Hari-hari Vivian kian tak tenang. Pertemuan dengan perempuan asing tempo hari terus berulang. Setelah pertemuan pertama di minimarket, mereka juga beberapa kali bertemu di rumah makan saat istirahat siang, lobi, pantry, bahkan mereka pernah salat asar berjemaah di musala. Aneh, kan? Tempat-tempat pertemuan mereka justru berada di dalam atau sekitaran kantor tempat Vivian bekerja. Vivian tidak tahu, itu semua terjadi secara kebetulan atau perempuan itu sengaja menguntitnya. Benar-benar kurang kerjaan sekali jika sampai perempuan itu berkeliaran hanya untuk mengawasinya.
Kini, Vivian tenggelam dalam kebimbangan. Kepalanya dibuat pusing setelah takdir menyodorkan sosok penuh teka-teki yang membuat tidur malamnya tak lena. Lebih-lebih lagi saat dirinya tahu bahwa perempuan asing itu ternyata merupakan kerabat dekat suaminya. Fakta mengejutkan itu dia dapati secara tidak sengaja usai membuka grup keluarga yang beberapa waktu lalu memasukkan kontaknya sebagai anggota.
Apa yang dia bicarakan waktu itu ada kaitannya dengan Mas Wahyu?
Vivian mendesah frustrasi. Di saat ingin mengenyangkan hatinya dengan keyakinan yang bulat pada sang suami, mengapa dirinya justru dibuat lapar dengan segala bisikan yang meruncing pada lelaki itu? Mengapa semesta berupaya membuat keyakinannya goyah?
Besar keinginan Vivian membicarakan hal ini pada Helena, tetapi ada juga dorongan kuat yang menghalanginya buka suara. Dirinya takut cuitannya nanti malah memperkeruh suasana. Vivian tidak bisa membayangkan reaksi Helena jika omongan-omongan perempuan itu selama ini tentang Wahyu terbukti benar, sedangkan sudah banyak kali dia diperingatkan. Rasanya Vivian tidak lagi memiliki muka menghadapi sahabatnya itu.
"Mbak Vi, ada paket." Pak Tanoe memberitahu sembari meletakkan kantong plastik hitam ke atas meja.
"Buat saya, Pak?" tanya Vivian menatap heran lelaki berseragam cokelat muda di depannya.
Office boy berusia kepala empat itu mengangguk santun. "Mbak Salsa bilang tadi diantarin kurir," terang lelaki itu menyebutkan nama petugas bagian front office.
Meskipun sempat ragu, tetapi Vivian tetap menerima bungkusan tersebut. "Terima kasih, Pak."
Setelah berpamitan, Pak Tanoe pergi melanjutkan pekerjaannya. Tertinggal Vivian, termangu memandangi amplop cokelat berukuran sedang yang baru dia keluarkan dari plastik.
Dari siapa ...? Dan ... ini isinya apa?
"Kerjaan sudah beres, Vi?" tegur Helena, mengejutkan Vivian. Perempuan itu baru saja mematikan laptopnya. Sambil melakukan peregangan di kursinya, dia melirik sahabatnya yang seharian ini tampak murung dan tidak bersemangat.
"Sudah," jawab Vivian singkat. Niat membuka amplop itu diurungkan.
"Pak Tanoe ngasih apaan tadi? Habis belanja online, ya?"
Vivian tersenyum tipis, tidak mengiakan, tidak juga mengelak. Amplop dalam genggamannya pun dia masukkan ke dalam tas.
"Tumben banget kirimnya ke kantor." Lagi, tidak ada tanggapan berarti dari Vivian. Sekali lagi pula ucapannya dibalas segaris senyuman dengan tatapan menerawang. Seolah tidak menganggap keberadaan dirinya, Vivian malah sibuk membereskan meja kerja.
"Vi, kamu ada masalah?" Helena to the point. Dengan gerakan cepat, perempuan itu menarik dan membalik kursi yang diduduki Vivian membuat posisi sang lawan bicara berhadapan dengannya. "Aku perhatikan beberapa hari ini kamu kebanyakan melamun. Suamimu berulah lagi?" Tidak memedulikan kekagetan Vivian, dia memuntahkan keresahan sekaligus kedongkolannya
Setelah hanya diam mendengarkan Helena mencerocos—dan diam-diam menenangkan diri—Vivian mantap menjawab, "Nggak, Len." Suaranya terdengar tenang.
"Terus kenapa—"
KAMU SEDANG MEMBACA
Ada Dia di Antara Kita ✅
RomanceMemiliki lelaki idaman yang ingin dijadikan suami, tetapi Vivian harus berbesar hati menerima penolakan sang mama. Dia dipaksa menerima kenyataan, lelaki pilihannya tidak memenuhi kriteria calon menantu idaman. Hatinya patah, asanya musnah. Tidak cu...