Rasa Itu Tidak Sedikit Pun Pudar

483 69 25
                                    

Setelah sekian lama putus komunikasi, tidak pernah Vivian bayangkan kembali bertemu dan berada sedekat ini dengan lelaki itu, Rasyid Abiyu Jafran. Entah apa yang membuat semesta kembali mempertemukan mereka, tetapi perempuan berhijab itu lekas sadar dan melepaskan diri dari keterpesonaan lantas memperingatkan hatinya untuk terus berbaik sangka. Mungkin ini ujian yang harus dia jalani. Mengukur seberapa besar keikhlasan yang pernah dia ikrarkan.

"Apa kabar?" Rasyid bertanya.

"Alhamdulillah. Mas Rasyid apa kabar?"

Rasyid tersenyum sambil mengangguk-angguk. "Alhamdulillah. Seperti yang Adik lihat," sahutnya.

Vivian turut tersenyum. Sesaat kemudian perempuan itu kembali menunduk, sekalipun tahu Rasyid tidak menatapnya. Lelaki yang malam ini mengenakan kaos polos berwarna biru malam dan celana sewarna atasannya itu melarikan pandangan pada pintu pantry yang letaknya berseberangan dengan musala.

"Tumben belum pulang." Rasyid bicara lagi. Melirik arloji bertali kulit buaya di pergelangan tangannya, lelaki jangkung itu berdecak pelan. "Habis … lembur?" Dia tidak yakin karena Vivian hanya seorang diri. Biasanya jika memang harus lembur dan pulang larut, perempuan itu paling tidak bersama satu atau dua orang rekan lainnya.

Bibir Vivian terbuka membentuk celah tipis saat ingin menjawab sedang menantikan jemputan, tetapi setelah sadar perempuan itu malah berkata, "Hujan deras, Mas."

"Nggak dijemput suami?" Rasa penasaran membuat lelaki berkulit sawo matang itu lancang bertanya. Hal yang langsung disesalinya di detik berikutnya.

Senyum yang tadi terukir di wajah Vivian langsung lenyap. Tanpa keinginan menjawab, perempuan itu mengalihkan pembicaraan. "Mas kerja di mana sekarang?"

Rasyid tertawa kecil. "Sekarang Mas jadi pengacara, alias pengangguran banyak acara."

Tawa renyah Rasyid membuat Vivian mendongak. Tanpa sadar tatapannya terpaku pada lelaki itu. Hanya dua detik yang membuat jantungnya kembali merasakan entakan dan nyeri di waktu yang sama. Rindu yang sekian lama terpendam menyeruak dan menuntut pemuasan, disusul cinta yang dipaksa mati oleh keadaan. Ternyata semua masih utuh. Saat itu dia sadar, perasaannya tidak sedikit pun pudar. Ikhlasnya hanya sebatas di bibir. Hatinya masih belum rela walaupun tanpa letih belajar menerima takdir.

"Sepertinya di luar hujan masih deras. Kalau Adik bersedia, Mas nggak keberatan ngasih tumpangan. Dijamin aman dan nyaman karena kita nggak berdua. Ada Ibu dan putri Mas juga. Mereka lagi nunggu di mobil."

Gelombang rindu yang kian besar bertransformasi menjadi ribuan duri yang menancap dan perlahan tapi pasti menciptakan lubang-lubang kecil tak kasatmata dalam sukma Vivian. Perempuan itu gemetar. Air mata dengan berani dan tak tahu malu menunjukkan eksistensi. Cairan bening itu bergelantungan di pelupuk mata seolah mengancam akan terjun detik itu juga.

"Terima kasih tawarannya, Mas." Suara Vivian mendadak parau dan bergetar. Membuang muka agar raut sedihnya tak terlihat, dia menyahut, "Tapi, maaf. Vivi nggak bisa. Lagipula, mungkin tujuan kita nggak searah."

Penolakan Vivian dipahami oleh Rasyid. Lelaki itu menarik diri—bersama rindu yang sempat membuncah—dengan mundur selangkah, menggeser tubuh yang mungkin menghalangi jalan perempuan di depannya. Kesedihan yang terpampang nyata di wajah lawan bicaranya juga dia rasakan. Luka tanpa darah yang sebetulnya belum sembuh walaupun telah dia baluri dengan doa dan segudang pengharapan baik untuk kebahagiaan perempuan yang namanya masih terukir di palung hati terdalam hingga detik ini.

"Vivi duluan, Mas. Assalamu'alaikum." Vivian bergegas mengayun langkah. Sayang sekali, usahanya menghindar berakhir sia-sia saat lelaki itu membalas salam yang dia ucapkan.

Suara berat nan lembut milik Rasyid nyatanya tetap tertangkap indra pendengaran Vivian sekalipun dia sudah berupaya menulikan telinga. Suara lelaki itu kini berputar-putar bagai puting beliung, membawa serta semua kenangan yang dulu pernah hadir kembali memenuhi otaknya. Air mata yang menggenang di pelupuk pun luruh tanpa lagi bisa ditahan.

Sementara itu, Rasyid hanya bisa menatap kepergian Vivian dengan hati tak kalah remuk. Pertemuan singkat yang sukses membuat dunia yang telah susah payah ditata selama beberapa bulan belakangan kembali jungkir balik. Lelaki itu bergeming dalam hening, mengutuk diri sendiri yang tak tahu diri. Mengapa cinta, asa dan doa yang dia langitkan untuk Vivian menjadi mata tombak yang secara perlahan mencabik-cabik kalbunya sendiri? Sakit tak terperi. Sayangnya, kegetiran itu lagi-lagi hanya boleh dipendam dan dinikmati seorang diri.

-***-

"Maaf karena sudah bikin kamu menunggu selama itu." Wahyu sangat berharap Vivian sudah pulang sendiri, tidak menunggu dirinya menjemput agar rasa bersalah yang mendera tidak semakin besar. Meskipun sudah jauh memutar dari rumah Naya, lebih baik dia mendatangi kantor yang kosong. Namun, mendapati sang istri menerjang hujan menyusuri jalan basah membuat batinnya tersiksa. Nelangsa. Hatinya tercubit.

Wahyu sadar, dirinya telah membuat masalah besar yang menggoreskan luka baik pada Vivian maupun Naya. Mungkin hanya menunggu waktu segalanya terungkap. Saat ini saja dirinya selalu terbayang penderitaan Naya, dan demi apa pun dia tidak bisa membayangkan bagaimana hancurnya hati istri keduanya.

"Nggak apa-apa, Mas." Vivian menyandarkan kepala di kaca jendela. Mata perempuan itu terpejam rapat.

"Kita singgah makan dulu, ya?" Wahyu khawatir Vivian jatuh sakit. Malam telah larut dan perempuan itu habis hujan-hujanan. "Kamu mau makan apa? Yang hangat-hangat dan berkuah—"

"Nggak usah, Mas. Aku mau kita langsung pulang aja," tolak Vivian. Matanya yang masih tertutup membentuk prasangka sang suami jika dirinya begitu karena enggan melihat wajah lelaki itu. Padahal perempuan itu tengah menekan mati-matian emosi yang berkembang di hatinya. Pertemuan tidak terduga dengan Rasyid melahirkan perasaan bersalah juga malu. Bagaimana bisa dirinya masih menyimpan perasaan untuk lelaki lain di saat dirinya telah berstatus seorang istri?

"Tapi, Vi—"

Vivian menegakkan tubuh. Ditatapnya wajah lelah sang suami. "Mas Wahyu belum makan?" tanyanya lirih.

"Belum." Wahyu jujur. Sejak siang tidak sebutir nasi pun masuk ke lambungnya.

"Aku temani Mas makan aja, ya?" tawar sang istri. "Jujur, aku nggak lapar." Aku cuma lelah. Lelah menghadapi dunia. Lelah bergumul dengan rasa dan asa yang nggak pantas ada.

"Kita beli makanan terus bawa pulang. Nanti makannya sama-sama. Aku suapin." Sebelum mendengar protes atau penolakan, Wahyu kembali menambahkan, "Please, jangan membantah. Aku suapin."

Vivian sempat memelotot, tetapi dirinya hanya diam usai mengangguki perintah sang suami. Dirinya kembali bersandar pada kaca jendela dan menutup kedua matanya.

Hening. Perjalanan pulang yang terasa panjang. Dua insan di bawah satu atap itu berkelana dengan pikiran masing-masing. Keduanya terengah, lelah karena tak kunjung menemukan pegangan. Mereka sama-sama terombang-ambing dalam perasaan yang tak menentu. Vivian terus memikirkan Rasyid dan sang suami, sedangkan Wahyu memikirkan kedua istrinya.
.
.
.
Akan jadi seperti apa rumah tangga mereka?
Terima kasih sudah membaca. Jangan lupa tinggalkan jejak sebanyak-banyaknya ⭐💬
Samarinda, 19 Juni 2023
Salam sayang,
BrinaBear88

Ada Dia di Antara Kita ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang