Ketika melihat mata Ara yang basah Chika mengangkat tangannya dan berniat mengusap wajah Ara.
Tetapi Ara dengan cepat menepis tangannya dan tersenyum, dia kemudian mengusap air matanya sendiri.
"Aku harus gimana?" Tanya Ara lebih kepada dirinya sendiri.
"Raa denger dulu, itu foto lama...aku-"
"Maksud kamu..." Lidah Ara tercekat, dia merasa telah dibohongi secara terang-terangan.
Tentu saja, Chika dan Vion yang merupakan pasangan pasti akan melakukannya. Lalu kenapa Chika harus berbohong? Itu membuatnya terlihat sangat bodoh karena percaya begitu saja.
"Kenapa bohong?" Tanya Ara dengan suara bergetar, matanya menatap nyalang ke arah Chika.
"Raa aku gak bohong"
"LALU APA!?" Ara meraung marah, wajahnya menunjukkan kekecewaan yang jelas.
Chika mengigit bibir bawahnya panik, bukan ini yang dia inginkan. Rasa takut kehilangan Ara dengan cepat menyebar di hatinya.
Mata cokelat Chika bertabrakan dengan mata pekat milik Ara, keduanya sama-sama terluka saat ini.
Chika menggeleng lemah sambil berusaha mendekati Ara, akan tetapi setiap kali dia berusaha mendekat maka Ara akan menepisnya dengan kuat.
"Kamu hamil?"
Deg!!!
Gerakan Chika terhenti, dan tubuhnya membeku seketika.
Bibir Chika terkatup rapat dan seolah susah untuk di gerakkan, hanya mata cokelatnya yang menatap Ara dengan raut kesakitan.
Melihat Chiks yang diam dan tidak menjawab pertanyaannya Ara merasa jika dunia berhenti berputar.
"JAWAB! KAMU HAMIL!?" Sekali lagi Ara bertanya dengan suara tinggi.
Matanya kemudian beralih ke perut Chika.
"Raa...aku...aku" Chika terbata-bata, dia tidak tahu harus menjelaskannya seperti apa sekarang.
Jari Ara terkepal kencang melihat reaksi Chika, dia yakin jika saat ini Chika memang hamil dan sudah pasti itu adalah anak Vion.
Mereka berdua telah bersama sejak beberapa bulan terakhir, tetapi Chika masih hamil muda. Ara tersenyum miris, berkali-kali dia berusaha menahan air matanya agar tidak jatuh akan tetapi usahanya gagal.
Butiran bening mengalir deras melalui pipinya yang pucat.
Ara terkulai lemas, dia kemudian duduk di lantai yang dingin dan terisak pelan.
Ara merasa jika nasibnya benar-benar buruk. Dia rela menolak orang yang sangat mencintainya demi orang yang dia cintai, akan tetapi ini yang dia dapatkan.
Chika yang berdiri dan melihat Ara tertunduk sambil terisak ikut berjongkok.
"Raa maafin aku...bukan ini yang aku mau Raa" Ucap Chika berusaha mendapatkan maaf dari Ara.
Ara mengangkat wajahnya dan menatap Chika di depannya.
"Gugurin..." Lirih Ara.
Mata Chika membulat sempurna mendengar itu.
"Kamu cuma bisa pilih satu, aku atau kandungan kamu"
"ARA!"
"KENAPA!?" Otot wajah Ara mengeras.
Dia menatap Chika dengan wajah menahan sakit hati.
"Raa tolong jangan kayak gini"
"Sakit Chik..." Isak Ara yang tidak dapat lagi membendung tangisnya.
Di depannya Chika ikut terisak. Takdir benar-benar mempermainkan perasaan mereka berdua.
Ara yang tidak bisa lagi melihat wajah Chika dengan tubuh lelah perlahan bangkit dan berniat untuk pergi, akan tetapi Chika yang masih jongkok bergegas meraih tangannya dan menatapnya.
"Kamu mau kemana?" Tanya Chika dengan suara serak.
"Kesempatan kamu udah habis" Jawab Ara, matanya yang sembab menatap Chika lemah.
Mendengar jawaban Ara, Chika semakin mempererat genggamannya di tangan Ara.
Dia kemudian menggelengkan kepala dengan cepat dan meracau agar Ara tidak meninggalkannya.
Akan tetapi Ara yang merasa sakit seolah ribuan pisau menikam hatinya tetap diam.
"Raa aku gak akan bisa tanpa kamu" Ucap Chika, wajahnya memucat.
Ara menutup matanya dan menghirup udara dalam-dalam. Dia benar-benar tidak bisa membayangkan harus hidup dengan Chika yang seperti ini.
"Pilih, aku atau dia" Kata Ara sambil membuka kembali matanya dan menatap wajah pucat Chika.
"Aku gak bisa Raa, kali ini aja tolong ngerti"
"Aku udah sering ngertiin kamu. Kamu datang dan kemudian pergi selama tiga tahun, aku tetap ngerti dan ngasih kamu kesempatan. Tapi sekarang beda, aku gak bisa"
Ucapan Ara seperti panah beracun yang tertancap di dada Chika dan membuat luka segar.
Chika menyatukan kedua telapak tangannya dan dengan suara bergetar dia meminta maaf berkali-kali.
"Kali ini aja Ra, tolong maafin aku" Isak Chika.
Melihat wajah terluka Chika, dada Ara terasa sakit. Matanya kemudian beralih menatap kearah lain, dia yang tidak dapat membendung rasa kecewanya berjalan kearah meja rias yang terdapat di sana.
Ara menghela nafas panjang-panjang.
Prang!!!
Prang!!!
Prang!!!
Tangan Ara melempar apapun yang dapat di pegangnya ke lantai putih di bawahnya.
Suara-suara pecahan kaca yang beradu dengan lantai terdengar nyaring.
Chika yang melihat Ara melampiaskan kemarahannya ke benda-benda yang ada di kamar tersebut memilih untuk menutup telinganya.
Kedua tangannya yang bergetar dengan kuat menutupi daun telinganya, berharap tidak bisa mendengar suara barang-barang yang berjatuhan di sekitarnya.
Chika mengigit bibir bawahnya, dia sama sekali tidak peduli dengan rasa asin dan amis yang keluar di bibirnya.
Ara di sisi lain masih terus melempar apapun yang di sentuhnya. Setelah tidak mendapati barang apapun yang utuh dia dengan gelap mata meninju tembok di depannya beberapa kali dan meninggalkan luka retakan yang terbuka.
Darah dengan cepat mengucur dari tinju Ara ke lantai. Meski begitu dia sama sekali tidak peduli, rasa sakit di hatinya jauh lebih terasa daripada luka di tangannya.
Nafas Ara menderu kasar, dia yang kelelahan akhirnya terdudui dan bersender di tembok. Di kejauhan dia dapat melihat Chika yang menutup kedua telinganya dan menatap takut kepadanya.
"Kalau kamu gak bisa lepas dari dia terpaksa aku yang mengalah..." Gumam Ara dengan senyumnya yang tipis.