Turun dari mobil. Mengamati rumah megah dihadapnya dengan sorot mata yang sulit untuk diartikan. Dasya berfikir sudah mengetahui semuanya tentang permainan ini ternyata hanya bagian pembuka saja.
Menghalau pikiran itu, berlari kecil sembari menenteng koper.
"Mama!" Teriaknya tepat didepan pintu. Suara Dasya bahkan menggema karena sangking besarnya rumah itu atau mungkin disebut mansion?
Terlihat dua orang berbeda kelamin datang menghampiri dengan senyum manis yang terpatri. Merentangkan tangan, mempersilahkan Dasya untuk merengkuh tubuhnya. Dengan senang hati Dasya menerima pelukan itu.
"Mama kangen banget sama kamu, Nak." Ungkap Vio sendu, bahkan air mata tidak bisa tak jatuh dari matanya.
Hening. Dasya tak menjawab, karena terlalu larut dalam kesenangan yang tak bisa dibendung.
"Kamu disana baik-baik saja, kan?" Suara dingin penuh kekhawatiran itu menyeruak. Dasya otomatis menoleh ketempat dimana Papanya berada, Vero.
"Dasya baik-baik saja tetapi ini sangat sakit, Pa." Jujur Dasya. ia takut jika tidak kuat menampung semua sendirian kemudian menjadi gila.
"It's okay. Papa nggak bakal bilang semua akan baik-baik saja. Tapi Papa pastikan kamu nggak bakal sendirian, Ada papa."
Untuk sejenak, Dasya termenung. Baru kali ini Dasya mendengar kalimat mengharukan keluar dari mulut Papanya, mengingat biasanya Vero akan bertindak dingin.
"Terimakasih." Ucap Dasya diakhiri senyum paling manisnya.
"Udah-udah kenapa jadi melow sih? ini kan hari bahagia." Vio berucap demikian untuk mengalihkan pembicaraan.
Dasya memberengut kesal dipelukan Mama-nya. "Pokoknya nanti kalian harus ceritain secara rinci kejadian sebenarnya." Vio dan Vero kompak mengangguk.
******
Keesokan hari. Dasya sudah siap dengan pakaian modis juga elegan yang sangat pas ditubuhnya. Ia berencana akan menghabiskan waktu untuk berkeliling Roma pada hari ini.
Sebelum itu, Dasya menyempatkan izin kepada kedua orang tuanya terlebih dahulu.
"Bodyguard papa bakalan nemenin kamu." Seru Vero kepada putri satu-satunya.
Dasya menggeleng keras, tentu ia akan menolak tawaran itu mentah-mentah, "Nggak usah, Pa. Dasya sendirian aja. Lagi pula Dasya cuman mau jalan-jalan keliling kota aja. Nggak jauh-jauh amat kok." Bujuk Dasya.
"Tapi—"
"Udah ya, Dasya mau berangkat." Dasya langsung lari tanpa mendengar kalimat persetujuan dari Vero dan Vio terlebih dahulu.
Dia berjalan menuju garasi dengan raut muka bahagia. Rencananya, dia sebentar lagi akan memborong semua pizza dikota. Pada dasarnya memang perempuan bermata tajam itu maniac pizza.
Tanpa ia sadari. Sendari tadi aktivitasnya diawasi oleh seseorang disebrang sana. Ralat, bukan sendari tadi melainkan dari pertama Dasya menginjakan kakinya kekawasan rumah ini.
Mata tajamnya tak pernah teralihkan dari ipad barang sedetik pun, seolah apa yang ia tonton sangat menarik dan berharga.
"Lihatlah, bahkan seluruh dunia saya lawan hanya untuk membela gadis ini." Lelaki itu memutar ipad-nya kearah bodyguard. Seolah menunjukkan bahwa cintanya kepada Dasya bukan cuman sekedar omong kosong belaka.
"Tugas untuk kalian! Ikuti dan pantau gadis saya. Jangan tledor. Jika kalian melihat dia berinteraksi dengan pria, seret dia!! bawa kembali pulang." Perinta ditunjukan kepada kedua bodyguard yang sendari tadi berdiri didepan meja kerjanya.
Kedua bodyguard itu mengangguk dengan kaku, kemudian melangkahkan kaki keluar. Mereka menebak jika sampai mereka membuat kesalahan pasti bayarannya adalah nyawa.
"Kamu tidak akan pernah bisa untuk pergi dari ku, Sweetheart~"
Setelah berucap demikian, Terlihat sorot penuh ambisi dan posesif yang ia tunjukan. Sudah cukup dirinya bertahan beberapa waktu ini untuk jauh dari gadisnya.
Kali ini, tidak lagi.
Ketakutan-ketakutan jika Dasya akan meninggalkannya kini ia pastikan tidak akan pernah ada lagi. Karena sekarang Dasya sudah berada pada dekapanya.
Dasya akan tetap bersamannya entah itu dengan suka rela atau paksa. Dasya akan tetap berada dalam jangkauannya, sekarang, nanti dan selamanya.
Gadisnya akan selalu bersamanya. Tidak ada yang akan berhasil memisahkan mereka termasuk Takdir.
"Pena yang lebih dahulu menulis takdir. Sekarang aku yang akan mencoba menghapusnya."
*****
Sudah beberapa jam berlalu setelah ia pulang dari aksi healing-nya di Roma, Perempuan itu melempar dirinya secara asal keranjang. Netra Zamrud itu seperti bola kristal yang indah karena terpantul cahaya lampu.
"Kok gue ngerasa ada yang aneh, Ya?" Gumamnya.
Satu nama terlintas bebas diotak. Aksara. Kenapa nama dia? Karena sesuatu yang tidak masuk diakal akan menjadi nyata jika hal itu bersangkutan dengan Aksa, Lelaki yang dengan sukarela menghantam dirinya dengan kehendak Tuhan hanya untuk membelanya, Dasya.
Tiba-tiba matanya memberat. Kantuk menyerang, bukan hal aneh mengingat perempuan itu mungkin lelah karena menghabiskan waktu berkeliling kota.
Pintu yang semua terkunci, kini terbuka. Menampilkan seorang lelaki jakun dengan balutan jas hitam ditubuh proposalnya. Pernampilanya sangat berbeda dengan beberapa waktu lalu. Mungkin kebanyakan dari mereka akan merasa pangling.
Aura yang semula doniman dan hitam kini malah tambah pekat.
Melangkahkan kakinya dengan hati-hati, Mengingat kini diranjang ada putri tidur yang sedang bekelana dalam mimpi.
Melonggarkan dasinya, membuka Jas lalu membuangnya asal. Dengan pasti, lelaki itu merebahkan diri disamping Dasya. Merengkuh pinggang gadisnya dengan penuh kerinduan.
"Sayang~ ayo nikah." Ucapnya asal. Jujur dirinya sangat gemas dengan Dasya. Kenapa ngedapetin perempuan yang satu itu sangat susah?
Menghirup aroma rambut Dasya dalam-dalam. Sangat, sangat rindu.
"Good night." Setelah berucap demikian, ia ikut bersama Dasya menyelam kealam mimpi.
____________
Tembusin 300 coment! untuk next
KAMU SEDANG MEMBACA
AKSARA [END]
FantasyBercerita tentang tokoh utama yang terobsesi dengan wanitanya