07 - Surat pertemuan

11 4 0
                                    

"Orang yang sering menatap langit adalah orang yang lemah. Biasanya mereka melakukan itu untuk menghentikan air matanya jatuh"

------------------------------

"Dia mengirim surat secepat ini? Para putraku masih belum matang untuk menghadapi perang" timpal Dhoren kala perlahan membuka amplop surat dengan lambang kerajaan Amartha.

Setelah membacanya, Dhoren tertawa keras seakan tidak menghargai surat itu. "Apa yang ia inginkan dengan bertemu denganku?" Ucapnya dengan tawa ledekan.

"Siapkan hidangan jamuan makan siang dua hari ke depan, juga sampaikan pada mereka bahwa aku menerima ajakannya" perintah Dhoren sembari mulai meredakan tawanya.



Dimeja makan yang sangat megah itu semua berkumpul dengan wajah murung. Terdapat tiga kursi kosong yang tidak diduduki siapapun.

"Dimana adikmu, Gernio?" Ujar Dhoren sebelum semua mulai menyantap makanannya.

"Dia ke pasar pemukiman untuk menemui gadis yang ia kagumi itu ayah" jawab Gernio dengan tutur yang sangat sopan.

Dhoren menghela nafas panjang.
"Nikmati makanan kalian, kita tidak perlu menung-"

"Pagi ayah..." Sapaan itu berasal dari pintu masuk istana yang tak lain adalah Levaron. Semua dimeja makan menatapnya yang kala itu sedang menuju ke meja makan.

Dhoren menatapnya sinis karna tak pernah sekalipun mendengarkan ayahnya itu. Saat Levaron duduk di kursinya, semua kembali fokus pada makanannya masing-masing.

Kerajaan memiliki etika yang sangat sopan. Saat makan, mereka sama sekali tak boleh mengeluarkan suara dan harus menghabiskan makanan utamanya tanpa sisa.



Charles perlahan terbangun dengan kepala yang pusing dan pandangan melayang-layang. "Syukurlah... Kau sudah bangun!!" Seru Floyd yang langsung mendekat pada Charles.

Pangeran Nastira itu mendorong tubuh Floyd menjauh darinya saat mencoba duduk dari posisinya yang terbaring.

"Hey dengar... Aku tidak memasukan apapun dalam minuman itu! Lihat lihat ini" timpal Floyd yang langsung mengambil gelas teh milik Charles dan meminumnya.

"Lihat! Tidak terjadi apa-apa" sambungnya setelah menelan minuman buatannya itu.

Charles tampak penuh amarah mulai meraba-raba sekitarnya mencari sesuatu. "Mana pedangku?!" Tanyanya dengan nada tinggi.

"Aku menyimpannya..." Jawab Floyd menjauh dari Charles yang seakan ingin menerkamnya. Pangeran itu mulai mengeledah rumah orang asing itu untuk mencari pedangnya.

Floyd mengikutinya dibelakang berusaha membuat pangeran itu percaya. Saat memasuki dapur, Charles berdiri diam didepan kompor rebusan air memegang sebuah daun.

Pangeran itu berbalik menghadap Floyd dan memperlihatkan daun itu. "Kau memakai ini untuk membuat teh dan berkata kalau kau tidak melakukan apapun?!" Geram Charles dengan wajah benar-benar marah.

"Tunggu... Itu hanya pemanis, apa yang salah dengan itu? Aku selalu menggunakannya setiap membuat teh" tutur Floyd terus menjelaskan kalau dia tidak bersalah.

"Kau pikir bisa membodohiku? Ini daun dari tanaman Damiana dan ini digunakan untuk campuran anggur!"

Floyd memasang wajah heran saat mendengar itu. "Ya itu memang tanaman Damiana tapi aku tidak pernah merasakan efek mabuk selama memakainya dalam membuat teh. Sepertinya ada salah paham disini..." Ungkapnya sedikit tenang.

Charles mencoba mempercayai pria itu lagi. "Maksudmu kau selalu mengonsumsi ini tanpa mabuk?" Pintanya terheran-heran.

"Iya... A-aku memanfaatkan kandungan manisnya sebagai gula dalam teh buatanku" jelasnya lagi. Charles mulai tenang karna tatapan pria itu tak memperlihatkan niat buruk sedikitpun.

Charles perlahan berjalan kembali menuju ruang depan dan duduk ditempat ia terbangun. Pangeran itu menatap gelas teh yang sudah hampir habis di atas meja didepannya.

Charles lalu mengangkat kepalanya. "Sebenarnya juga aku tidak peduli jika harus mati sekarang... Tidak ada lagi yang harus aku jaga, bahkan rakyatku sendiri yang mengusirku dari negeri itu" pintanya termenung dengan wajah putus asa.

"Bukannya kemarin kau menolak untuk menceritakan tentang hidupmu padaku?" Floyd mengangkat alisnya pada pangeran Charles.

Dengan wajah datar Charles menjawabnya sembari menurunkan pandangan ke lantai. "Percaya pada orang yang tinggal serumah denganku sepertinya bukan hal yang buruk" katanya.

Mendengar itu Floyd menebar senyum lebar dan langsung ikut duduk disebelah Charles. Tangannya melingkar pundak Charles dengan senyum bahagia.

"Kau benar akan tinggal disini? Wahh sudah lama sekali aku kesepian disini tanpa siapapun..." Ujarnya girang.

Charles mengerutkan keningnya dengan senyum kecil. "Kenapa begitu senang? Ini artinya sekarang akan ada aku yang akan merepotkan mu?"

"Tidakk!! Tidak akan..." Jawabnya cepat...

Dengan sekejap, suasana kembali cair dan tenang. Semua kesalahpahaman dengan mudah mereka pecahkan.

Tanpa disangka-sangka, seorang pangeran terhormat dari sebuah kerajaan besar sekarang hidup bersama dengan orang asing di daerah minim penduduk.



Dihalaman belakang kerajaan, Alice sedang menjemur kain tirai gorden kerajaan yang biasa dicuci sekali dua hari. Dibawah terik matahari dan kicauan burung-burung dari pepohonan tinggi yang tumbuh dibelakang kerajaan itu.

Lalu seekor anak anjing kecil datang menghampiri gadis itu dan mulai bermain dibawah kaki Alice. Sontak ia berteriak keras dan berlari menjauh dari hewan lucu itu.

"Chester! Hey..." Teriak Hans kala berlari dan mengambil peliharaannya itu.

"Maaf... Ini anjingku, dia tak sengaja terlepas dari rantainya" jelas sang pangeran setelah membuat seorang gadis menjerit.

"T-tidak... Pangeran, maafkan aku. A-aku akan lanjut bekerja" pinta Alice gugup dengan pandangan kebawah. Hans memperhatikan gadis itu dengan saksama, lalu memasukan anjing itu kembali ke kandangnya.



"Ada hal mendesak apa ayah?" Pertemuan malam itu dimulai oleh Gernio yang sangat tegas akan posisinya sebagai pangeran.

Semua pangeran saling menatap satu sama lain menunggu sang raja berbicara. Tampaknya seperti sesuatu yang sangat serius.

"Pertama...Besok, Ibu kalian-"

"Ibu dari putra kesayangan ayah, Ravien. Lebih tepatnya... Bukan ibuku" potong Arvand dengan nada sarkas dan sorot mata tajam pada Ravien yang duduk didepannya.

"Berhenti mencoba memancing amarahku, Arvand..." Timpal Dhoren yang mulai terbawa emosi.

"Arvand tolong, ini pertemuan penting. Kau tidak lihat menteri kerajaan juga hadir dalam ruangan ini?" Bisik Gernio disebelahnya.

Saat suasana sudah kembali hening, Dhoren melanjutkan kalimatnya.

"Ratu Gistara kalina Athanasra, akan kembali ke istana esok hari. Dan lusa, akan ada jamuan makan siang yang akan dihadiri oleh tamu jauh kita. Crisstan" Ujarnya menghadap semua orang di ruangan itu.

Semua memasang wajah terkejut. Menteri kerajaan yang mendengarnya kembali memastikan. "Maksudmu Amartha?! Mereka akan kesini? Jangan katakan kalau perang akan terjadi"

"Tidak tuan menteri... Hanya pertemuan secara damai. Yaa mungkin bisa dibilang pertemuan antara sahabat lama" Titah Dhoren dengan senyum tipis menghadap menteri.

------------------------------

To be continued...

The NastiraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang