Latihan kemarin malam tidak terlalu berguna. Sena terlalu banyak mengoceh karena diajak ngobrol mamaku. Prita juga bilang dia tidak bisa sampai larut malam sementara Gilang tidak mengatakan apa pun dan hanya mengikuti alur ketidakjelasan kelompok ini.Hari ini, sekolah mengadakan acara Bulan Bahasa. Setiap kelas harus mengirim perwakilan untuk menampilkan bakat mereka di bidang bahasa dan seni. Maharani menjadi sukarelawan dan berniat menampilkan monolog di panggung nanti sebagai perwakilan kelasku. Sebuah panggung mini sudah tertata rapi di tengah lapangan dengan dua pewara yang siap memeriahkan acara. Satu dari keduanya adalah Sena.
Aku memerhatikan Sena yang sedang bersiap di pinggir panggung dengan pelantang suara dan sebuah kertas kecil di tangan. Peluh sudah membasahi pelipis si manis, tetapi dia masih bisa tersenyum dan berdiskusi sejenak dengan Dani. Setelah itu, keduanya mulai menaiki panggung. Mereka bercuap dengan santai sambil sesekali memanggil penonton yang mendadak histeris karena melihat Sena.
Bukannya tidak sadar, aku paham kalau atensiku—dan sebagian besar adik kelas—sedang tersedot dalam pesona seorang Sena Ajidarma. Kali ini, dia sedang membetulkan lengan kemeja dan melipat secara rapi hingga siku. Daya tarik Sena bertambah drastis saat dia mengenakan kemeja hitam dan kaos oblong putih seperti ini. Kurasa aku akan membuang kemeja itu besok berhubung pakaian tersebut tidak baik bagi kesehatan jantungku.
Aku bahkan tidak bisa untuk tidak membandingkannya dengan Dani—pewara yang berada di sebelah Sena. Walau kuakui, Dani juga sama gantengnya. Tapi tetap saja, bagiku yang ganteng adalah—
"Nau, lihat Gilang nggak?"
—Gilang.
"Eh?"
Aku tersadar dari lamunan bodohku yang sudah ngalor ngidul. Menoleh ke kiri, mataku mendapati Selly yang memegang selembar amplop cokelat sembari matanya menyusuri isi kelas. Mungkin, dia mengira Gilang akan ada di dalam.
"Nggak, tuh. Kenapa?"
Tatapan Selly beralih ke arahku. "Kalau ketemu, nanti tolong bilangin ya, dia dipanggil Bu Farah ke kantor."
Aku hanya mengangguk iyakan. Setelah itu, Selly meninggalkanku dan berjalan ke arah kantin sekolah melewati murid-murid dari lantai atas yang juga turut lesehan di area selasar gedung.
"Selamat pagi semuanya~" Suara Sena dan Dani dari pengeras suara membuat atensiku teralih. Banyak siswa yang bersorak begitu sang pewara memulai acara.
"Apa kabar, nih? Masih semangat kan ya untuk acara Bulan Bahasa hari ini? Nah, tapi sebelum itu—"
Aku tidak bisa mendengar lanjutan kalimat tersebut dengan jelas sebab mataku tidak bisa dikontrol untuk melihat Sena dari sudut ini.
Dani beserta Sena melipir ke sisi kiri panggung seraya menunggu penampilan dari kelas 10 berakhir. Namun, disebabkan area di sana begitu terik, keduanya jadi berjalan melewati lapangan menuju selasar untuk berteduh. Dani sempat dipanggil Bu Rania, jadi dia memutar tumit dan pergi menemui beliau di depan lobi. Sementara itu, Sena masih lanjut melangkahkan tungkainya dengan santai disertai gerakan menyugar rambut.
Ya Tuhan ...
Pemandangan indah macam apa ini?
Siapa pun yang menjadi pasangan Sena nanti, dia pasti sangat beruntung karena bisa mendapatkan—
"Naura."
—Naura.
Eh?
Lagi-lagi aku melamun. Aku menoleh dan mendapati Gilang yang memanggil dari sisi kanan.
"Aku?" tanyaku menunjuk diri.
Bukannya jawab, cowok bermata kucing itu malah mengedikkan dagu dan berkata, "Kelas." Kemudian berlalu begitu saja memasuki kelas kami.
![](https://img.wattpad.com/cover/315555529-288-k211621.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Accismus (VERSI REVISI)
Teen Fiction"Kotak pos belum diisi mari kita isi dengan isi-isian, siapa yang kena harus terima tantangan!" * Aku Naura, murid biasa-biasa saja yang menyukai Sena, teman sekelas super-famous dalam diam. Tapi karena sebuah permainan konyol yang menyuruhku menyeb...