"Jennie, kapan kau akan membawa kekasihmu ke rumah ini? Kalian sudah berpacaran sudah cukup lama, apakah dia tidak ada niat sedikitpun untuk menikahimu?"
Kim Jennie lantas menghelakan napasnya yang cukup panjang kala mendengar pertanyaan sang ibu di pagi hari.
Tidak terhitung, sudah berapa kali kedua orang tuanya meminta kepastian soal hubungan dirinya yang sudah terjalin sangat lama.
"Eomma mu benar, apakah kau tidak ingin seperti sahabatmu itu yang sudah menikah?" Timpal sang ayah yang membuat Jennie semakin gelisah.
"Aku akan mencoba untuk mengatakan pada nya hari ini, eomma, appa." Balas Jennie singkat lalu mengelap sudut bibirnya menggunakan tissue.
"Ayo, Ella kita berangkat." Sambungnya menatap sang adik yang hanya sibuk menikmati sarapan paginya dan di temani oleh layar ponsel yang sedang menyala menampilkan film spongebob.
Ella memutar kedua bola matanya dengan jengah. "Ini masih terlalu pagi, eonnie."
"Baiklah terserahmu saja kalau begitu, kau bisa naik bus sendiri." Ujar Jennie yang beranjak dari kursi makannya.
Ella berdecak sebal sambil mendengus dan menghentakan kedua kakinya. "Arrasseo.. arrasseo, eonnie yang menyebalkan!"
Tidak ada komentar dari mulut Jennie yang biasanya langsung berteriak jika adiknya mencemooh dengan kata-kata yang tidak sopan.
Mungkin karena kedua orang tuanya baru saja menyinggung perihal hubungannya, membuat mood nya hancur berantakan.
Kedua gadis bermarga Kim itu lantas berpamitan kepada kedua orang tuanya untuk segera berangkat menjalani aktifitasnya masing-masing.
.
.
.
Dengan napas yang terengah dan satu kantong plastik berwarna putih di tangannya, Jennie terus melanjutkan langkahnya untuk menaiki setiap anak tangga.
Dia berhenti ketika dirinya sudah tiba di depan sebuah kamar kontrakan yang hanya berukuran 3×4, satu tangannya terjulur memegang knop pintu dan melepas kedua sepatu sandalnya sebelum akhirnya dia memutar knop pintu itu dan memasuki kamar itu.
Kedua matanya langsung tertuju dengan sang kekasih yang masih mendengkur di atas kasur lantai lipat.
Jennie menghelakan napasnya, ia berjalan membuka gorden bermaksud agar sinar matahari pagi dapat memasuki kamar sang kekasih dan dapat membantu sang kekasih untuk bangun dari tidurnya, namun yang terjadi, sang kekasih justru sama sekali tak terusik dari tidurnya.
Lantas Jennie tak memiliki pilihan lain, dia membungkuk sambil membuka selimut tipis yang menutupi tubuh sang kekasih.
"Bukankah hari ini kau ada test interview?" Jennie membangunkan dengan nada yang sangat lembut.
Sang kekasih hanya mengerang dan membalikan badannya memunggungi Jennie.
Jennie memijat pelipisnya, inilah yang ia lakukan setiap pagi sebelum berangkat kerja, dia harus mengantar sarapan ke kontrakan sang kekasih setelah itu ia membereskan kamarnya dan setelah semuanya selesai barulah dia berangkat menuju kantornya, ini sudah tujuh tahun ia lakukan untuk sang kekasih yang sangat dia cintai.
"Aku akan memberimu waktu sepuluh menit lagi, setelah itu aku akan kembali membangunkanmu." Ujarnya kembali dan memilih untuk merapikan kamar kontrakan sang kekasih yang sudah seperti kapal pecah, dengan telaten dia menyapu, membuang bekas sampah serta mencuci piring, dia melakukannya tidak lebih dari sepuluh menit.
Dia membuka meja lipat kecil lalu menata makanan yang sudah ia bawa sejak tadi, lalu dia kembali untuk membangunkan sang kekasih yang sama sekali belum terusik.
"Sudah cukup tidurnya, kalau begini terus, bagaimana kau bisa mendapat kerjaan?" Jennie berucap dengan nada yang masih sangat lembut, dia tidak ingin menyinggung perasaan sang kekasih.
Ya, mereka telah lulus sekolah dari enam tahun yang lalu, mereka sudah menjalin hubungan dari mereka beranjak kelas tiga high school, Jennie bahkan sudah bekerja di perusahaan milik sahabatnya selama enam tahun lamanya, sedangkan sang kekasih sama sekali belum pernah kerja dari semenjak dia lulus sekolah.
Hal itu terpaksa yang membuat Jennie harus menanggung segala biaya kehidupannya selama ini, karena sang kekasih sudah di usir dari rumah karena keluarganya berpikir bahwa dirinya tidak berguna sama sekali, dan sekarang dia hanya memiliki Jennie di hidupnya yang masih setia melakukan banyak hal meski Jennie juga harus bekerja keras untuk menghidupi keluarganya sendiri.
Sang kekasih mulai mengerjap dengan kesal, dia duduk dari ranjangnya dengan kedua mata yang masih tertutup serta rambut yang berantakan. "Sudah ku bilang bahwa interview itu pasti gagal lagi, Jennie-ya! Aku tidak ingin mencoba nya lagi!" Sentaknya dengan nada tinggi.
Seperti itulah cara bicara sang kekasih bila dengan Jennie, awal mulanya hubungan mereka memang terbilang manis, namun sudah tiga tahun belakangan ini, Jennie merasakan bahwa sikap sang kekasih semakin dingin bahkan selalu memarahinya yang membuat kemanisan itu perlahan menghilang.
"Tidak ada salahnya kau mencoba, jika gagal kau bisa mencobanya lagi, jangan pernah bosan untuk mencoba dari pada kau tidak mencobanya sama sekali, kau tidak akan tahu hasilnya nanti." Jennie membalas dengan lembut.
Kekasihnya terkekeh. "Masih pagi, tetapi kau sudah membuatku muak." Ujarnya yang segera beranjak dari ranjangnya lalu mengambil handuknya dan mengalungkannya, akhirnya dia memasuki kamar mandinya meski dengan perasaan kesalnya.
Jennie hanya bisa menarik napasnya lagi, kepalanya menggeleng kecil lalu dia memutuskan untuk merapikan tempat tidur yang baru saja di gunakan kekasihnya untuk tidur itu.
----
Cerita sederhana & lebih kaya realita kehidupan, berharap di setiap cerita ada hal positif yang bisa kalian petik.
Cek it out.
---
KAMU SEDANG MEMBACA
'SEVEN YEARS' (JENLISA GXG)
Romance"Bagaimana caraku untuk bahagia?" -Kim Jennie & Lalisa Manoban