14 ✿ Esensi Pertemanan

478 97 13
                                    


Setelah kejadian itu, Gilang tak lagi menunjukan wajahnya di sekolah. Terhitung sudah tiga hari dia tidak masuk dengan alasan sakit. Sejujurnya, aku benar-benar ingin menemui anak itu. Beberapa hari tanpa Gilang membuat imun tubuhku menurun sebab aku sama sekali tidak nafsu makan. Aku sudah berusaha mengirimkan pesan padanya lewat Instagram, tetapi Gilang bahkan tidak membukanya.

"Nau, kantin, yuk!"

Ajakan Melody sama sekali tidak membuatku tertarik. Aku menggeleng singkat sebagai jawaban dan kembali menelungkupkan wajah di atas meja. Melody akhirnya meninggalkanku sendirian setelah mencoba menenangkan dengan berkata bahwa Gilang akan baik-baik saja.

Entah untuk yang keberapa kalinya aku membuka Instagram dan mengirimi Gilang pesan langsung. Namun, sebanyak apa pun aku mengirim, pesan itu tidak pernah dibaca. Kepalaku kembali telungkup sambil sesekali memegangi perut. Kurasa kupu-kupu sialan ini sudah mulai kanibal dan sekarang menggerogoti perutku. Lambungku terasa perih dan mual.

"Nau?" Tanpa menoleh pun, aku tahu pasti bahwa itu adalah suara Sena. Dia mengambil tempat di kursi Selly, berhadapan denganku. "Kamu nggak papa?"

Aku berusaha menghiraukan perhatian Sena dengan menggeleng pelan. Entah dia mengartikan itu sebagai apa. Rasanya aku butuh makan sekarang.

"Makan yuk, Nau."

Kepalaku terangkat. Baru hendak membuka mulut untuk menjawab ajakan Sena, suara beberapa orang tahu-tahu masuk ke dalam gendang telinga.

"Eh? Itu bukannya Gilang?

"Eh iyaa. Itu Gilang masuk!"

Kontan saja kepalaku menegap seraya mencari asal suara yang dimaksud. Mataku memindai keseluruhan kelas sampai aku berdiri untuk memeriksa selasar dari kursiku. Sena juga refleks bangkit sebab kurasa dia mencoba menahan tubuhku agar tidak jatuh. Netraku kemudian berhenti di satu titik di mana seorang laki-laki dengan jaket hitam sedang berjalan di area selasar dengan raut lempeng. Di sebelahnya, tampak sosok yang kukatakan kemarin sebagai kembarannya Ji Chang Wook yang kusintesiskan sebagai kakaknya Gilang.

Tanpa aba-aba, aku langsung lari ke depan kelas untuk menghampirinya. Gilang sama sekali tidak menoleh ke kanan kiri dan hanya berjalan lurus seperti robot. Dia baru berbelok ketika akan menaiki anak tangga menuju lantai atas dan menghilang dibaliknya.

Aku mengikuti dua orang itu dengan sedikit tersaruk dan berhenti dua meter sebelum ruang BK. Gilang dan laki-laki itu memasuki ruangan tersebut setelah dipersilakan oleh Bu Rara.

Satu desahan keluar dari hidungku. Aku berjalan perlahan menuju pintu ruang BK. Dari kaca jendela, kulihat Gilang dan kakaknya berhadapan dengan Bu Rara yang sedang bertanya-tanya. Gilang sih diam saja di dalam sebab kakaknya yang banyak menjelaskan.

Kepalaku terasa pening. Jadi, aku memegangi dahi dan mundur perlahan untuk duduk di kursi yang ada di pinggir balkon sembari menunggu Gilang keluar. Aku benar-benar akan makan setelah ini. Atau, mungkin aku akan pulang ke rumah dan beristirahat. Yang mana pun, intinya akan kulakukan setelah bertanya hal-hal yang ingin aku tanyakan pada Gilang.

Sekitar sepuluh menit setelah bel istirahat menggema, pintu ruang di hadapanku terbuka. Sosok Gilang muncul dari balik pintu seorang diri dengan wajah yang lebih pucat dari biasanya. Dia melirikku tanpa ekspresi, kemudian menutup kembali pintu ruang BK tanpa bicara, meninggalkan sang kakak dan Bu Rara berbincang di dalam.

Aku baru hendak menyapa saat tiba-tiba Gilang lebih dulu menyela, "Ngapain?" Dia berjalan menuju balkon di sebelahku dan menyenderkan tubuh menghadap lapangan. "Udah bel masuk."

Tubuhku bangkit meski dengan sedikit keliyengan. "Ada yang mau aku tanyain."

Gilang terdiam. Fokusnya masih tertuju pada tulisan iklan Good Day di lapangan dan beberapa siswa yang sedang bersiap untuk melakukan olahraga. "Tentang apa? Sena?"

Accismus (VERSI REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang