"Berengsek!" Umpatan keras terlempar dari bibir tipis Wahyu. Lelaki itu bangkit, putar badan menjauhi Vivian yang terbaring terengah tanpa busana di atas peraduan. Penyebab kemarahannya tidak lain adalah benda elektronik pipih layar sentuh miliknya yang berdering tanpa henti. Nafsu yang sudah mencapai ubun-ubun menguap karena bunyi nyaring itu benar-benar mengganggu konsentrasi.
Melihat nama Jo terpampang di layar ponsel, bara amarah padam berganti kekhawatiran yang membuncah. Gegas lelaki itu menggeser bulatan hijau pada layar lalu menempelkan ponselnya ke telinga.
"Gila, Mas, lama banget, sih!" Bukannya salam, omelan Jovanka langsung menyambangi telinga Wahyu. Perempuan itu terdengar sangat gusar karena lawan bicaranya baru menjawab setelah empat kali dirinya menghubungi. "Jangan bilang kamu lagi asyik nina-ninu-nenen sementara Naya sekarat di rumah sakit!"
Keringat dingin bermunculan di tubuh Wahyu mendengar kata rumah sakit disebut. Fasilitas kesehatan adalah tempat yang paling Naya hindari sepanjang hidup karena meninggalkan kesan sangat tidak menyenangkan baginya. Semacam pengalaman traumatis yang membekas dalam hingga membuat sang istri benar-benar membenci tempat itu. Lalu, jika sampai dirawat di sana dan kata sekarat terlempar ketus dari bibir Jo, jelas keadaannya begitu buruk dan tidak bisa dianggap sepele.
"Dia kenapa, Jo?" tanya Wahyu, berbisik. Dengan ekor mata dia melirik Vivian yang duduk di tengah ranjang. Tubuh polos perempuan itu kini dilapisi selimut tebal yang biasa diletakkan di bibir ranjang. Merasa ditatap sedemikian rupa, lelaki itu semakin mengecilkan volume suara. "Naya … nggak separah itu, kan?"
"Bajingan kamu, Mas!" Kebiasaan buruk Jo yang hingga detik ini sukar dihilangkan. Umpatan tidak terlarang keluar dari bibir cantiknya, bahkan terkesan tanpa rambu-rambu.
Cairan kental yang berkumpul di rongga mulut Wahyu tertelan dengan getir. Kekhawatiran menggunung karena Jo yang dia kenal hampir separuh usianya hidup di dunia bukan jenis perempuan yang suka mendramatisir. Hawa dingin—yang asalnya jelas bukan dari penyejuk ruangan—perlahan tapi pasti membuat lelaki itu menggigil.
Maafkan aku, Nay. Aku lengah. Aku bodoh. Aku suami yang nggak berguna.
"Rumah sakit mana, Jo? Aku segera ke sana." Wahyu berjanji sepenuh hati.
Sambungan terputus. Tarikan napas panjang bertukar embusan napas cepat Wahyu lakukan sebelum balik badan dan kembali menghadap Vivian. Selimut yang sempat membelit tubuh perempuan itu berganti daster bersih yang baru diambil dari lemari. Mata sepasang suami istri itu bertemu, tetapi hanya sekejap karena si lelaki yang memutuskan adu tatap lebih dahulu.
"Maaf, Vi. Aku harus pergi." Tak mengindahkan sang istri yang menatapnya dengan raut cemas, Wahyu memelesat menutupi tubuh setengah polosnya dengan pakaian. Lelaki itu lantas menyambar dompet, ponsel dan kunci mobil di atas meja rias setelah memastikan pakaiannya telah rapi.
"Kamu langsung tidur aja, nggak usah tungguin aku. Aku mungkin nggak akan pulang."
Celah tipis yang tercipta di bibir Vivian tidak berkesempatan melebar untuk melontar tanya. Sang suami pergi meninggalkan dirinya tanpa memberi penjelasan yang layak dia dapatkan. Perempuan itu dibiarkan terombang-ambing dalam kebingungan.
Apa yang terjadi? Kenapa Mas Wahyu berubah sedrastis itu?
-***-
Seminggu berlalu dan Vivian masih tidak mendengar kabar apa pun dari sang suami. Lelaki itu menghilang bak ditelan bumi. Tidak kembali ke rumah, ponselnya pun tidak bisa dihubungi.
Mas Wahyu ke mana? Apa yang sebenarnya terjadi? Malam itu … siapa yang sudah menghubungi? Kenapa Mas Wahyu pergi dengan terburu-buru, bahkan sampai nggak pulang berhari-hari? Hapenya juga selalu dalam keadaan mati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ada Dia di Antara Kita ✅
RomanceMemiliki lelaki idaman yang ingin dijadikan suami, tetapi Vivian harus berbesar hati menerima penolakan sang mama. Dia dipaksa menerima kenyataan, lelaki pilihannya tidak memenuhi kriteria calon menantu idaman. Hatinya patah, asanya musnah. Tidak cu...