Sudah lima menit berlalu setelah Vivian angkat kaki, Wahyu masih bergeming di ruang tamu memandang ke arah pintu yang terbuka. Wajahnya kusut, tak kalah kumal dari kemeja yang belum disetrika. Lelaki itu menghela napas panjang usai mengacak-acak rambutnya. Pusing. Dia tidak menyangka akan berada di posisi tadi, tetapi di sisi lain merasa beruntung karena Jo berada di sana hingga bisa dijadikan tumbal. Lebih beruntung lagi karena asistennya itu mau diajak kompromi tanpa banyak mengeluh dan protes seperti biasanya.
Jo mendengkus melihat atasannya melamun. Perempuan yang baru saja datang dari arah dapur itu datang membawa dua cangkir teh kamomil dalam nampan. "Jadi ...." Sengaja perempuan itu menggantung ucapan untuk menarik perhatian, dan tentu saja upayanya berhasil. Wahyu menoleh dan langsung menegakkan tubuh ketika melihat kedatangannya. Wajah tegang lelaki itu terlihat lucu dan menggemaskan di matanya. Persis anak kecil yang baru saja kedapatan memorakporandakan seluruh rumah saat ditinggal tidur kedua orangtuanya. "Perempuan itu yang namanya Vivian?" tanyanya sambil meletakkan bawaannya ke atas meja.
"Iya." Wahyu memandang lekat wajah Jo. Dia tahu ada sesuatu di balik pertanyaan lawan bicaranya itu. Matanya awas memperhatikan setiap pergerakan sang asisten. Sejak perempuan itu datang, menyajikan teh untuknya, hingga kini duduk tepat di hadapannya. "Kenapa?" tanyanya tak suka. Nada sinis Jo saat tadi menyebut nama Vivian mengusiknya.
"Cantik, ya? Kalem. Kelihatannya beneran baik." Jo duduk anggun dengan kaki menyilang. Tanpa ragu dia membalas tatapan lelaki di depannya.
"Jo, biaya kuliah Jeje bisa aku talangi dulu. Kasihan kalau sampai dia menunda kuliah atau bahkan melepaskan kesempatan yang sudah ada dalam genggaman." Wahyu sengaja mengalihkan topik pembicaraan. Bahasan tentang Vivian jelas bukan topik yang nyaman dibicarakan dengan Jo, Naya—apalagi sang mama—bahkan dengan siapa pun. Biar hanya dia yang tahu kegundahan macam apa yang tengah merundung jiwanya. "Kamu bisa mengganti dana itu dengan mengangsur," imbuh lelaki itu bersungguh-sungguh.
Jo hanya mengangguk. Bukan tidak berterimakasih atas kemurahan hati lawan bicaranya, tetapi mendadak Vivian menjadi objek yang menarik perhatiannya. Dia mengerti isyarat yang Wahyu berikan, keengganan lelaki itu bicara tentang perasaan sangat mudah dipahami. Namun, keingintahuan lebih besar dari apa pun saat ini.
"Mas, apa pendapat kamu tentang Vivian?"
Wahyu mendengkus. Dasar keras kepala!
"Gimana si Vivian?"
"Seperti yang kamu bilang, dia cantik." Dia kalem. Dia perempuan yang baik. Dia juga ... menggemaskan.
"Tapi ... aku yakin bukan kecantikan dia yang bikin Mas Wahyu sampai tega berbagi hati," Jo bersikukuh. Pasalnya, jika dibanding Naya dan Vivian, dia jauh lebih cantik. Bukannya sombong, dirinya hanya bicara sesuai fakta yang ada. Fisiknya mendekati kata sempurna. Kesetiannya juga tidak perlu diragukan. Dari dulu, sekalipun sadar cintanya bertepuk sebelah tangan, Jo tidak pernah sekalipun berpikir meninggalkan Wahyu. Sesakit dan sesulit apa pun situasinya, pengabdiannya tidak perlu diragukan. "Pasti ada sesuatu yang ... spesial."
Wahyu membeliak. Untuk sesaat napasnya tercekat di tenggorokan. Lelaki itu diam, memandang lawan bicaranya tanpa berkedip. Dalam benaknya bertanya, apa terlihat sejelas itu perasannya atau memang Jo yang terlalu pandai membaca pikiran?
"Kenapa? Jangan kaget gitu, dong!" Jo menyamankan punggungnya pada sandaran kursi. Tangan yang tadinya berada di pangkuan kini berpindah posisi ke depan perut dalam posisi terlipat. "Nggak bisa jawab? Atau bingung gimana caranya berkelit?"
Wahyu diam. Dia tidak suka situasi ini. Terlebih lagi kalimat demi kalimat yang terlontar dari mulut Jo terlalu tajam menyerangnya. Melampaui dari yang sepatutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ada Dia di Antara Kita ✅
RomansMemiliki lelaki idaman yang ingin dijadikan suami, tetapi Vivian harus berbesar hati menerima penolakan sang mama. Dia dipaksa menerima kenyataan, lelaki pilihannya tidak memenuhi kriteria calon menantu idaman. Hatinya patah, asanya musnah. Tidak cu...