Usai makan siang, Wahyu, Ratna, Rinta dan Vivian tidak langsung pulang. Mereka masih terlibat obrolan dalam rangka mengakrabkan diri. Ada saja topik pembicaraan yang digelontorkan sehingga tidak memberi celah pada keheningan mengisi barang sekejap.
Pembawaan Wahyu yang hangat membuat obrolan terus mengalir. Dirinya bisa mengimbangi Ratna dan Rinta yang terus mengoceh. Sesekali tawa mereka pecah, menghiraukan pengunjung lain yang mungkin keheranan melihat ke arah mereka.
Hanya Vivian yang tidak terlalu terdengar suaranya. Dirinya membuka mulut hanya jika menjawab ketika ditanya. Itu pun jika tidak keduluan sang mama. Apa-apa yang keluar dari mulutnya benar-benar dijaga Rinta. Pun dengan tindak-tanduknya, diawasi ketat bak narapidana. Perempuan itu mau tak mau menikmati perannya sebagai boneka pajangan. Miris, tetapi memang begitu kenyataannya.
"Jadi, mama kamu bilang, kamu nggak pernah ngenalin cowok apalagi kelihatan jalan sama cowok. Kenapa? Kamu nggak pernah pacaran atau memang nggak mau ngenalin pacar kamu ke mama sama papa kamu?" tanya Ratna tiba-tiba. Entah sekadar iseng, ingin tahu atau karena mulai kehabisan bahan obrolan.
Di bawah meja, kaki Rinta mulai sibuk bekerja. Dia menginjak kaki Vivian cukup keras, memberi peringatan agar tidak sembarangan memberi jawaban.
Vivian menghela napas perlahan, lalu menggeleng.
"Nggak pernah pacaran atau gimana ini? Nggak jelas, deh, Vi! Tante, kan, mau dengar jawaban langsung dari mulut kamu," celetuk Ratna menyelisik wajah sendu Vivian dengan saksama.
Vivian menunduk menyembunyikan rona yang memerahkan kedua pipinya. "Nggak pernah pacaran, Tan," jelasnya.
"Kalau Vivian yang jawab begini, sih, Tante percaya. Keliatan, kok, mana yang emang kalem sama yang sok-sokan kalem. Duh, beruntung banget kamu, Nak!" pekik Ratna senang. Disenggolnya bahu Wahyu yang tersenyum mendengar jawaban Vivian.
Vivian memang tidak begitu mengerti tentang lelaki. Dirinya tidak pernah memiliki cukup keberanian berdekatan dengan lawan jenis apalagi berpacaran. Namun, bukan berarti dirinya tidak pernah menyukai seseorang.
Pertama kali Vivian tertarik dengan lawan jenis adalah saat dia masih kelas satu SMU. Seperti judul sebuah sinetron, Cinta Bersemi di Putih Abu-Abu. Cinta monyet yang berakhir dipendam dan lama-kelamaan terlupakan akibat kesibukannya mengejar deretan prestasi demi memenuhi tuntutan sang mama.
Saat dewasa, hatinya tertambat pada seorang duda. Setelah memantapkan hati berumah tangga, mamanya justru tidak menerima keputusannya. Tidak bisa didebat, penolakan Rinta bermuara pada perjodohan dengan anak lelaki semata wayang Ratna yang merupakan kawan karib semasa muda.
Segala sesuatu berjalan lancar hari ini. Apa itu berarti, kami akan menikah setelah ini?
-***-
Vivian tertegun memandangi layar ponselnya yang menyala terang. Ini kali ketiga ponselnya berdering, tetapi panggilan itu lagi-lagi sengaja dia abaikan. Panggilan akhirnya terputus dan entah mengapa, dirinya menghela napas lega. Tidak lama kemudian, notifikasi pesan masuk berdenting dari nomor baru yang tadi menghubunginya.
Melalui pop up, Vivian mengintip siapa yang telah mengirim pesan dan bagaimana isi pesannya.
+6289876543210
Hai, Vi. Ini Wahyu.
Sudah tidur, belum?Dugaan Vivian tidak salah. Nomor baru yang baru saja menghubunginya adalah milik Wahyu. Entah apa maksud lelaki itu menelepon dan mengirim pesan malam-malam. Terlihat dari isi pesannya, dia berkesimpulan bukan sesuatu yang bersifat urgent.
Vivian menilik jam yang tergantung di dinding kamarnya. Telah sepuluh menit melewati pukul sepuluh.
Alih-alih membalas pesan Wahyu, Vivian kembali meletakkan ponsel ke atas nakas. Dia melompat menaiki ranjang, merebahkan diri di tengah-tengah lalu menarik selimut. Matanya terpejam sembari berdoa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ada Dia di Antara Kita ✅
RomantizmMemiliki lelaki idaman yang ingin dijadikan suami, tetapi Vivian harus berbesar hati menerima penolakan sang mama. Dia dipaksa menerima kenyataan, lelaki pilihannya tidak memenuhi kriteria calon menantu idaman. Hatinya patah, asanya musnah. Tidak cu...