar. "I'm so sorry, Vi. Aku—"

"Kalau mau ngasih penjelasan, kita bicarakan nanti. Sekarang ada Mama. Beliau lagi nunggu kita buat makan bersama."

Wahyu mengangguk, setuju dengan yang istrinya ucapkan. "Sekali lagi aku minta maaf. Aku nggak bermaksud—"

"It's okay. I'm okay." Vivian menyela. Hal yang hampir tidak pernah dia lakukan sebelumnya. Terlalu sering diam dan menerima membuatnya merasa asing dengan sikapnya barusan. Namun, di sisi lain perempuan itu memberi apresiasi pada diri sendiri yang telah bersikap berani sekalipun itu terkesan tidak pantas dilakukan pada suaminya sendiri.

"Oke." Wahyu menelan ludah. Getir. Senyum yang dia berikan untuk sang istri tak berbalas. Dia malu. Nyalinya mendadak ciut.

Mereka akhirnya bertatap muka. Bersua dengan perasaan yang telah berbeda. Yang satu diliputi rasa curiga, sementara yang lainnya dicekam dilema. Hati, semoga selalu bisu agar tidak pernah menyuarakan apa pun yang dititipkan padanya untuk disimpan rapat dan disembunyikan dari dunia.
.
.
.
Samarinda, 01 Juli 2023
Salam sayang,
BrinaBear88

Ada Dia di Antara Kita ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang