Asing, Tapi Tak Asing

421 69 9
                                    

"Len, makin hari aku merasa kayak ini, tuh, nggak benar." Vivian mengeluh usai menceritakan kejadian kemarin pagi di rumahnya.

"Yang kamu bilang nggak benar itu di bagian yang mana?" Helena maju sedikit dari duduknya. Usai menengok kanan kiri dan memastikan keadaan aman terkendali, dia kembali berkata, "Tentang suamimu yang minta maaf ... atau kegiatan kalian setelah dia minta maaf?"

Pipi Vivian bersemu. Pergumulan bermandikan keringat bersama sang suami mendadak berkelebatan di benaknya. Sontak perempuan berhijab itu menunduk, menyembunyikan wajah yang memanas karena malu. "Ish, kamu jangan mikir yang aneh-aneh, dong!" kilahnya. Upaya yang sia-sia.

Helena terbahak. "Nggak aneh-aneh, loh, itu! Malah sudah jadi hal lumrah kayaknya. Setauku, fakta di lapangan memang begitu. Bukan cuma terjadi sama kalian, tapi hampir di semua pasangan," ucap perempuan itu sok tahu. Minim pengalaman masalah percintaan, pengetahuan itu di dapatnya dari artikel yang kerap mejeng di laman pencarian.

Vivian merasa hawa panas semakin kuat menyebar, menjalar dengan cepat membakar wajahnya. "Mas Wahyu minta. Kalau aku sampai nolak, dosa, kan?" tanyanya berbisik.

Tawa Helena semakin pecah. "Kamu, tuh, memang polos banget, ya? Menggemaskan, tau?"

"Helena, ih! Jangan ngomong keras-keras! Itu juga ketawanya nggak bisa lebih kalem, apa? Malu kalau sampai ada yang dengar." Vivian mencebik usai melayangkan cubitan ke lengan sahabatnya.

"Oke, oke!" Helena berhasil menguasai rasa geli yang sesaat tadi menyerang perutnya. "Yah, pada dasarnya, apa pun yang kalian sah-sah aja, Vi. Nggak ada yang larang. Malahan jatuhnya dosa kalau kamu sampai menolak tanpa alasan yang jelas. Tapi ... apa nggak kerasa mengganjal?"

"Mengganjal ... gimana?" tanya Vivian lugu. Pikirannya memang tidak sampai ke arah pembicaraan Helena.

"Kalau, nih, ya ..." Helena memasang wajah serius. Duduknya sudah kembali tegak, bahkan kedua tangannya turut rapi terlipat di atas meja. "Kalau dia juga sama Naya, gimana? Secara ..." Lagi, perempuan itu menggantung ucapannya. Rautnya kian kaku. Tidak lama kemudian embusan napasnya terdengar. Mengedikkan bahu, lantas mencebik, baru sesaat kemudian dia kembali bicara, "Bisa kamu lihat sendiri, physically, Naya itu cantik luar biasa. Laki-laki normal pada umumnya pasti sepakat kalau perempuan itu punya body goals impian jutaan perempuan lainnya di dunia. Ngerti, kan, yang aku maksud?"

Vivian bergidik ngeri. Dia menggeleng, mengenyahkan ide-ide buruk yang terlanjur lahir sebelum berubah menjadi monster besar yang meresahkan. "Len, bisa mikir yang baik-baik aja, nggak, sih? Usahakan untuk selalu ber-husnuzan," rengeknya.

"So, kamu percaya mereka nggak pernah ena-ena? Kalau itu dibilang kejauhan, sebutlah sebatas make out. Yang lagi kita bicarain ini asisten pribadi dengan atasan yang ngabisin waktu nyaris seharian, loh, Vi!"

Vivian memberengut. "Aku nggak tau, Len." Dia mendesah frustrasi. Bisikan-bisikan Helena terdengar makin menakutkan, sampai-sampai dia takut sendiri kalau itu akan berakhir menjadi tuduhan tanpa pernah terbukti kebenarannya. Namun, jika sampai terbukti kebenarannya pun jelas bukan suatu hal yang bisa diterima dengan lapang dada. "Aku nggak tau," ulangnya semakin lemah.

"Sorry," ucap Helena meringis. Dari ekspresi Vivian, jelas sahabatnya itu terlihat tertekan. "Mungkin aku yang terlalu parno. Aku terlalu nethink. Padahal memang bisa aja semua itu cuma—"

"It's okay, Len," sela Vivian cepat. Perempuan itu mengulurkan tangannya lalu merangkum tangan lawan bicaranya. Tak lupa dia juga mengukir sebuah senyum di wajahnya. "Aku tau, kamu cuma khawatir sama aku. Kayak tadi itu wujud kepedulian kamu sama aku. Gimana pun juga, semua ini awalnya dari aku. Kalau aku nggak cerita masalah rumah tanggaku sama kamu, kamu nggak bakalan ikutan pusing."

Helena tertawa pelan. "Habisnya stok laki-laki baik makin menipis zaman sekarang. Pelakor juga bertebaran di mana-mana."

"Mungkin ada baiknya aku belajar memupuk kepercayaan. Nggak mungkin, kan, Mama milihin jodoh yang nggak benar buat aku? Sebelumnya pasti sudah dinilai bibit bebet bobotnya." Senyum di wajah Vivian semakin lebar. "Kejadian kemarin-kemarin itu mungkin memang benar karena Mas Wahyu sedang menghadapi permasalahan. Dia pusing, kalut, dan menghilang karena nggak mau aku ikutan kepikiran. Benar, kan?"

Sekalipun masih mengganjal, melihat binar penuh harap yang terpancar di sepasang mata Vivian, Helena hanya mengangguk. Deretan kalimat penyangkalan pun ditelan bulat-bulat. Dia tidak sampai hati melihat sahabatnya itu terus-terusan merana. Dirinya menekankan pada diri sendiri untuk selalu memastikan keadaan Vivian baik-baik saja.

"By the way, abangku ngabarin dia sudah sampai di depan." Helena memasukkan ponsel ke dalam tas jinjing miliknya. "Yakin, kamu nggak mau barengan?" Helena menawarkan tumpangan. Rumah mereka memang berada di perumahan yang sama, hanya berbeda blok. Fakta yang baru mereka ketahui baru-baru ini, tepatnya saat Vivian bercerita perihal suaminya yang tiba-tiba menghilang. Hari itu mereka pulang beriringan.

"Nggak, deh, Len. Aku mau mampir belanja dulu soalnya. Ada beberapa kebutuhan rumah yang kemarin lupa dibeli," tolak Vivian.

"Nggak apa-apa, loh! Kita bisa singgah di minimarket. Abangku nggak akan keberatan. Sekali-kali jadiin dia sopir."

"Adik kurang asem itu namanya."

Mereka pun tertawa.

"Jarang-jarang dapat kesempatan jadi ratu soalnya. Kalau motor kesayangannya nggak sekarat terus terpaksa dirawat di rumah sakit, boro-boro dia mau antar jemput begini. Ini juga gara-gara dia ada urusan kerjaan di luar, jadi mau nggak mau bawa mobilku," terang Helena panjang lebar.

"Nggak, deh, Len! Serius, aku pulang sendiri aja." Lagi, Vivian menolak.

Helena menghela napas, sejurus kemudian dia tersenyum. "Aku duluan kalau gitu," ucapnya sambil menepuk bahu Vivian. Perempuan berhijab itu pun membalas senyumnya. Menyampirkan tasnya di pundak, Helena melenggang sambil melambaikan tangan. "Bye, Vi. Sampai ketemu besok."

-***-

"Apa lagi, ya, yang kurang?" gumam Vivian meneliti barang-barang di dalam keranjang belanja. Dia sedikit menyesal karena tadi tidak membuat list terlebih dahulu. Masih fokus mengingat kembali apa saja barang yang dia dan Wahyu perlukan, tiba-tiba pundaknya ditepuk seseorang.

"Vivian, kan? Ah, nggak mungkin salah, sih!"

Vivian menoleh cepat dan tertegun menatap perempuan cantik yang baru saja menyapanya. Dia yakin benar ini kali pertama mereka bertemu. Namun, dari mana perempuan itu bisa dengan jelas menyebut namanya?

"Sorry, kamu pasti kaget dan bingung." Perempuan yang juga menggunakan hijab, tetapi berpenampilan lebih modis itu tertawa. "Kita memang belum kenalan, tapi aku sudah tau banyak tentang kamu." Tanpa diduga, perempuan itu mencondongkan tubuhnya lantas berbisik tepat di samping telinga Vivian. "Bahkan bisa dibilang tau terlalu banyak, sampai detail yang kamu mungkin nggak ketahui."

Vivian mundur selangkah. Dia melayangkan tatapan curiga. Waspada. Perempuan di depannya sangat aneh.

"Vivian begini. Vivian begitu. Dia begini. Dia begitu. Bla bla bla dan bla bla bla." Perempuan itu menyilangkan tangan di depan perutnya. "Bosan. Seolah cuma Vivian perempuan terbaik di dunia ini." Dia  berhenti, memandang Vivian dari atas ke bawah. Sebelah sudut bibirnya terangkat. "Bukan seratus persen salah kamu, sih!"

"Mbak bicara apa, sih? Saya nggak ngerti." Vivian perlu penjelasan.

"Cuma satu pesanku, jadi perempuan jangan terlalu bodoh." Tanpa pamit, perempuan itu melenggang meninggalkan Vivian.

Aku nggak punya niat buruk, cuma pengin membangunkan kepekaanmu yang mungkin terlalu lama tidur. Ini masih awal. Setelah ini kita pasti akan ketemu lagi. Semoga dengan begini kamu sadar, ada banyak sekali hal yang disembunyikan dari kamu, Vivian.
.
.
.
Samarinda, 02 Agustus 2023
Salam sayang,
BrinaBear88

Ada Dia di Antara Kita ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang