Aku termenung di depan kolam ikan sekolah yang berada di pinggir lapangan dengan posisi jongkok.
Setelah istirahat makan siang selesai, waktunya kelasku untuk berolahraga di saat cuaca sedang terik. Aku sampai lupa memakai sunscreen sebab memikirkan omongan ngawur Gilang saat istirahat tadi.
"Kamu ngapain, Nau?"
"Mau nangkep ikan," jawabku asal.
Sebenarnya, kalimat itu ada benarnya juga. Posisiku saat ini sedang mengobok-obok kolam ikan mini yang biasa dijadikan tempat anak-anak berteduh selagi menunggu giliran pengambilan nilai olahraga. Ada beberapa ikan mas kecil yang menghiasi area kolam, juga kura-kura di ujungnya.
Rika dan Selly memilih untuk tak acuh akan pekerjaanku dan duduk di bagian pojok, meninggalkanku sendiri bersama para ikan dan kura-kura.
Jujur, kalimat yang dituturkan Gilang saat istirahat tadi begitu menggangguku hingga sekarang. Saat ini, cowok itu sedang melakukan pengambilan nilai basket dengan sangat Gilang—malas, lesu, lemah, lunglai, dan sebagainya. Bukannya aku memperhatikan anak itu, sih. Tetapi memang sejak dulu tabiatnya seperti itu. Untung saja dia tertolong sebab otak encer dan wajah ganteng.
Lagi-lagi aku menampar pipiku sendiri.
Mikir apa, sih?
"Hai teman, titip tanganku, ya," kataku pada ikan-ikan seraya kembali mencelupkan tangan ke dasar kolam.
Seolah tersengat, aku kembali mengingat potongan adegan tatkala Gilang mengatakan kalimat yang sangat ... sangat ... ah, aku tidak bisa menyebutkannya, bahkan dalam hati. Jadi, aku memilih untuk mengangkat kembali tanganku dari air setelah memprotes, "Dasar kalian nggak berprike-Naura-an."
"Apa gunanya sih ngomong sama ikan?"
Suara itu datang tanpa permisi dari belakang, membuatku yang sedang berjongkok di pinggir kolam menjadi tidak imbang dan nyaris tercebur. Aku menoleh dan mendapati Gilang yang sudah berdiri santai di belakang dengan posisi menahan bajuku.
"Soalnya ikan nggak toksik," jawabku asal.
Bola mata Gilang berputar singkat, kemudian mengarah padaku yang sudah menepis tangannya secara paksa.
"Harus banget?"
Aku mengangguk cepat, lantas kembali memandang kolam dengan lesu. "Sana, kamu pergi. Aku lagi haid, bawaannya nggak mood."
Gilang menghela napas, seolah berbicara denganku membutuhkan banyak kesabaran. "Aku cuma mau mastiin kalau kamu nggak lagi mikirin omongan aku tadi."
"Aku nggak lagi mikir apa-apa," kilahku. Jemariku kembali bermain di atas permukaan air kolam yang jernih.
"Bagus, deh," kata Gilang, membuat gerakan jemariku di atas air terhenti. "Karena ada hal yang jauh lebih penting buat kamu pikirin daripada itu."
"Emang iya." Lagi pula, untuk apa juga aku memikirkan perkataan Gilang yang mengatakan kalau dia su ... su ... ah, aku tidak bisa mengulanginya.
"Lagian aku cuma bercanda," tuturnya lagi, membuatku kontan menoleh ke arahnya.
"Beneran?" Aku memastikan. Gilang masih berdiri di depan kolam ikan dengan lempeng. "Beneran cuma bercanda, kan?"
Dia mengangkat bahu dengan lempeng. "Menurutmu?" Kemudian berbalik dengan bertumpu pada tungkai kurusnya. Setelah itu, si cowok jenius melengos begitu saja meninggalkanku.
Aku berusaha mengejar Gilang dengan tangan setengah basah dan menyenggol lengannya dengan bahuku. Setelah atensi si cowok jenius terfokus padaku, aku membalikkan tubuh ke arahnya dan berjalan mundur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Accismus (VERSI REVISI)
Teen Fiction"Kotak pos belum diisi mari kita isi dengan isi-isian, siapa yang kena harus terima tantangan!" * Aku Naura, murid biasa-biasa saja yang menyukai Sena, teman sekelas super-famous dalam diam. Tapi karena sebuah permainan konyol yang menyuruhku menyeb...