5 ✿ Sebuah Konsekuensi

531 110 20
                                    



Petuah Gilang tentang matahari dan bulan tadi pagi sukses membuatku kepikiran.

Saat ini, aku sedang duduk di kelas dengan menopang dagu. Abai akan pelajaran yang sedang diterangkan Pak Hari mengenai geografi dan semacamnya. Mataku sibuk memonitor gerak-gerik Prita yang duduk di posisi paling depan, baris kedua dekat pintu. Gadis itu masih sama anehnya, berpakaian tidak rapi dan sebagainya.

"Baik, kalau begitu Bapak mau tanya sama Naura."

Samar-samar, suara Pak Hari memasuki runguku, namun tidak sampai ke otak. Hal ini disebabkan nalarku sibuk mencerna berbagai informasi yang kuterima kemarin malam dan tadi pagi. Soal Prita, Sena, dan mungkin juga Gilang. Ucapan si jenius itu tadinya kupikir hanya angin lalu. Namun, aku baru sadar kalau aku sudah memikirkan perkataannya sebanyak lebih dari sepuluh kali. Membuat mulutku tak henti menggumamkan kata 'matahari' dan 'bulan'.

"Coba, Naura. Tolong jelaskan apa saja indikator negara maju dan negara berkembang!" pinta Pak Hari. Namun, yang terdengar dalam telingaku adalah:

"Coba jelaskan apa saja yang ada di dalam tata surya!"

Maka, barang tentu aku menjawab, "Matahari dan bulan."

Aku seperti mendengar suara tawa dari sekelilingku, tapi mungkin itu hanya perasanku saja sebab fokusku masih pada Prita yang bergeming dan tidak tertawa.

"Matahari dan bulan, ya ...," ulang Pak Hari yang kujawab dengan anggukan pelan. "Kalau begitu, orbit mana yang terdekat dengan matahari?"

Aku melamun begitu mendengar pernyataan Pak Hari yang mengingatkanku akan petuah Gilang.

Orbit terdekat, ya?

Sejauh ini, orbit paling dekat dengan matahari—alias Sena—hanya satu, dan itu adalah, "Prita."

Selang satu sekon dari jawabanku, bahu Prita tersentak. Ia kini menolehkan kepala ke arahku dengan pandangan bingung. Aku langsung gelagapan sebab ketahuan mengawasi Prita dari kejauhan. Buru-buru aku mengerjapkan mata dan duduk tegap menghadap depan.

Di ujung sana, tampaklah Pak Hari sedang berdecak pinggang sambil berwajah masam, disertai banyak kerutan di dahinya. Aku meneguk, baru kemudian menyadari fakta bahwa kini seisi kelas sudah sibuk menertawakanku.

"Prita, ya ...," ulang Pak Hari dengan geraham tertutup.

Kurasa aku sudah salah memilih lawan.

"A-anu, Pak. I-itu. Maksudnya—"

"Kamu lagi mikirin apa, sih?"

"Nggak mikirin apa-apa, Pak. Saya cuma lagi—"

"NAURA MIKIRIN GILANG, PAK!"

"—mikirin Gilang, Pak."

"...."

"...."

Sebentar.

Apa yang kubilang barusan?

"...."

"BAHAHAHAHAHAHAHA."

Mataku membelalak dengan kedua telapak tangan kugunakan untuk menyumpal mulut. Suara tawa teman-teman menggelegar ke penjuru ruangan, memberikan kesan horor untukku seorang diri. Butuh waktu sekian detik untukku mencerna apa yang baru saja kuucapkan pada Pak Hari akibat celetukan bodoh Sena yang menyeret nama Gilang saat aku sedang bicara.

Ini pembodohan! Aku? Mikirin Gilang? Yang benar saja!

Aku akan lebih setuju kalau aku Pak Hari bilang bahwa aku memikirkan tentang matahari dan bulan, dan itu sama sekali bukan Gilang!

Accismus (VERSI REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang