"Bila Allah menginginkan dua hati untuk bersatu, Dia akan menggerakkan keduanya bukan hanya satu."
Gladysa termenung melihat dirinya di cermin. Cewek itu mengembuskan napasnya mencoba untuk menyakinkan diri sendiri bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Ini adalah hari pertama Gladysa bersekolah memakai hijab.
"Gue aneh banget nggak, sih?"
"GLADYSA?!! AYO BURUAN! PAPI UDAH MAU BERANGKAT, NIH!"
Perempuan itu berdecak. "IYA, SEBENTAR!"
"Gladysa.... Pake jilbab itu kewajiban. Jangan ditunda-tunda cuma karena mau nyari spek suami yang nerima lo apa adanya, yang mungkin suatu saat bisa pakein lo jilbab setelah halal. Mulai besok lo pake jilbab, ya! Nggak usah ditunda-tunda. Kalo jodoh lo kematian sedangkan lo nggak berjilbab, ibaratnya pas selangkah lagi lo mau masuk surga nggak bisa padahal surga itu indah. Itu kayak lo saat ini, mau pake kerudung tapi tunggu hal indah berupa seorang suami, jadi ke tunda. Apa lo mau gitu juga?"
×××
Semua pasang mata melirik aneh kepada Gladysa sedangkan perempuan itu menunduk dalam.
Apakah dirinya seaneh itu memakai jilbab?
"Pantes aja nggak mau pake kerudung, gue yang sebagai kaum Adam mengakui dia cantik banget gilaaaa!!!"
"Ya ampun, Gladysa... Lo kenapa nggak dari dulu aja pake kerudung!"
"Masya Allah banget.... Gue jadi insecure."
Tak ingin mendengar pujian-pujian tersebut, perempuan itu mempercepat langkahnya hingga dirinya melihat sosok Nadya yang sedang menatap ke arahnya dengan pandangan tak suka.
"Kamu mau nyari perhatiannya Imam?"
Pertanyaan yang lolos begitu saja dari Nadya membuat Gladysa memberhentikan langkahnya lalu balik menatap tak suka.
"Gak usah sudzoon!"
"Tapi kenapa tiba-tiba banget?"
Gladysa menghela napas panjang. "Hidayah juga bisa dateng tiba-tiba sama kayak kematian. Jadi nggak usah kaget! Contohnya aja, lo tiba-tiba mati sekarang."
Luna dan Abigail yang baru datang dan mendapatkan celetukan dari sahabatnya tertawa keras seraya menatap Nadya yang mukanya sudah memerah.
"Omongan kamu nggak dijaga banget."
Gladysa hanya memutar kedua bola matanya malas. "Terserah."
"Kalo ngobrol jangan ngalangin jalan," celetuk Qori---sahabatnya Imam seraya melirik tajam kepada perempuan-perempuan itu.
Abigail langsung berdehem canggung. "Sori."
Qori melanjutkan langkahnya dengan santai tanpa mempedulikan banyaknya tatapan yang teruju kepadanya. Namanya Qori Kasyavani, pemuda blasteran Indonesia-Arab yang memiliki tinggi 183 cm dengan bentuk badan yang ideal, alis tebal, sorot mata yang tajam, hidung bangir, serta rahang tegas yang selalu menjadi fokusnya kaum Hawa pada saat cowok itu berjalan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Imam untuk Gladysa✓
SpiritualGladysa Makmuma Al-Fath. Seorang perempuan yang selalu mengusik ketenangan seorang Imam El. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Galydsa sangat membenci Imam, beda dengan kaum Hawa lainnya yang selalu memuji Imam bagaimana pun keadaannya. Yang satu kal...