Lebih dua pekan waktu yang Vivian habiskan di rumah sakit. Entah berapa banyak botol infus dan obat-obatan dijejalkan untuk memulihkan fungsi organ-organ dalam tubuhnya. Empat hari tiga malam tanpa asupan apa pun membuat sel dan organ dalam tubuhnya kebingungan mencari sumber tenaga untuk melaksanakan tugasnya. Kenyataan bahwa perempuan itu sedang berbadan dua dan mengalami morning sickness cukup parah memperburuk keadaan. Alhasil, daya tahan tubuh menurun drastis. Perdarahan hebat yang terjadi di titik kritis pun menjadi penyebab utama kandungannya tidak mampu dipertahankan, bahkan semakin mengancam keselamatan.
Selama menjalani perawatan, Wahyu melayani segala keperluan Vivian. Diperlakukannya istrinya itu bak seorang ratu dengan menjadi suami siaga dadakan. Tidak hanya karena segerombolan rasa bersalah yang enggan angkat kaki, tetapi karena memang tidak ada lagi yang menyita perhatiannya selain perempuan itu.
Apa kabar Naya? Apa yang sedang perempuan itu lakukan? Apakah di luar sana bahagia meski tanpanya? Apakah tidak susah beradaptasi sementara selama ini hidup bagai burung dalam sangkar? Apa perempuan itu bisa tenang setelah pergi begitu saja? Terlalu banyak apa bertahan di benaknya tanpa kesempatan memiliki jawaban yang semestinya. Sementara untuk mencari tahu, dirinya tidak punya waktu. Raganya terpenjara di sini. Langkahnya—untuk sementara—tertahan karena kondisi sang istri. Vivian tidak mungkin ditinggal seorang diri. Selain itu, dia sudah berjanji pada Zainal dan Rinta untuk tidak meninggalkan istri keduanya itu dalam situasi terpuruk begini. Semua orang mengkhawatirkan kondisi psikisnya.
"Jadi pulang hari ini?" tanya Vivian usai menghabiskan sarapan. Perempuan itu masih harus mengonsumsi bubur dan makanan bertekstur lembek. Lambungnya terluka cukup parah sehingga belum mampu mencerna lebih dari itu.
"Nggak sabar balik, ya?"
Vivian mengangguk. Wajahnya sudah tidak pasi seperti pertama kali dibawa ke sana, tetapi kabut tebal tetap menutupi auranya. Dia cantik, tapi tak bersinar. Dia hidup, tapi tanpa semangat.
"Nanti siang kita pulang." Wahyu duduk di ranjang perawatan usai menepikan baki makanan ke atas nakas. Lelaki itu mengusap puncak kepala sang istri. Namun, Vivian hanya diam, tanpa ekspresi berarti.
"Jam berapa?"
Wahyu menahan ngilu saat belati tak kasat mata menghunjam ulu hatinya. Walaupun tanpa penolakan, lelaki itu merasa istrinya itu kurang nyaman dengan tindakannya. Jadi, ditariknya mundur tangan yang tadi sempat menyapa puncak kepala Vivian. Dia berharap ini hanya imbas dari rasa jenuh yang istrinya itu rasakan. "Sebelum makan siang," sahutnya.
"Administrasi biar Helena yang urus. Dia sudah dalam perjalanan kemari," ucap Vivian membuang pandang ke arah jendela yang tertutup vertikal blind. Ini adalah kali pertama dia bicara panjang selama sakit.
"Kenapa Helena? Aku bisa sendiri. Kalau memang dia mau datang, dia bisa temani kamu di sini," bantah Wahyu. Beberapa hari terakhir sahabat istrinya itu semakin intens berkunjung. Bukannya tidak suka, hanya saja ... ah, dia memang tidak menyukainya! Untuk yang satu ini dia harus berat hati mengakui. Menurutnya, perempuan itu punya tatapan tajam yang bisa mencacah meski dalam diam. Berteman dekat dengan Helena bisa membawa dampak buruk bagi Vivian yang penurut dan pendiam.
Vivian menghela napas panjang. Pertanyaan juga komentar keberatan Wahyu sudah dia perhitungkan sebelumnya. Tadinya perempuan itu harap sang suami pergi bekerja atau punya kesibukan yang menyita waktu dan perhatian sehingga tidak perlu datang. "Mas boleh pergi, kok! Aku nggak mau ngerepotin kamu lagi," ucapnya dingin dengan tatapan masih tertuju pada titik yang sama. Dia bukan orang yang tidak tahu berterima kasih, justru inilah yang dia lakukan untuk membayar semua yang lelaki itu sudah lakukan untuknya.
Wahyu tercenung. Dia tidak mengerti maksud ucapan Vivian. "Aku nggak perlu ke kantor, ada asisten—"
"Perempuan itu?" Wajah Jo melintas di benak Vivian. Tatapan sadis dan senyum bengis perempuan itu sesaat sebelum membungkamnya dengan sapu tangan yang —dia yakini—sudah diberi obat bius mendadak mampir di ingatan. Riak wajahnya semakin pekat. Kabut itu berderak cepat memanaskan netranya. Sampai saat ini dia terus berpikir kesalahan apa yang sudah diperbuatnya. Perempuan itu sangat jahat!
KAMU SEDANG MEMBACA
Ada Dia di Antara Kita ✅
RomanceMemiliki lelaki idaman yang ingin dijadikan suami, tetapi Vivian harus berbesar hati menerima penolakan sang mama. Dia dipaksa menerima kenyataan, lelaki pilihannya tidak memenuhi kriteria calon menantu idaman. Hatinya patah, asanya musnah. Tidak cu...