Bubur Ayang

34 6 5
                                    

Nala ditemukan tak sadarkan diri oleh siswi osis, dua gadis itu langsung heboh berlari menuju ruang osis untuk meminta bantuan laki-laki yang berada di sana.

Nala langsung dibawa ke ruang UKS, sedangkan darah bekasnya dibersihkan oleh anak osis yang menjabat sebagai kebersihan sekolah.

"Dia Kak Nalara, 12 IPA 2. Pacarnya ka Septian," ucap seorang laki-laki yang beberapa kali sempat bertemu dengan Nala.

"Ini yang tadi nyanyi suaranya lembut banget itu, kan?" tanya gadis lain yang kini membantu temannya mengobati kepala Nala.

Laki-laki itu mengangguk. "Iya yang tadi nyanyi bawain lagu Maudy Ayunda."

"Kok bisa pingsan di toilet, ya? Mana ini sampe sobek gini lagi, untung aja nggak parah."

"Gue samperin temen sekelasnya aja, ya? Biar nanti pas sadar dia ada yang nemenin."

Ucapan laki-laki itu diangguki oleh kedua teman perempuannya yang kini mengobati Nala, setelah itu dia pergi keluar dari UKS.

"Kacamatanya patah lho, Jeng. Keknya dia kebentur keras banget," ujar seorang perempuan sambil mengangkat kacamata milik Nala yang terbelah menjadi dua dengan lensa yang percah berkeping-keping.

"Kayaknya bukan kebentur, deh. Lo liat lukanya di belakang kepala kan? Nggak mungkin yang kebentur belakang kepala yang patah kacamata sampe kayak gitu."

Brakk

Pintu UKS terbuka dengan kasar, Septian beridiri di sana dengan nafas ngos-ngosan dan raut wajah khawatir.

"Laa bangun, Laa," rengek Septian sambil memegangi kedua tangan Nala, membuat kedua siswi ber jas osis itu memberi ruang untuk kakak kelasnya.

"Jangan tinggalin gue, La. Kita belum nikah," rancau Septian membuat kedua adik kelasnya saling tatap.

"Laa, please jangan tinggalin gue dulu. Kita belum belum nyobain tidur seranjang." Bahkan kini Septian mengeluarkan air matanya. Ia menangis.

"Kaa," panggil salah satu siswi berjas osis itu.

"Apa?" sentak Septian. "Kalian diem dulu, gue belum selesai mertapi kepergian Nala."

Farel dan Dewi yang baru saja sampai dan mendengar ucapan Septian langsung terdiam membeku di depan pintu.

"Ka Nalanya nggak meninggal ko, Ka. Dia cuma pingsan," cicit gadis berjas osis itu.

Septian langsung berdiri tegak, ia menghapus air matanya dengan kasar lalu menatap kedua siswi itu dengan tajam. "Kenapa kalian nggak bilang dari tadi anjir!"

Farel dan Dewi refleks menghembuskan nafas lega. Mereka langsung menghampiri blangkar Nala dan berdiri di sampingnya.

"Kronologisnya gimana? Kok bisa sampe kayak gini? Padahal tadi dia pamit cuma mau ketoilet," ucap Dewi pada dua anak osis yang berdiri di sana.

"Nggak tau yang pastinya gimana, Ka. Soalnya tadi pas ditemuin udah pingsan di toilet sama kepala belakangnya ngeluarin darah, cuma sobekannya nggak dalem jadi nggak perlu di bawa kerumah sakit," jelas salah satu anak osis itu.

"Ini kacamatanya?" tanya Farel memungut serpihan kacamata itu dari atas nakas samping blangkar.

"Iya, Ka. Sebenernya rada nggak masuk akal kalo Ka Nala kebentur keras di belakang kepalanya tapi kacamatanya sampe ancur kayak gitu."

"Pasti ada yang mau celakain Nala secara sengaja," dengus Septian emosi.

Tak lama setelah itu, mata Nala mulai terbuka sedikit demi sedikit. Tangannya terangkat untuk menghalangi cahaya yang masuk ke retinanya.

VIRTUAL, Isn't it? {COMPLETED}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang