"Hai!"
Aku menyapa Gilang dengan sangat antusias saat cowok itu masih berada di ambang pintu. Dia merengut melihat tingkah anehku malam hari ini.
"Yuk, masuk!"
Tubuhku bergeser ke kiri untuk mempersilakan Gilang ke dalam. Dua alis si cowok jenius ini saling bertautan, kemudian melepas sepatu dan menatapku penuh keheranan.
"Kamu aneh."
"Makasih. Aku anggap sebagai pujian," kataku sambil nyengir, lantas berlalu meninggalkannya menuju dapur.
Entah roh apa yang merasukiku malam ini. Tapi sejak tadi siang, rasanya aku benar-benar akan menjadikan Gilang sebagai teman terbaik. Aku begitu terharu sampai tidak sadar bahwa yang kulakukan saat ini adalah senyam-senyum di dapur sembari memasukkan es batu ke dalam gelas.
Sebelum memasuki kamarku, Gilang sempat menyipit ke arahku yang masih cengengesan di belakang meja bar. Kubalas tatapan 'kamu gila'-nya dengan 'aku sadar dan aku oke.' Setelah menggeleng-geleng tidak percaya, Gilang memasuki kamarku yang memang sudah ada Sena dan Prita di dalam. Aku pun membawa nampan berisi gelas es teh manis dengan riang. Mama pasti mengira aku sedang jatuh cinta kalau melihatku seperti ini.
Usai meletakkan minuman di tengah, aku duduk bersisian dengan Gilang, menghadap Prita. Kakiku bahkan tidak bisa untuk tidak bergerak sebab aku terlalu senang Gilang datang. Dia menyelamatkanku dari kesuraman hati ini saat melihat Sena dan Prita berdua. Harusnya aku menyiapkan minuman tambahan untuknya.
Paham sedang diperhatikan, lagi-lagi Gilang mendelikku judes. Namun, tentu saja kubalas delikan itu dengan senyum cerah. Sena sampai tidak berkedip menatapku dan Gilang bergantian. Kurasa aku benar-benar gila.
"Jadi, kapan mau dimulai?"
Prita tahu-tahu merusak suasana. Dia juga menatapku sinis sebab aku terus menunda acara latihan ini sampai Gilang datang dengan beralasan, "Gladi resik harus diikuti semua anggota."
Sena sudah siap menyodorkan beberapa kertas puisi dan kunci gitar pada kami. "Ayo, mulai!"
"Tunggu!" pintaku. Keduanya menoleh bersamaan ke arahku yang masih menggeliang-geliutkan badan. Bukannya membalas tatapan mereka, aku malah mengerling Gilang yang baru saja melepas ransel. "Gilang baru dateng. Nanti dulu. Kasihan, dia capek."
Sontak saja semua orang di ruangan ini melotot—kecuali aku, tentunya.
Aku menatap mereka semua bergantian. "Kenapa? Ada yang salah?"
"Selain karena kamu tiba-tiba perhatian sama Gilang?" tanya Sena yang seratus persen mendapat persetujuan dari dua manusia di kanan dan depannya. Dia bahkan kembali menempelkan tangannya di dahiku. "Kamu masih sakit, Nau?"
Aku? Sakit? Tentu saja.
Tangan kananku terangkat untuk menepis segenap perhatian Sena.
"Ya, Sena. Aku lagi sakit. Jadi, tolong dimaklumi." Usai mengatakan itu, aku kembali mengerling Gilang yang menatapku seolah aku orang paling gila di dunia. Dia boleh memberikan tatapan itu sebab aku banyak berhutang padanya hari ini. Apa pun yang Gilang lakukan saat ini, akan kumaafkan.
Kami akhirnya memulai latihan seperti biasa. Hari ini Mama sedang main ke rumah Tante Fani di kompleks sebelah dengan alasan reuni. Aku sih iya iya saja sampai aku sadar bahwa ternyata Mama meninggalkanku di tengah Sena dan Prita. Sebab itu, kedatangan Gilang malam ini menjadi hal yang sangat kutunggu.
Suasana tidak mencekam sama sekali—tumben. Kurasa karena aku yang tidak mengomel di sini. Prita dan Gilang juga menjalankan tugas masing-masing dengan baik. Tidak ada yang protes ataupun berdebat. Namun, entah kenapa ini malah terdengar hampa di telingaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Accismus (VERSI REVISI)
Novela Juvenil"Kotak pos belum diisi mari kita isi dengan isi-isian, siapa yang kena harus terima tantangan!" * Aku Naura, murid biasa-biasa saja yang menyukai Sena, teman sekelas super-famous dalam diam. Tapi karena sebuah permainan konyol yang menyuruhku menyeb...