Menemukan Rinta di pagi hari dalam keadaan rapi dan wajah berseri full makeup seharusnya tidak mengejutkan. Namun, pagi ini hal itu justru mengusik Vivian.
Melihat sang mama telah duduk nyaman di kursi makan sambil menikmati secangkir teh dan croissant, nyaris membuat Vivian putar badan. Bukan tanpa alasan, tetapi baginya hari ini benar-benar sangat menakutkan.
"Sarapan dulu, Vi!" titah Zainal.
Berbanding terbalik dengan Rinta, sang suami malah terlihat jauh lebih santai dengan pakaian rumahan. Di depan lelaki itu, tersaji cangkir berisi kopi hitam dengan sedikit gula seperti biasa. Lelaki berusia lebih setengah abad itu memegang lipatan koran yang baru selesai dia baca lalu meletakkannya ke atas meja.
"Iya, Pa," sahut Vivian, terpaksa mengurungkan niat kembali ke kamar. Dengan langkah gontai, dirinya mendekati meja makan, menarik salah satu kursi lalu duduk persis berseberangan dengan Rinta.
"Kamu ada acara hari ini?" tanya Zainal usai menyesap kopi, menu sarapan yang harus selalu ada untuknya setiap hari. Kebiasaan yang menjadi rutinitas semenjak mempersunting Rinta. Selain minuman beraroma khas itu, koran juga harus selalu mengisi paginya. Memang tidak semua yang dia baca, hanya topik-topik tertentu yang menarik minat saja. Biasanya seputar kasus kriminal atau trending topic yang biasa mejeng di halaman depan.
Baru Vivian membuka mulut, Rinta lebih dulu bicara. "Kalau memang ada, batalin dari sekarang! Kamu nggak lupa, kan, kalau kita sudah ada janji ketemu Tante Ratna sama anaknya nanti siang?"
Kita? Bukannya Mama yang janjian? Sayang, kalimat itu hanya bertahan di batok kepala Vivian tanpa memiliki kesempatan lolos dari rongga mulut. Perempuan dalam balutan hijab kaus hijau lumut itu akhirnya mengangguk lesu dengan bibir mengerucut.
"Pokoknya Mama nggak mau sampai kamu berulah!" Rinta memberi sang anak peringatan. "Awas aja kalau kamu sampai malu-maluin!" timpalnya penuh ancaman.
Tidak ada sahutan dari Vivian. Dia terlalu lelah dan semakin terbiasa menyerah dan pasrah.
"Kalau memang nggak sreg–"
"Pasti sreg, lah, Pa! Aku sudah kenal lama sama Ratna. Mendiang suaminya high quality yang sampai akhir hayatnya disegani banyak orang. Keluarga besar mereka orang-orang terpandang. Keturunannya pasti nggak akan jauh menurun sifat mereka, lah!" sela Rinta sesumbar.
Hanya helaan napas panjang yang dilakukan Zainal. Seperti biasa, dirinya tidak mau berdebat dan menganggap keputusan Rinta yang terbaik. Dia percaya, naluri seorang ibu terlebih untuk masa depan sang buah hati tidak mungkin salah. Selain itu, setiap yang terlontar dari mulut sang istri merupakan titah yang tak bisa dibantah. Dia rasa, jauh lebih baik ketimbang keputusannya .
"Kamu nggak akan rugi, deh, Vi! Wahyu itu statusnya jelas single, nggak punya anak jadi nggak ada tanggungan. Kata Tante Ratna, Wahyu itu dulu lulusan terbaik di kampusnya, pasti otaknya encer. Bagus untuk memperbaiki keturunan kamu yang lulus kuliah cuma dapat IPK 3,5."
Ketidakpuasan yang Rinta rasakan beberapa tahun lepas kembali diungkit, tak peduli Vivian kecewa atau sakit hati dengan kata-katanya yang nyelekit.
"Waktu belum lulus kuliah aja sudah banyak perusahaan asing yang nawarin dia kerja. Tapi, namanya jiwa pemimpin, dia nggak mau menggantungkan nasib sama orang lain. Jadilah dia buka usaha sendiri. Kurang hebat apa, coba? Padahal anak orang berada, tapi tetap nggak bergantung sama orang tua. Hidupnya juga tetap sederhana. Itu yang namanya high quality, bukan orang sembarangan," cerocos Rinta menggebu.
Cerita mengenai lelaki bernama Wahyu terus bergulir sepanjang sesi makan pagi. Berbeda dengan Zainal yang menyimak pembicaraan Rinta tanpa sedikit pun menyela, Vivian berusaha menuli. Toh, bagaimanapun penilaiannya, tidak memberi dampak apa-apa. Rinta tidak pernah peduli.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ada Dia di Antara Kita ✅
RomanceMemiliki lelaki idaman yang ingin dijadikan suami, tetapi Vivian harus berbesar hati menerima penolakan sang mama. Dia dipaksa menerima kenyataan, lelaki pilihannya tidak memenuhi kriteria calon menantu idaman. Hatinya patah, asanya musnah. Tidak cu...