"GAWAT!"Aku membanting selimut dan bergegas ke kamar mandi setelah melihat jam yang berdentang sudah menunjukkan pukul enam pagi. Mama dan Papa juga sepertinya kesiangan sebab mereka tidak membangunkanku. Setelah semua siap, aku langsung menggedor kamar mereka untuk pamit.
"Ma, Pa, Naura jalan dulu!"
Lima belas menit berlalu. Aku masuk ke area sekolah setelah satpam memberi kode dengan memperlambat penutupan gerbang. Memang sih gerbang masih dibuka, tetapi seluruh murid sudah berbaris dan komandan upacara siap di tempat. Aku tidak bisa berkutik. Sempat kucoba menerobos masuk lewat jalan samping yang mengarah ke kantin, tetapi dicegah oleh guru.
"Mau ke mana kamu?"
"Eh? Anu, Bu. Itu ... hng ... mau taruh tas."
Guru itu pun berdecak. "Taruh tas di samping pos satpam. Kamu terlambat! Upacara di depan, barisan para guru!"
Begitu diperintahkan, aku hanya nyengir kaku dan mengikuti instruksi sang guru untuk upacara di bagian depan. Ini yang aku tidak suka saat terlambat di hari Senin. Aku harus menahan malu selama setengah jam karena harus berdiri di barisan guru, menghadap seluruh siswa.
Bukan tanpa alasan aku berada di sini sekarang. Kemarin, setelah pulang dari makam kedua orang tua Sena, dia memberiku satu tangkai bunga mawar yang dibelinya di Kota Tua. Satu tangkai sebelumnya memang sudah ia letakkan di atas gundukan makam orang tuanya. Aku yang tidak mengerti hanya bisa menatap bunga itu dan Sena bergantian.
"Simpan, Nau. Buat kenang-kenangan," katanya kemarin.
Meski sempat ragu, pada akhirnya aku menerima juga mawar tersebut. Adegan itu terus berputar di kepalaku, bahkan sampai aku tidak bisa tidur semalaman karena memikirkan bagaimana cara menyimpan bunga mawar supaya tahan lama. Hal itulah yang membuatku kesiangan hingga berada di sini sekarang.
Jatuh cinta bisa membuat seseorang jadi gila, ingat?
Selagi pembacaan undang-undang, aku melirik bagian kelasku. Sena berdiri di barisan belakang, bersisian dengan Reyhan. Namun, entah kenapa aku merasa ada sesuatu yang berbeda dari wajahnya.
Dia tidak tampak ceria. Malah, Sena mengikuti seluruh rangkaian upacara dengan pandangan kosong.
Aku terus memerhatikan anak itu hingga upacara selesai. Meski begitu, aku tidak langsung diperbolehkan masuk ke kelas dan harus dibawa ke ruang BK dulu untuk diceramahi dan diberi poin minus. Setelah itu, baru aku diperbolehkan untuk kembali ke kelas.
Begitu sampai di ambang pintu, kulihat Sena sudah duduk di sana dengan menenggelamkan kepala, seolah tertidur. Aku tidak membangunkannya dan sibuk menata buku yang akan kupelajari nanti. Sesekali, kulirik si manis yang masih terpejam. Dia kelihatan sangat lelah. Entah apa yang dikerjakannya semalam.
Tidak ingin larut dengan pemandangan itu, aku meniup poni dan bertingkah seolah tidak terjadi apa-apa—semoga bisa. Namun, sekuat apa pun aku berusaha fokus pada buku-bukuku, wajah pulas Sena tetap mengambil atensiku. Mata cowok ini masih terpejam dengan poni yang menutupi sebagian kelopaknya.
Tadinya aku tidak ingin melakukan apa pun, tetapi tangan bodoh ini sudah lebih dulu menyerobot. Tanpa sadar, aku menyibak surai lembut Sena hingga bisa melihat mata bulatnya yang terkatup.
Sejujurnya aku tidak mau mengatakan ini, tapi figur Sena masih tetap sempurna, bahkan ketika dia tidak terjaga.
"Kalau ada guru, bilangin, Nau."
Eh?
"...."
Suara Sena yang tiba-tiba menghentikan aksi tangan bodohku. Aku panik, semerta menarik jemariku sejauh mungkin dari rambutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Accismus (VERSI REVISI)
Teen Fiction"Kotak pos belum diisi mari kita isi dengan isi-isian, siapa yang kena harus terima tantangan!" * Aku Naura, murid biasa-biasa saja yang menyukai Sena, teman sekelas super-famous dalam diam. Tapi karena sebuah permainan konyol yang menyuruhku menyeb...