2-Tamu Menyebalkan

596 15 0
                                    

°°°
Tak pernah ada rasa benci, hanya sekedar sakit hati kecil dan itu bukan alasan untuk berhenti mencintai.

°°°

Hari yang indah dengan suasana sore  begitu cerah, di padu langit yang akan berganti warna dari biru terang menjadi oranye berkilau di atas sana. Ada tiupan angin merusak rambut perempuan yang selama sepuluh menit berdiri gelisah di depan sebuah rumah bercat krem seraya bersandar tipis pada pilar yang di selimuti keramik cokelat terang bercorak.

"Aduh, Asya teremor."

Ia meneguk saliva dikit lalu mondar-mandir dilema. Harusnya Asya sejak datang sudah mengetuk pintu rumah Gallan tetapi ia sampai sekarang masih sangat ragu. Ralat, lebih tepatnya ia—takut.

Pintu terbuka secara tiba-tiba membuat ia langsung tersentak kaget. Jantung Asya berdetak cepat, ia pikir itu Gallan namun ternyata seorang wanita berumur  40 tahun keluar dengan senyum baik di wajahnya.

"Asya?" sapa wanita yang selalu di panggil Bunda itu. "Dari kapan kamu di sini? Atuh masuk aja, Sya."

Tersenyum kikuk, Asya menyelipkan sejumput rambut ke belakang daun telinga. Ia cengengesan saja seperti orang bodoh. Tangannya langsung terulur menyerahkan paperbag pink yang ada puding di dalamnya.

"Apa ini?" Bunda belum menerima.

"Puding, Bun. Untuk Bunda."

Bunda malah tersenyum selidik. Ia menilik Asya dulu sebentar dan berucap. "Untuk Bunda atau Gallan?"

"Ga—Untuk Bunda dan Gallan," kata Asya tegas.

Perempuan itu tersipu kala Bunda tertawa kecil lalu meraih lengan Asya mengajak sang gadis untuk masuk.

"Kasih Gallan aja, Bunda udah kenyang."

Bunda itu wanita paling peka. Paling baik sejagat raya. Ia tahu Asya menyukai anak tunggalnya sejak lama. Tapi Bunda selalu mendukung, menyemangati Asya. Bunda tak pernah marah atau melarang Asya mendekati Gallan.

"Bun! Ngapain ada dia sih di sini?!" Gallan marah. Ia kesal kala melihat batang hidung Asya ada di rumahnya. Hari minggu Gallan seketika rusak.

"Hus, gak boleh kayak gitu, Asya dateng baik-baik, Ko. Papa sama Bunda nggak pernah ajarin Ala ngomong kaya gitu."

Gallan berdecak pelan, sedangkan Asya mesem-mesem sendiri karena senang setiap kali orang tua Gallan memanggilnya 'Ala' karena itu terdengar—menggemaskan.

Bunda pamit masuk kamar dengan senyum manis pergi meninggalkan Asya bersama Gallan. Perempuan itu berdeham, duduk langsung dekat Gallan.

"Gallan lagi ngapain?"

"Mikir mau bunuh lo pake cara apa!" kecam Gallan membuat Asya berjingkrak.

"Ih Gallan tolol," Asya ngegas saking sebalnya.

Cowok yang memakai celana buntung itu mendelik makin kesel mendengar kalimat Asya yang memaki dirinya.

"Mulut lo!"

"Apa?" kata Asya agak angkat dagu. "Lagian mau bunuh Asya. Gila kali,"

Menahan napas lalu mengembuskan dengan kasar. Gallan mengacak rambut putus asa.

"Anjinglah! Gue benci banget kalo ada elo, Asya babi!"

Asya tak mengidahkan cacian Gallan barusan, perempuan itu justru malah mengeluarkan sekotak puding dari yang ia beli kala menuju ke sini. Asya memberikan makanan penutup dengan rasa manis asam itu pada Gallan dengan tulus.

GALLANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang