C.23

25 6 3
                                    

Hubungan Silvia dan Naya itu udah kayak saudara sendiri, Silvi yang bilang. Tapi hubungannya sama Valka itu kayak macan dan kucing.

"Heh Valak, ini sarapan udah gue buatin kenapa gak diambah?" tanya Silvia dengan mengerucutkan bibirnya.

"Ga enak, masakan lo kek telur busuk," ujar Valka sambil menekuk mukanya dengan ekspresi jijik.

Tampilan masakan yang Silvia hidangkan itu terdapat tomat yang terlalu matang, lalu tumis telur yang sudah ambyar kemudian ada pula daging fillet yang sudah tercampur rata. Ditambah banyaknya kecap yang tumpah ke dalam masakan itu. Baunya sedap, bercampur bau gosong tak terkira.

"Dih, kok ga ngehargain gitu sih. Gue cape masak buat lo, dimakan dong," protes Silvia tak setuju.

"Gue mau makan di luar aja," putus Valka langsung beranjak memakai hoodie-nya dan menyambar kunci motor di atas nakas.

"Sombong amat! Nabrak kucing baru tau rasa!" seru Silvia mengutuknya.

Valka berlalu, dan menghilang di balik tikungan dinding. Menyisakan Silvia di dapur dengan masakan yang masih mengepul. Gadis itu menatapnya sendu, memilih untuk meletakkan teflon ke atas kain dan membersihkan sisa peralatan yang dia pakai tadi.

***

Sebuah kafe alakadarnya, di pusat kota dan kelihatannya baru opening. Valka memperlambat laju motornya begitu melihat keramaian di ujung sana, pelan dia melajukan kendaraannya hingga sampai tepat ke depan restoran kecil itu. Valka membuka kaca helm-nya. Dia segera menepi untuk parkir, dan membuka helm-nya.

"Selamat datang di ACIA Cafe...," sambut seorang pegawai.

Valka tak menghiraukannya memilih untuk segera masuk dengan waajah datarnya, kedua tangan masuk ke dalam kantung hoodie. Udaranya agak dingin karena ini musim hujan, dan setelah masuk ke dalam malah terasa gerah. Pria tersebut memilih tempat duduk dan memutuskan melepas hoodie yang ia pakai demi kenyamanan, setelahnya ia memesan sebuah menu untuknya.

"One rice egg  and double cheese hamburger, please," pesan Valka tanpa menoleh.

"Baik, pesanan akan diproses kurang lebih lima belas menit. Silakan menunggu sejenak, terimakasih," ucap pelayan itu.

"Thanks," ucap Valka lalu mendongak untuk mengembalikan kertas menu yang dia pegang.

Seketika ia mematung dan menatap tajam ke arah waiters tersebut. "Elma?" gumamnya.

"Pak Valka," balas Elma pelan. Ingatan sebelumnya tentang momen memalukan itu terlintas, mengaku ingin mengungkapkan perasaan pada Valka padahal sejatinya dia gak sanggup untuk menyingkirkan Silvia.

"Kamu ngapain kerja di sini?"

"Ehm itu sebenarnya--"

"Elma! Meja nomor 15 mana pesanan!"

"Oh, sebentar ya Pak, saya harus kerja dulu. Nanti kita ngobrol lagi," pamit Elma kemudian berlalu menjauh.
Valka menatap nanar punggung memakai rompi hitam itu.

Setelah makan, Valka menuju ke meja kasir dan membayar tagihannya. Kemudian ia menuju ke pintu keluar, dan berpapasan dengan Elma lagi tampak wanita itu berpeluh keringat dan lengan bajunya sedikit kusam. Mungkin habis angkat sampah ke belakang, pikir Valka.

"Selesai jam berapa kamu nanti?" tanya Valka melunak.

"Ehm, jam enam sore Pak."

Valka lantas menengok arlojinya, memastikan waktunya tak terbuang cukup lama untuk mengobrol dengan wanita yang satu ini. "Oke," katanya lantas berlalu meninggalkan Elma di tempat.

Wanita itu hanya menatap heran mantan bosnya itu dan kembali masuk setelah dipanggil rekan kerjanya lagi.

Dua jam lewat, Silvia cukup bosan berada di dalam rumah. Dia sudah satu minggu cuti karena ingin memantau kondisi bundanya di rumah sakit. Semalam ia mendapat panggilan lagi karena bundanya harus dirawat intensif kembali.

"Argh, bosen banget diem di rumah gini. Mana tumis telur yang gue masak rasanya kek makanan basi, sial banget," gerutu Silvia lantas bangun dari posisi rebahan menjadi posisi duduk, dia mengedarkan pandangannya ke sudut ruang tamu. Ternyata luas juga buat ditinggali berdua.

'TingTong!'

Silvia menoleh ke arah pintu, terdengar suara bel. Dia beranjak dari sofa dan melangkah menuju sumber suara. Perasaan dia gak pesan apapun dai kurir Pisho salah satu marketplace ternama.

'Ceklek!'

"Morning baby girl!" sapa Kevin yang tiba-tiba nongol.

"Yaampun, Vin! Bisa gak sih kalo mau dateng tuh wa dulu kek SMS kek telfon atau minimal kirim paket dulu," cerocos Silvia padanya.

"Kirim paket? Lo pikir gue kurir Pisho, gue tau lo lagi badmood. Jadilah gue ke sini," kata Kevin.

Silvia manggut-manggut. "Bagus deh, dengan lo ke sini mood gue meningkat dan jadi pengen sesuatu," ujarnya.

"Pengen apaan tuh?" Kevin penasaran.

"Pengen cabut nyawa lo, biar lo terbang ke langit ke tujuh," timpal Silvia kesal sambil menoyor jidat Kevin pelan.

Kevin pun menatap Silvia ngeri. "Lo kemasukan ya?" tanyanya.

"Iya! Hihihihi!" sahut Silvia sambil ketawa meniru suara mbak kunti yang sering dia dengar lewat TV.

"Sil, jangan becanda ya gak lucu," rintih Kevin.

"Ya lo juga gak lucu, mana ada anak mafia takut sama hantu. It's because you are a coward," cibir Silvia.

[It's because you are a coward : Itu karena kamu penakut]

"Enak aja, dibilang penakut. Inget ya dulu siapa yang bantu ngusir kodok di kamar mandi?" elak Kevin.

"Itu sih Raka bukan lo ya, jangan ngaku-ngaku deh." Silvia terkekeh.

"Kampret banget si Raka pake jujur segala," gumam Kevin masih dapat didengar oleh Silvia dengan jelas.

"Udah-udah, lo mau masuk apa mau di luar aja?"

"Masuk dong," kata Kevin langsung nyelonong masuk ke dalam dan menjatuhkaan tubuhnya ke sofa yang empuk itu di ruang tamu.

"Btw, lo gak dateng sama Naya?"

"Enggak lah, ngapain gue ajak si cerewet itu," tolak Kevin padanya.

"Heh cerewet gitu juga temen kita tau, jangan sampe gue rekam kata-kata lo terus gue share ke Naya," ancam Silvia.

"Gampang aja, gue tinggal sewa hacker buat hapus data kesayangan di hp lo," ujar Kevin tak mau kalah.

"Kesayangan apa sih," ujar Silvia menciba mengalihkan pembicaraan.

"Si Valka-valka itu?" celetuk Kevin sedikit mengingat namanya.

"Itu bukan kesayangan gue kok, dia tuh cuma suami gue," kata Silvia membenarkan.

Kevin menaikkan sebelah alisnya. "Cuma? Emang hubungan kalian sependek apa?" tanyanya memancing respon Silvia.

Dengan raut kaget dia menyadari kesalahan kalimat yang telah dia ucap barusan, itu membuat rasa penasaran Kevin semakin meningkat. Laki-laki itu segera curiga dengan masalah Silvia. "Enggak-enggak gitu maksud gue, y-ya gue sama Valka e-emang suami istri... tapi rasa sayang gue yang paling besar cuma ke bunda," ujar dia sekenanya.

Kevin manggut-manggut paham. "Oh, jadi rasa sayang lo ke Valka belum besar?" tanyanya lagi.

"Lo tau gue sama Valka itu langsung nikah buat nurutin wasiat ayah, dan sampai sekarang gue harus tinggal serumah sama Valka. Gue juga ga bisa nolak perasaan itu, jadi lo paham lah gimana perasaan gue saat ini." Silvia mengatakan isi hatinya membuat hati Kevin seakan tertusuk lebih dalam lagi dibandingkan yang ia rasa tahun-tahun kemarin.

Ingin Kevin berkata cukup! Tapi dia tak mampu, dia memajukan wajahnya menatap lekat-lekat wajah Silvia.

Bersambung sayang

Aftertheless | JAYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang