C.21

58 6 5
                                    


"Silvia," panggil seseorang membuat si empunya nama menoleh.

"Darren?! Kok lo bisa ada di sini?" tanya Silvia pikirnya rumah Darren emang bukan dekat sini.

Dia menjabat tangan Silvia dan memeluknya sekilas, tapa menyadari jika tatapan Valka seakan ingin membunuhnya hidup-hidup.

"Kebetulan lagi di rumah mama, terus disuruh beli bahan dapur," ujar Darren.

Silvia pun manggut-manggut. "Oh, gimana kabar tante Alin sama om Leon?" tanyanya basa-basi.

Sementara itu Valka sedang menunggu kapan berakhirnya cepika-cepiki antara Silvia dan Darren, dia melirik arlojinya sekilas dan mendapati jam sudah berubah cepat sekali menjadi pukul 3 sore.

Berarti sedari tadi Valka hanya menemani Silvia berbelanja selama 2 jam-an, lama sekali dan begitu membuka laman pesannya. Banyak notifikasi pekerjaan yang bermunculan.

Valka baru akan menekan salah satunya, tapi panggilan lebih cepat mendahului jarinya. Tampak nama 'Dean.' di monitor.

"Sayang, aku terima telpon dulu ya," pamit Valka pada Silvia kemudian menjauh untuk menerima panggilan itu.

Gak sejauh jarak lapangan, Valka hanya melangkah beberapa jarak yang tak begitu jauh dari istrinya itu.

Silvia tersipu, mukanya menjadi merah semu dia langsung mengerjapkan mata. Berusaha untuk tetap tenang saat Darren sedang menatapnya hendak bicara.

"Sil, lo udah punya pacar?"

"Pacar? Haha! Bukan, dia suami gue," jelas Silvia dengan jujur.

Seketika Darren terhenti dengan topik pembicaraannya, Valka terlihat masih sibuk dengan telponnya.

"Serius? Kok gue ga tau kabar lo udah nikah ya," ujar Darren tak percaya. Gimana mau ngundang, Silvia aja melakukannya dengan penuh paksaan dari kedua belah pihak.

"Bukan apa-apa kok, emang yang diundang cuma keluarga aja. Temen-temen yang datang paling cuma dua atau tiga," ucap Silvia.

"Ah, begitu ya."

Setelah perbincangannya selesai dan mengucapkan perpisahan untuk Darren, karena dia bilang akan pergi ke London besok hari. Silvia pun memutuskan untuk melihat keadaan Valka, yang benar saja cowok itu justru menghilang.

"Aduh, mana sih ini orang malah ngilang," gerutu Silvia kesal.

Dengan sabar dia menunggu di tempat yang sama, satu jam lewat. Tapi Valka masih belum muncul, lama-lama Silvia bosan dan memutuskan untuk berkeliling mencari barang yang ingin dia beli. Sekalian mencari ke mana Valka pergi.

Padahal dia lihat Valka cuma berduri ga jauh darinya, tapi tiba-tiba aja ilang. Entah ke mana dia. Silvia sesekali celingukan, udah kayak mau nyuri sesuatu aja. Mbak-mbak SPG juga lirikannya mulai sinis ke Silvia.

"... Pak, cuma gara-gara yang tadi terus bapak gak balik ke kantor? Padahal bentar lagi ada meeting loh."

Samar-samar Silvia dengar percakapan seseorang, kayak pernah dengar suara wanita itu. Silvia pun mendekat ke sumber suara, dan benar aja dia menjumpai Valka di sana sedang berbincang dengan wanita.

Tapi gak terlihat jelas mukanya, karena tertutup oleh punggung Valka. Gadis itu melangkah lebih dekat mencoba mencari tahu siapa wanita yang berbicara dengan Valka.

"Apa kamu tidak mendapat informasi dari Dean? Cewek kayak kamu ini masih belum sadar juga?"

"Valka?" panggil Silvia padanya lalu beralih pandang pada wanita di hadapannya. Ternyata Elma.

"Si-Silvi, syukurlah lo ada di sini."

Silvia mengernyitkan dahinya. "Ngapain lo di sini sama suami gue?" tanyanya pada Elma sedikit ketus.

"Gini, Sil. Tadi Val--maksud gue Pak Valka sama gue berdua di ruang--"

"Elma! Jaga ucapan kamu," desis Valka menjaga nada bicaranya karena mereka sedang berada di keramaian sekarang.

Silvia maju selangkah, tatapan matanya tajam berkilat-kilat mengarah pada Elma. "Gue tau kita teman, tapi itu dulu. Sekarang gue anggap lo sebagai teman, apa lo ga bisa manfaatin kesempatan yang udah gue kasih ke lo?" tanyanya serius.

Valka memerhatikan kedua wanita tersebut, merasa ada sesuatu di masa lalu bagi Silvia dan Elma.

"Gue gak ada niatan seperti yang lo pikirkan, Sil. Gue tuh cuma bilang ke pak Valka kalau gue suka sama dia." Elma jujur, memang dia berkata sejujurnya. Namun di balik itu semua, walaupun peran Silvia hanya berlandaskan perjanjian kontrak pernikahan. Tapi dia tetaplah istri dari seorang Valka Benino.

"Suka?" lirih Silvia lalu beralih pandang pada Valka, cowok itu hanya diam membungkam. Mungkin saja mereka saling suka. Silvia menoleh lagi pada Elma, lalu memperbaiki poninya. "Kalau suka, kalian pasti udah nikah menggantikan gue di pelaminan satu tahun yang lalu, 'kan," lanjutnya.

"Ck," decak Elma pelan.

Valka menghampirinya dan merapatkan tubuhnya. "Mulai besok dan selamanya, jangan datang ke kantor lagi--atau saya akan menuntut kamu," ancamnya.

Silvia mengaitkan tangannya ke lengan Valka. "Ayo, kita pergi dari sini. Aku udah gak ada mood buat belanja," ajaknya pada Valka dengan embel-embel aku-kamu.

Setelahnya keduanya benar-benar pergi, meninggalkan Elma yang mematung di sana menatap geram sejoli itu.

***

Malam tiba, Silvia baru selesai masak hidangan untuk kunjungan bundanya setelah setahun gak ketemu. Perasaan rindu dan senang bercampur aduk.

Silvia mendapati Valka sedang bersandar pada pilar sambil memainkan ponsel, dan sebelah tangannya dimasukkan ke dalam saku celananya.

Orang kaya mah santai, mau kerja atau gak nggak duitnya ngalir terus kayak lagu river. Serius banget natap layar ponsel sampai istrinya dianggurin, walaupun istri kontrak.

"Ekhem!" deham Silvia yang hendak mengangkat panci panas menggunakan sarung tangan oven.

Dia memberi kode, syukur-syukur dapat bantuan. Tapi ini tidak dapat sahutan sama sekali.

"... Halo? Iya, bagian proposal udah siap? Oke, akan aku cek email-nya, thanks," tutup Valka pada sambungan teleponnya.

"Duh, pancinya ga mau diangkat... Andai ada yang angkatin panci ini," monolog Silvia dengan nada yang meninggi mencoba cari perhatian.

Dan ya! Valka menoleh ke arahnya, lalu menghampiri dia setelah memasukkan ponselnya ke dalam saku celana.

"Kenapa?" tanya Valka.

"Ini kayaknya panci masih panas, Jadi gue ga bisa angkat. Tapi kalau kelamaan nanti setupnya bakal dingin, bunda chat katanya udah mau sampe," jelas Silvia panjang lebar.

Valka menghela napas. "Kalau mau minta tolong tuh bilang, pake kode-kode an segala," cibirnya lantas mengambil alih posisi memasak Silvia.

Dengan tampang cengo nya, Silvia minggir dan cukup puas memperhatikan Valka. "Cih, dasar valak," decihnya.

Pria itu pun mengangkat panci berisi setup mendidih tersebut memakai oven mitt, hingga memperlihatkan urat kekar tangannya. Silvia tanpa sadar menelan salivanya kasar, lalu menggelengkan kepalanya berulang kali.

Valka yang melihat tingkah anehnya itu pun menoleh. "Lo kenapa?" tanyanya heran.

"Ah, enggak kok bukan apa-apa."

Baru akan menyiapkan set makan malam, tiba-tiba bel berbunyi.

'Ding. Dong!'

Silvia menghentikan langkahnya. "Biar gue aja yang buka," ucapnya lalu melepas celemek dan berjalan menjauh meninggalkan Valka dengan setup makaroni yang telah matang.

Bersambung...

Aftertheless | JAYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang