E m p a t p u l u h s a t u

80.6K 9.5K 3.7K
                                    

Besok akan ada karya karsa!!

Cerita ini akan tamat sebentar lagi! Jangan lupa berikan kenangan yang terbaik untuk mereka ❤️💕

Selamat membacaaa

🥀🥀🥀

Kacau. Semua kacau, hancur dan berantakan. Bian menenangkan diri di kamar tamu milik keluarga Anya, sedangkan Oliver kembali ke kamarnya.

Anya masih di kamarnya dengan hati yang remuk. Sedangkan Joilin? Masih seperti biasa. Dia hanyalah anak berusia 5 tahun yang tidak mengerti apa-apa tapi keadaan memaksanya dewasa.

Gadis kecil itu menggambar di sebuah buku gambar yang dibelikan oleh engkongnya. Ia tiduran di atas karpet bulu yang letaknya ada di ruang keluarga, sendirian.  Rumah yang kemarin ramai itu kini menjadi sepi. Dan Joilin tidak perlu bertanya hal apa yang menyebabkan rumah hangat itu mendadak menjadi sepi.

"Joilin cantik, lagi gambar apa sayang?" Nenek menghampirinya dengan suara lembut. Joilin bisa melihat dengan jelas merahnya mata sang nenek dan juga hidungnya yang memerah. Pasti nenek habis menangis.

"Joilin gambar keluarlga bahagia, nek."  Ujarnya dengan semangat. Matanya melengkung, menampilkan sebuah harapan besar dalam benaknya.

Joilin masih kecil tapi ia sudah bisa mengerti bagaimana perasaan orang di sekitarnya.   Mungkin memang umurnya masih lima tahun, tapi Joilin sudah tau bagaimana caranya menutup telinga dari semua perkataan orang jahat di luar sana.

***

Bina masih tertunduk di dalam kamar tamu.  Pikirannya terlampau kalut akibat kejadian barusan. Ia mengusap wajahnya kasar. Berkali kali mengumpat dirinya sendiri akan semua hal yang terjadi dalam hidupnya. Kesialan macam apa lagi ini?!

Bina mencari ponselnya, setelah menemukan benda pilih itu, dia mencari satu kontak di sana, lalu menekan panggilan, menunggu dengan tidak sabar sampai panggilan itu terangkat.

"Baik, pak. Ada apa?"

"Siapkan penerbangan saya ke Singapura besok."

"Sepertinya besok bapak tidak punya jadwal kunjungan kerja ke negara tersebut."sahut wanita di seberang sana.

"Kamu saya gaji untuk melaksanakan perintah saya. Bukan bertanya tanya hal lain." Titah Bian dengan suara tegasnya, membuat wanita di seberang sana hanya bisa menggumam sebelum menutup panggilan telepon.

Bian butuh waktu. Ia butuh menenangkan diri dari segala kekacauan yang sudah terjadi, atau dirinya akan kembali hancur seperti dulu. Sebelum semua kembali terjadi, Bian butuh waktu.

Ia akan pergi, meninggalkan kota ini, negara ini, Joilin, dan tentunya wanita yang kini mengisi hatinya, Anya.

***

Anya menutup tubuhnya menggunakan selimut sampai batas kepala. Hatinya terluka, semua tentang Bian berhasil menyakitinya dengan begitu dalam. Ternyata wanita masa lalu tetaplah pemenangnya, sekalipun wanita itu tidak akan pernah muncul kembali di hadapan Bian, tapi sosok itu dengan kurang ajar berhasil menghancurkan semua kebahagiaan miliknya dalam sekejap.

Tok tok tok!

"Anya,"

Suara Bian terdengar memanggil dari luar pintu kamar. Tapi Anya enggan untuk menanggapi. Ia lebih memilih untuk menutup tubuhnya dengan selimut. Mendengar pria itu memanggil namanya bukannya malah memunculkan rasa rindu, tapi malah rasa sakit. Anya terlampau kecewa dengan semua hal ini.

Bian sadar bahwa Anya telah kecewa.  Dia juga sama sakitnya dengan Anya. Bian ingin memberitahu istrinya, ia harus pergi untuk sebentar,  menenangkan semua, agar dirinya tidak lagi hancur. Menjadi seorang bajingan dan juga pengecut seperti lima tahu silam.

"Anya, kita harus bicara." Bian berusaha mengetuk pintu kamar Anya, namun tetap tidak kunjung terbuka. Bian menarik nafas panjang. Pada akhirnya ia membalik badan, berjalan menjauh dari pintu kayu tersebut. Ini adalah keputusan Anya, dan biarlah ia menghargai keputusan istrinya itu. Sekarang dia harus bertemu anaknya.

Di ruang tengah, ada Joilin yang tertawa bersama mertua perempuannya. Pria itu memberi senyum miris pada mertuanya yang membalasnya dengan senyuman hangat.

"Joilin, papa kamu." Mami Anya mengelus punggung Joilin lembut, membuat gadis kecil itu menoleh ke belakang.

Bibir Joilin tersenyum lebar ketika melihat Papabi berjalan ke arahnya dengan senyum mengembang.  Gadis kecil itu bangkit dan berlari memeluk kaki Papabi.

"'Papabi! Kita puyang cekalang?" Tanya Joilin sembari memeluk leher Bian.

"Joilin tinggal disini sama mama Anya, atau mau ikut Papabi?" Tanya Bian.

Pertanyaan seperti ini yang berhasil menyadarkan Joilin kecil, bahwa sampai kapan pun ia tidak akan pernah memiliki kedua orang tua yang utuh. Ikut papa atau mama? Joilin tidak bisa memilih keduanya.  Kenapa Joilin harus di suruh memilih? Bukannya itu menyakitkan? Seharusnya Papabi tau, bagaimana perasaannya. Tapi lagi lagi, Joilin tetaplah bocah kecil yang akan mengangguk iya iya saja.

"Joilin, ikut Mama Anya." Tutur gadis kecil itu dengan mata berkaca kaca. Ia berusaha merangkul erat leher Papabi, agar Bian tidak bisa melihat jejak air mata yang baru saja ia usap.

Bian tersenyum. Ia mengelus punggung kecil anaknya. Mengecup kepala sang anak dengan lembut. "Papabi pulang dulu, ya. Kamu disini sama Mama Anya. Papabi akan jemput kamu kalau Mama Anya. Minta di jemput,cantik." Ujar Bian dengan lembut.

Joilin mendongak, menatap Papabi dengan mata bulatnya. "Kapan Papabi?" Tanya gadis kecil itu.

Bian tersenyum lebar. "Makanya, bujuk Mama Anya biar maafin Papabi ya, sayang." Itu ucapan terakhir Bian sebelum ia mengangkat kaki dari rumah mertuanya, meninggalkan gadis kecilnya untuk pertama kali dengan orang lain, sekaligus istri yang berhasil membuatnya jatuh cinta dengan begitu dalam.

Pengecut. Mungkin itu kata yang pas untuk seorang Fabiano Ghibran. Tidak peduli apa yang sedang terjadi,  Bian tetaplah Bian yang akan kabur jauh ketika ia merasa hancur. Termasuk ketika ia meninggalkan Nana tepat setelah semua hal terbongkar. Sekalipun istrinya sedang dalam masa sekarat.

Kini, semua terulang. Bian hanya butuh waktu dari semua luka yang menganga dalam hatinya. Butuh waktu panjang untuk menyembuhkan semua, merawat anak yang bukan darah dagingnya dengan penuh cinta.  Terbayang bayang oleh wajah istrinya yang mengajak anaknya untuk ikut pergi bersamanya ketika di dalam mimpi selama bertahun tahun juga bukan hal mudah.

Bian butuh ketenangan. Singapura. Adalah tempat yang pernah Bian kunjungi untuk berobat. Dan ia akan kembali ke sana, menenangkan diri sampai batas waktu itu tiba.
Entah untuk berapa lama.  Yang jelas Bian butuh waktu.

🥀🥀🥀

Bagaimana dengan chatyter ini?

Sebenarnya semua sama terluka sih.. doakan keluarga mereka tidak karam!!

Menurut kalian, siapa yang paling terluka disini? Dan apa alasannya?

Span komen next 500 disini

Spam komen lanjut 500 disini

Spam komen Bian 500 disini

Spam komen Anya disini 500 disini

Bad Duda [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang