Free Wi-Fi

33 7 3
                                    

Café bergaya klasik dengan dinding yang dominan berwarna cokelat itu kini dipenuhi oleh para remaja. Mereka saling bercanda satu sama lain sambil menikmati minuman dan makanan yang tersedia di sana.

"Tempatnya bagus nih buat foto tahunan," celetuk Farel sambil mengamati bangunan café. Terakhir mereka ke sini memang café itu belum se-estetik sekarang, malah sepertinya beda jauh dengan bangunan yang dulu.

Septian mengangguk setuju. "Boleh, Rel. Emang temanya mau apa?"

Bela mengangkat tangan membuat semua fokus beralih pada gadis berkuncir dua itu. "Password Wi-Fi-nya apa?" tanya Bela pada Septian.

Semua orang tertawa. Padahal mereka pikir Bela si fashionable itu akan mengusulkan ide, ternyata justru bertanya Password Wi-Fi setelah melihat tulisan 'Free Wi-Fi' yang menggantung di kaca.

"Hadeuhh, tanya si Mbak sana. Gue nggak tau," ujar Septian. "Dasar mata Wi-Fi-an," decaknya lalu kembali mengalihkan pandangan pada Farel untuk membicarakan lebih lanjut tentang foto tahunan.

"Mending temanya mafia aja, keren." Dewi mengusulkan.

Nala terkikik. "Mana ada mafia di café."

Yang lain mengangguk setuju. Benar kata Nala, mana ada mafia di café se-estetik ini?

"Hehe, yaudah temanya CEO yang lagi ngopi aja," kekeh Dewi yang kembali mengusulkan ide.

Bela yang baru saja kembali ke mejanya setelah menanyakan Password Wi-Fi langsung menggeplak Dewi. "Dasar korban wattpad!"

Mereka tertawa melihat Dewi yang kini mengerucutkan bibirnya kesal. Di otak gadis itu memang hanya terdapat cerita-cerita mafia, CEO, duda kaya raya, sugar daddy, dan fiksi-fiksi kaya lainnya.

"Password Wi-Fi-nya apa, Bel?" tanya Nala setelah Bela duduk.

"Gue kira Bela doang yang mata free Wi-Fi-an. Ternyata pacar gue juga," kekeh Septian lalu mengacak rambut Nala. Membuat gadis itu dengan cepat menyingkirkan tangan Septian dari kepalanya.

"Passwordnya '1-8'," ujar Bela.

Tiba-tiba semua orang langsung mengambil ponsel mereka dan mengetikkan password yang Bela sebutkan tadi, hanya Septian yang tidak mengambil benda pipih itu untuk menconect-kannya ke Wi-Fi.

"Kalian semua sama aja ternyata," cibir Septian.

Farel tertawa. "Lumayan Sep, ada fasilitas kenapa nggak digunain."

"Tapi, ya, Rel. Daripada temanya CEO yang lagi ngopi, kenapa kita nggak pake tema pelayan aja?" usul Galih yang kembali membawa arah percakapan mereka ke tema foto tahunan.

Para ciwi langsung memggeleng tidak setuju. "Nggak mau lah, kurang berkelas kalo temanya jadi pelayan," protes Milla setelah menelan kentang gorengnya.

"Temanya jadi orang nggak bener aja lah, ribet amat," kesal Juanda.

Farel melemparkan potongan kentang goreng ke arah Juanda. "Itu mah bukan tema, Jing. Itu mah hidup lo sekarang," ucapnya berhasil memgundang tawa mereka.

Juanda ikut terkekeh sambil menggaruk-garuk kepala belakangnya.

"Jadinya mau tema apa? Ada usul lain?" tanya Farel.

"Temanya jadi barista aja? Kan jarang-jarang tuh," ucap seorang wanita paruh baya yang berjalan ke arah mereka dengan membawa nampan berisi cemilan. Dia mamanya Septian.

"Eh, Ma," sapa Septian lalu menyalimi tangan wanita paruh baya itu, yang lain ikut menyusul Septian untuk menyalimi mama dari laki-laki yang mereka kenal gila.

"Mama baru dateng, kalian udah lama?"

Farel menjawabnya dengan gelengan kepala. "Belum lama, Tan."

"Gimana café-nya? Nyaman?" tanya mama Septian pada teman anaknya itu.

VIRTUAL, Isn't it? {COMPLETED}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang