Chika tetap diam mendengar ucapan Ara. Dia sekali lagi ingin memohon tetapi permintaan Ara yang menginginkan kandungannya di gugurkan membuatnya diam seribu bahasa.
Ara yang melihat Chika tetap diam, menghela nafad panjang. Matanya kemudian menatap kearah punggung tangannya yang terluka.
"Udah selesai..."
Pelan-pelan Ara bangkit dari duduknya, dia kemudian melewati pecahan-pecahan kaca di lantai.
Ara terus berjalan ke arah luar, ketika melewati Chika dia diam sejenak. Diamatinya wajah Chika yang tetap diam, detik berikutnya dia kembali melangkah.
Chika yang menyadari Ara telah pergi sama sekali tidak berkutik. Raganya benar-benar lelah sekarang. Beberapa detik setelah Ara menghilang di tikungan tubuh Chika limbung dan berbaring di lantai.
Dari kejauhan Ara dapat mendengar suara isakan Chika yang menggema. Di anak tangga terakhir, Ara kembali menghentikan langkahnya. Dia sekali lagi menoleh ke atas, tangannya yang terluka kembali terkepal erat dan setelahnya dia melangkah pergi.
Ara terus berjalan dengan langkah tertatih-tatih. Ketika berada di pinggir jalan raya, dia meraih ponselnya dan menghubungi seseorang.
"Buat aku jatuh cinta ke kamu..." Lirih Ara setelah panggilannya terhubung.
Tidak ada sahutan yang terdengar di seberang. Ara yakin jika orang yang menerima panggilannya sedang shock sekarang.
"Kamu gak butuh waktu seumur hidup buat nungguin aku, sekarang adalah waktunya" Suara Ara tercekat, angin malam menerpa wajahnya dengan keras dan meninggalkan rasa teriris.
"Kamu di mana? Aku kesana sekarang"
"Hemm aku di xxx"
"Tuuutttt...."
Panggilan terputus secara sepihak, Ara sama sekali tidak marah. Dia kembali menyimpan ponselnya ke dalam saku celananya dan menunggu dengan tenang.
30 menit kemudian.
Sebuah mobil bugatti hitam perlahan menepi dan berhenti tepat di depan Ara.
Pintu mobil terbuka perlahan dan menampilkan Fiony yang berpakaian piyama.
Fiony menatap Ara dari ujung rambut hingga kaki, melihat Ara yang berantakan dan tangannya terluka dia berubah panik.
"Kamu kenapa?" Tanya Fiony cepat.
Ara tetap diam, akan tetapi manik matanya menatap Fiony dalam-dalam.
"Raa kampphhh-"
Ucapan Fiony terhenti ketika Ara dengan tiba-tiba mencium bibirnya.
Bibir Ara melumat bibir Fiony keras, dia bahkan membuat bibir merah Fiony semakin memerah.
Merasakan ciuman Ara kepadanya membuat mata Fiony membulat sempurna. Ini adalah pertama kalinya Ara mengambil inisiatif untuk menciumnya dan dia menikmati itu.
Fiony kemudian membalas ciuman Ara tak kalah kerasnya. Keduanya terus berciuman dan sama sekali tidak pedulj dengan keadaan di sekitar.
Di kejauhan beberapa orang yang melihat mereka berciuman diam-diam mengambil gambar keduanya.
"Bukannya itu anak pak walikota?"
"Jadi rumor itu benar?"
Setelah puas berciuman Ara melepas ciumannya dan kembali menatap Fiony.
Nafas Fiony menjadi tidak beraturan, dan semburat merah tergambar di pipinya yang menandakan jika dirinya sedang menahan rasa malu.
"Kita sebaiknya pergi"
"Tapi kemana?"
"Keapart aku.."
Fiony meraih salah satu lengan Ara dan menariknya masuk ke dalam mobil. Karena Ara sedang dalam kondisi yang buruk, maka dia sendiri yang menyetir.
Sepanjang perjalanan, wajah Ara terus menatap ke arah luar jendela. Dan dari ke waktu akan ada ekspresi sedih dan kecewa yang tergambar.
Fiony yang fokus menyetir sama sekali tidak memperhatikan perubahan raut wajah Ara. Meski begitu dia yakin jika saat ini hubungan Ara dengan Chika telah berakhir, dan sekarang adalah kesempatannya.
Selama Ara bersedia menghabiskan waktu dengannya dan menerimanya bukan tidak mungkin suatu saat nanti Ara akan membuka hatinya dengan tulus.
Dan untuk hari seperti itu Fiony akan melakukan apa saja.
Apa yang Ara dan Fiony tidak ketahui adalah, jika foto mereka berdua yang berciuman telah menjadi topik hangat di internet.
•••
Di kediaman Torres.
Chika terus menangis tanpa henti, hingga membuat matanya bengkak dan suaranya hilang.
Pelayannya yang sejak tadi diam-diam mengamati akhirnya memberanikan diri untuk masuk ke dalam kamarnya.
Dan ketika melihat Chika yang meringkuk di lantai dengan isakan lemah dia tanpa sadar berteriak.
"Nona! Nona, apa yang kamu lakukan!" Pelayan tersebut bergegas membantu Chika untuk duduk.
Chika yang tenaganya telah habis setelah menangis sangat lama tetap diam.
Pelayan tersebut yang melihat jika Chika tetap diam, dengan sekuat tenaga memapah tubuh Chika dan membaringkannya di atas kasur.
"Ara...dia dimana?" Tanya Chika dengan suara serak, matanya mengabur ketika melihat pecahan kaca yang berserakan.
"Saya tidak tahu nona"
"Cari dia di seluruh ruangan"
Mendengar perintah Chika, pelayan tersebut mengangguk patuh. Dia kemudian berjalan keluar dan meninggalkan Chika yang termenung sendirian.
Sepeninggal pelayan, Chika kembali bangkit.
Dengan langkah pelan dia mendekati pecahan kaca.
Ketika telapak kakinya yang halus menginjak pecahan kaca, dia hanya meringis dan berjongkok untuk melepas pecahan tersebut.
Darah segar dengan cepat mengucur keluar bersamaan dengan aroma amis.
Meski begitu Chika sama sekali tidak peduli, dia terus melangkah dan membersihkan pecahan kaca satu persatu.
Gerakan Chika terhenti saat melihat tembok di depannya. Ada noda darah kering di sana, dan Chika yakin jika itu milik Ara.
Dada Chika terasa sesak, butiran bening dengan cepat lolos dari mata cokelatnya.
"Bukan ini yang aku mau Raa..." Lirih Chika sedih.