15

243 15 1
                                    

Membereskan Kekacauan

Satu per satu masalah mantan itu membuat Enrico sakit kepala.

Ranaya dengan bujuk rayuannya pada Sheila. Bella dengan permohonan maafnya dan meminta hubungan keduanya tetap baik agar sang Papa tidak semakin marah. Kelby yang tetap sejutu Enrico kembali dekat dengan salah satu anak temannya. Dan Opa yang mulai lelah melihat permainan Enrico, mengancam akan menurunkan jabatan Enrico jika Enrico tidak bisa memilih perempuan yang baik.

"Sialan!" umpat Enrico sambil menghabiskan tequila di gelasnya.

Virza menggelengkan kepalanya melihat kelakuan Enrico. Joshua dan Sean sibuk mengamati.

"Kenapa sih loe?" tanya Sean penasaran. Tampang Enrico ini sama kecutnya dengan wajah Edginee saat tahu Caiden berselingkuh.

Enrico mengusap wajahnya lelah. Lalu mengalirlah cerita Enrico dari kelakuan Ranaya sampai permintaan Opa.

"Hemm. . ." Joshua mengetuk-ngetuk keningnya, "Ranaya jelas butuh bantuan Om sama Tante buat perusahaan Papanya. Dia nggak akan berhenti sampai loe dapat perempuan yang direstui Om Tante."

"Eh, masalah loe sama Om dan Opa beres tuh." ujar Virza cepat.

"Masalah Bella juga gampang sih sebenernya kalau loe dapat perempuan yang di restuin Om Tante itu. Loe cukup temenan lagi aja sama Bella kayak dulu sebelum pacaran. Masalah klien yang kenal loe yang pesen meubel di pabrik Papanya juga tinggal loe rekayasa." ujar Sean sedikit culas. "Loe masih bisa kok minta klien yang kenal kita yang lagi butuh meubel buat beli di pabrik Papa Bella."

"Hubungan loe tetep cuma temenan sama Bella. Bella tetap aman dari murka Papanya. Dan masalah loe kelar semua." Joshua tertawa senang sambil mengajak tos pada Sean dan Virza.

Enrico menghembuskan nafasnya perlahan. Solusi mereka memang terlihat mudah. Yang jadi masalah, Enrico mau cari di mana perempuan seperti itu.

Kelby dan Sheila memiliki kriteria yang berbeda untuk calon mantunya. Hansen saja dulu harus meminta restu Papa lebih dari 1 tahun sebelum akhirnya bisa mengikat Stevanie di status tunangan.

"Udahlah! Kita minum dulu aja. Makin di pikirin makin pusing loe entar." bujuk Virza sambil menuangkan tequila pada gelas Enrico.

"Setuju! Kita mabuk sampai pagi!" teriak Sean tidak jelas.

"Kita senang-senang buat sekarang. Masalah masih bisa kita pikirin besok-besok."

~ Dream Wedding ~

Edginee menggembungkan kedua pipinya seketika.

Hari sabtu itu hari sibuk di hotel. Tapi Tante Jessica, Mama Sean, malah meminta Edginee memastikan keadaan Sean di apartemennya.

"Ck!" decak Edginee kesal saat melihat Joshua yang tertidur di sofa. Di bawahnya Virza tertidur beralaskan karpet bulu.

"Nih bocah abis pada pesta bujang apa?"

Melihat keadaan unit Sean yang kotor membuat jiwa-jiwa bersih Edginee meronta.

Sebelum Edginee membersihkan unit Sean, dia harus menemukan Sean terlebih dahulu. Bisa habis Edginee kena serangan pertanyaan Tante Jessica.

Edginee melangkahkan kakinya ke dalam kamar. Dan rupanya yang di dalam kamar itu adalah Enrico.

"Sean di mana?" tanya Edginee pelan sambil menutup pintu kamar.

Satu-satunya tempat yang belum Edginee kunjungi adalah dapur. Dan saat langkah kaki Edginee mendekati dapur, Edginee dapat melihat Sean tengah tertidur dengan posisi duduk.

"Astaga! Bisa loh dia tidur begini?"

Edginee mengeluarkan ponselnya. Memfoto kondisi unit Sean dan mengirimkannya pada sang Tante.

Sebelum meninggalkan unit Sean, tentu saja Edginee membereskan kekacauan mereka terlebih dahulu. Sean ini bujang lapuk yang banyak maunya tapi nggak mau usaha.

Unit apartemennya ini hanya bisa di masuki keluarga dan teman dekatnya. Bahkan yang membantunya untuk membersihkan unitnya juga asisten dari rumah sang Mama.

Edginee sendiri binggung dengan kelakuan Sean.

~ Dream Wedding ~

Agni membereskan barang-barang pribadi miliknya. Putusan pengadilan memang belum ketuk palu tapi Agni tahu hasil akhirnya akan seperti apa.

Barang-barang milik Cindy pun sudah di bereskan dari jauh-jauh hari.

Cindy memang tidak terlalu banyak memiliki barang di rumah ini. Mainan milik Cindy jumlahnya terbatas. Hanya baju dan pernak-pernik asesoris yang banyak.

Galuh mengetuk pintu kamar Agni yang terbuka. "Barang Mama sudah beres di packing. Kamu mau Mama bantu packing?"

Agni menggelengkan kepalanya.

"Dean tahu kita pergi dari sini hari ini?"

Lagi-lagi Agni menggelengkan kepalanya.

"Agni. . ."

"Ma, hidup Agni bukan lagi urusan Dean. Dean cukup tahu kalau kita pasti keluar dari sini. Masalah kapan dan kemananya, itu bukan urusannya."

"Sayang. . ."

Agni memilin jari-jari tangannya. Gugup. "Masalah Agni di sini cuma Cindy. Selama ini Cindy hanya tahu Dean sebagai Papanya. Apa yang bisa Agni jelasin Ma ke Cindy kalai ternyata Dean bukan Papa kandungnya dan sekarang Mamanya sudah pisah sama Papanya."

Galuh memeluk Agni. Mengusap punggungnya perlahan. "Mulai sekarang kita beri pengertian pada Cindy kalau Mamanya sudah tidak tinggal dengan Papanya. Lambat laun Cindy pasti mengerti. Sedangkan masalah Papa kandungnya, saat Cindy cukup besar dan mengerti, kita bisa jelasin dan kenalin Cindy sama Papanya."

Agni mencurahkan tangisnya dalam pelukan Galuh. Jujur Agni berat dengan kondisi ini. Ia memang sudah menerima keadaan dimana dia hanya bisa bertahan dengan aset berupa tabungan untuk melanjutkan hidupnya. Tapi masalah Cindy jelas mengganggunya.

Sejauh ini kedua orangtua Dean memang tidak memperlakukan Agni dengan baik. Tetapi tidak begitu pada Cindy. Kedua orangtua Dean menerima Cindy dengan terbuka. Bahkan Danish, adik Dean pun sering memanjakan Cindy.

Agni memang harus menerima upah hasil tanamannya lebih cepat bersama dengan bunganya.

~ Dream Wedding ~

To Be Continue

J.F.E.L

Dream Wedding ☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang