Calon Mertua

30 7 4
                                    

Pagi ini Nala bangun dengan semangat. Memorinya tentang semalam masih ia ingat dengan jelas membuat moodnya naik 180° dan senyumannya tak turun barang satu senti pun dari bibir.

Bagaimana tidak, semalam Ardana mengajak Nala jalan-jalan melihat kota Samarinda. Meskipun virtual, tapi laki-laki itu tak kehabisan akal untuk membuat Nala bahagia.

"Anggap aja lo duduk di samping gue, ya, Ra," ujar Ardana semalam saat laki-laki itu menyimpan ponselnya di sandaran jok samping pengemudi, sedangkan ia duduk di jok pengemudi dan menjalankan mobilnya dengan tenang. Menunjukan setiap sudut keindahan kota Samarinda di malam hari pada Nala hingga pukul 10 malam.

"Berangkat bareng sama Ayah, ya, La. Sekalian pagi ini ada jadwal ketemu sama patner bisnis di café deket sekolah kamu." Ucapan ayah Nala menyambut gadis itu saat ia duduk di meja makan.

"Siap, Ayah Bos!" Nala memberikan sikap hormat pada ayahnya.

Keluarga kecil itu menikmati hidangan sarapan pagi ini dengan damai. Menyantap nasi putih dan telor ceplok yang ibu Nala siapkan.

Nala menghubungi Ardana setelah meminum susu cokelat yang ibunya buat. Memberi tahu laki-laki itu jika pagi ini Nala tak perlu dipesankan gojek karena akan berangkat bersama ayahnya.

Setelah selesai sarapan dan mengenakan sepatunya dengan benar, Nala menyalimi tangan ibunya dan berangkat ke sekolah bersama ayahnya. Nala memeluk pinggang ayahnya dengan erat dan menempelkan kepalanya pada pundak sang ayah. Motor matic hitam yang kini keduanya naiki selalu menjadi saksi bisu kedekatan Nala dengan sang ayah yang mampu membuat beberapa orang menatap iri kepadanya.

Ingatan Nala jadi terlempar pada ucapan Belia saat gadis itu menjambak Nala di toilet beberapa hari yang lalu. Gadis itu menganggap hidup Nala begitu sempurna karena memiliki keluarga utuh yang menyayanginya. Padahal tanpa Belia tau hubungan Nala dengan keluarga dari pihak ibunya tidak pernah membaik.

Motor yang dikendarai ayah Nala berhenti di depan gerbang sekolah Nala, bersamaan dengan munculnya Motor sport milik Septian yang ikut berhenti saat melihat Nala.

"Selamat pagi Nalara Agnessia," sapa Septian dengan manis. Lalu dia beralih untuk menyalimi tangan ayah Nala. "Pagi Om calon mertua," ucapnya tanpa tahu malu.

Kening ayah Nala mengerut, sedangkan tatapan dongkol Nala sudah menghujami Septian sejak laki-laki itu menghampirinya.

"Ini anaknya Aldo, kan?" tanya ayah Nala setelah Septian menyalimi tangannya.

"Iya, anaknya papa Aldo."

"Pacar kamu, La?" Ayah Nala menatap anaknya.

Jelas Nala langsung menggelengkan kepalanya. "Bukan, Yah."

"Nalanya masi malu-malu Om calon mertua."

Plakkk

Nala menggeplak punggung Septian dengan sekuat tenaga. "Nala bilang juga apa, anak temennya Ayah nggak ada yang waras," kesal Nala.

Ayah Nala justru terkekeh. "Ayah malah seneng kalo kamu pacaran sama anak temen Ayah, La. Nggak usah malu-malu, Ayah restuin ko."

Septian langsung bersorak senang dan melompat. Setelah itu ia buru-buru menyalimi Ayah Nala dan mengecup tangan pria paruh baya itu bolak-balik. "Makasi atas restunya om calon mertua, makasih."

"Ayahhhhhh ihhhhh," rengek Nala tak terima.

Ini bukan yang Nala harapkan. Kenapa ayahnya justru membela Septian sih? Rasanya Nala ingin memukuli ayahnya sekarang juga.

"Nanti mau pake adat apa, La?" tanya Septian sambil menaik turunkan kedua alisnya.

Nala mendelik kesal. Ia menyalimi tangan ayahnya lalu berbalik untuk masuk ke dalam gerbang sekolah tanpa mengatakan apapun lagi.

VIRTUAL, Isn't it? {COMPLETED}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang