Hari pertama ujian Nala merasa semuanya berjalan begitu lambat dan berat. Seakan beban yang Nala pikul bukan hanya tentang nilai yang harus sempurna, tapi juga ketidakberadaan Ardana yang membuatnya tak bisa membagi semua hal berat itu.
Dengan gontai Nala melangkah keluar dari ruang ujian, sebelum pulang ia mampir lebih dulu ke kantin sekolahnya sekalian menunggu ayahnya menjemput. Nala butuh sesuatu yang pedas agar pening di kepalanya sedikit hilang.
"Bu Makroni baskernya satu, pedes banget, ya," pesan Nala pada penjual macaroni basah dan kering.
Sudah lama sekali rasanya Nala tak mengunjungi kantin untuk jajan seperti sekarang. Karena biasanya, ada Ardana yang kadang tiba-tiba mengirimkan Nala makanan yang laki-laki itu pesan di go-food.
Hah, Ardana. Sejak laki-laki itu menghilang semangat belajar Nala juga ikut surut. Tapi karena tertantang oleh nendanya yang selalu merendahkan Nala, gadis itu tetap belajar dan mengenyahkan rasa malasnya. Mengesampingkan masalah hatinya yang sedang tidak baik-baik saja.
Setelah menerima satu kantong makaroni yang Nala pesan, gadis itu membayarnya dan duduk di kursi yang tersedia di kantin, sekalian menanyakan kepada ayahnya masih berada di mana pria beranak satu itu.
"Tumben jajan di kantin?"
Farel yang sepertinya baru keluar dari ruangan ujiannya langsung duduk di kursi yang berhadapan dengan Nala.
"Mau?" tawar Nala yang dibalas gelengan kepala oleh laki-laki itu.
"Gimana hari pertama menurut lo? Gampang?" Farel bertanya sambil mengeluarkan botol minum dari dalam tasnya.
"Gampang kalo lo belajar."
"Alahh Laaa, gue udah belajar tapi soal ujiannya masih susah!" Tiba-tiba Septian bergabung. Laki-laki itu duduk di samping Nala di susul Bela dan Dewi yang duduk mengapit Farel.
"Emang lo belajarnya gimana?" tanya Bela pada Septian, rasanya ia tak percaya jika semalam Septian belajar untuk ujian.
Septian mengeluarkan satu bukunya dari dalam tas. Laki-laki itu membukanya secara acak lalu menyimpan bukunya di atas kepala dengan seluruh catatan mengarah ke rambutnya.
"Gue belajar sampe ketiduran di posisi gini," ujar Septian heboh.
"Tapi bukunya nggak lo baca?" Farel menaikkan kedua alisnya.
"Nggak lah, di giniin aja sampe gue bisa mimpi kalo gue baca senua materinya." Septian menjawab dengan enteng.
Plakk
Casing ponsel milik Bela mendarat tepat di kening lebar milik Septian.
"Bodoh! Apa-apaan belajar di mimpi?!" amuk Bela. Ia tak mengerti lagi bagaimana jalan pikir Septian.
Mereka tertawa dengan lepas di sana. Kecuali Dewi. Sejak duduk di kantin dia belum mengeluarkan sepatah kata pun.
"Lo kenapa, Dew?" tanya Farel setelah berhenti tertawa.
"Uwooo!" Dewi berlagak muntah sambil menutup mulutnya dengan tangan kanan.
"Lo sakit?" panik Nala.
"Gumoh gue, kekenyangan sama soal ujian yang nggak gue ngerti sama sekali. Pusing pala gue." Dewi memegangi kepalanya dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya memegang dada bagian kiri. "Jantung gue rasanya mau resign dari kerjaannya setelah liat soal-soal di luar nalar tadi."
Mereka sontak tertawa terbahak-bahak melihat Dewi yang seperti itu. Sejak kelas 10 Dewi memang tidak tergolong perempuan pintar, ia masuk ke kelas IPA 2 saja karena sedang hoki.
KAMU SEDANG MEMBACA
VIRTUAL, Isn't it? {COMPLETED}
Teen FictionMasa-masa ujian, masa-masa pusing dengan berbagai macam tugas, masa-masa sibuk mempersiapkan UTBK, dan tentu saja masa-masa butuh support system. Lalu Nalara dipertemukan dengan Ardana, seorang laki-laki virtual di sebuah grup try out yang ia masuki...