١

21.1K 934 10
                                    

"Tidak ada kata tapi dalam menjalankan perintah-Nya. Ketika kita bisa meninggalkan Allah karena cinta makhluk tanpa ada kata tapi, lalu mengapa kita tak bisa meninggalkan makhluk-Nya karena Allah tanpa ada kata tapi juga?"

Semua sorak ramai begitu terdengar di lapangan karena mereka begitu tampak antusias melihat kakak kelas mereka yang dijuluki siswa teladan itu sedang bermain bulu tangkis. Seorang cowok dengan rahang tegas memasang wajah datarnya meski semua orang pada menyebut namanya dan tak luput dari kata pujian yang dirinya dengar.

Dari sekian banyaknya siswi yang meneriaki namanya, Imam hanya salah fokus terhadap satu orang cewek yang sedang terang-terangan menunjukkan kebencian terhadap dirinya.

"GLADYSA, LO HARUS LIAT ITU! IMAM GANTENG BANGET GILAAAAAA!!!!"

Gladysa mengibaskan rambutnya seraya mengelap keringatnya yang berad di dahi.

"Alay banget lo pada!"

Luna yang melihat sahabatnya sensi seperti biasanya itu hanya menghela napas seraya menyenggol lengan Abigail yang sedari tadi senyum-senyum sendiri karena melihat crushnya ada di depan mata. Itu Qori, sohibnya Imam.

"Ih, mata lo ada di bagian mana, sih, Makmum?! Orang-orang pada histeris ngeliat pemandangan adem tapi lo malah kepanasan sendiri." Ada jeda. "Banyak setannya emang lo!" Damprat Abigail kesal ketika fokusnya terganggu disebabkan ocehan Gladysa untuk Imam yang tak ada habisnya.

Pertandingan semakin panas ketika hanya beda satu poin saja hingga suara adzan Dzuhur terdengar dan pada saat itu pula suara lautan siswa -iswi memberi apresiasi kepada pemenangnya.

Imam, lelaki itu kalah karena refleks berhenti ketika mendengar adzan berkumandang.

Cowok itu mengelap keringatnya lalu mengambil air minum dan duduk untuk meminumnya seraya menjawab adzan dalam hati.

Gladysa tertawa meremehkan. "Lo liat! Dia kalah!"

Luna menggeleng tak terima. "Dia menang, tapi bukan di mata kita."

Abigail mengangguk. "Nah!" Ada jeda. "Sumpah, gue masih terheran-heran. Kenapa, sih, lo segitunya sama Imam?"

"Fansnya pada alay!" Sahutnya seraya memasang bando di kepalanya seperti biasanya.

"Gimana nggak alay dikasih spek yang kayak Imam di sekolah ini."

"PERFECTAN JUGA JODOH GUE!"

Abigail menggeleng miris. "Laku lo?"

Gladysa berdiri. "Lo nggak liat DM-an IG gue yang mayoritas cowok semua?"

Luna mengedipkan sebelah matanya. "Nanti kalo ternyata jodoh lo Imam gimana?"

"NAJIS!" Jawab Gladysa seraya berteriak karena Iman lewat di depan matanya.

Luna yang melihat itu bersama Abigail buru-buru merapikan penampilannya seraya menarik tangan Gladysa.

"Ih, apa-apaan, sih, lo pada?!"

"Ayo, sholat! Ketika ubin Masjid disatukan sama ubin Masjid...."

"Beuhh, Masya Allah..." Sahut Abigail seraya memasang wajah teduhnya.

"Ih! Kalian aja yang sholat, gue lagi halangan!"

"Titisan setan emang lo!" Luna melepas genggamannya. "Gue udah hampir satu bulan denger alasan lo yang kayak gitu, ya, Makmum...."

"Di Masjid panas."

Abigail membuka mulutnya tak percaya. "SEGITU DINGINNYA LO BILANG PANAS?!"

Perempuan itu menyumpal kedua telinganya. "Panas, ada Imam soalnya."

"Bener-bener titisan setan ini anak..." Luna menggeleng miris. "Gue sama Abigail aja yang pake kerudung kerasa banget dinginnya. Lah, lo yang bebas dari kerudung malah kepanasan."

Mereka telah sampai di depan Masjid yang merupakan Masjid sekolah mereka. Luna dan Abigail mulai membuka sepatunya sedangkan Gladysa seperti biasa duduk di samping Masjid.

"Sumpah! Di dalem banyak spek idaman. Lo gak mau masuk?," Tanya Luna dengan wajah sok serius.

"Idaman gue tetep jodoh gue."

Dia Gladysa.... Yang selalu membangga-banggakan jodohnya meski tak tahu ada di mana.

"Syukur-syukur kalo jodoh lo Imam!" Cetus Abigail dengan nada mengejek.

"Ih, jelek banget doa lo!"

"Ya Allah... Gak paham lagi gue sama lo. Anak kelas sebelah aja yang didoain supaya jodohnya Imam langsung sujud syukur, lo malah nolak!"

"Bodo amat."

"Ayolah, Lun! Kita sholat terus doa supaya si Makmum dikasih cahaya hidayah."

Gladysa tertawa bebas ketika Luna dan Abigail mulai memasukki Masjid dan tawa manis perempuan itu tak sengaja dilihat oleh Imam beberapa detik.

Perempuan itu langsung mendatarkan wajahnya ketika Imam ingin memasukki Masjid.

"Duh, kalah..." Ejek Gladysa seraya membuka ponselnya.

"Agama lo apa?"

Gladysa terdiam mendengar logat bicaranya. "Islam."

"Nunggu disholatin dulu baru sholat?"

Merasa tersindir, perempuan itu menekuk alis tebalnya.

"Mending sholat lo sono!"

Imam cuek bebek seraya mulai melangkahkan kakinya ke dalam Masjid. Gladysa menghela napasnya.

"Kenapa mesti lewat di depan mata lagi, sih?!!" Gerutunya lalu melihat ke arah aspal.

Perempuan itu tercenung sesaat ketika ada sebuah benda kecil jatuh. Itu tasbih digital.

Gladysa memberanikan diri untuk mengambilnya lalu memencetnya hingga terlihat sejumlah angka. Totalnya delapan puluh ribuan lebih.

Pandangan Gladysa linglung sesat lalu mengelus tasbih tersebut.

Perempuan itu menggeleng. "Masya Allah..."

Perempuan itu sambil menunggu teman-temannya selesai sholat, ia mulai berdzikir menggunakan tasbih tersebut.

Gladysa memang tidak seperti teman-temannya yang memakai kerudung, bukan juga seperti orang lain yang selalu sholat di awal waktu. Dia adalah Gladysa, yang di mana memilih sholat di rumah supaya lebih khusyuk dan niatnya pun baik. Yaitu hanya karena Allah bukan karena hal lain alias cuci mata. Dan Gladysa juga tak berhijab, memang alasannya tak masuk akal dan tak wajib ditiru. Dirinya ingin pertama kali yang memakaikan hijab ke dirinya adalah imam hidupnya, dirinya ingin mencari sosok laki-laki yang selama ini dirinya tunggu. Sosok laki-laki yang tak mudah menilai dirinya. Bahkan ketika bertemu dengan orang yang seperti dirinya, ingin lelaki itu halalkan karena dengan membimbingnya ke arah yang lebih benar, cowok itu akan mendapatkan pahala jariyah.

Tapi...

Masih adakah?

Imam menundukkan pandangannya lalu melirik sekilas ke arah Gladysa yang sedang berdiam diri. Cowok itu habis berwudhu.

Dirinya menggeleng pelan lalu memasukki Masjid dan menempatkan shaff yang kosong. Imam memegangi dadanya yang selalu berdebar tak karuan ketika ada Gladysa.

"Rasa gue ke lo itu kayak Al-Jinn. Nggak ada wujudnya."

"Simpanlah apa yang kau rasa dalam diam. Serahasia mungkin. Hingga debarannya hanya engkau dan Tuhan yang mampu mendengarnya."
-Habib Umar bin Hafidz-

Imam untuk Gladysa✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang