1 ✿ Satu Kelompok

1.9K 190 103
                                    


"Jadi, gimana hubungan kamu sama Gilang?"

Gerakan tanganku terhenti saat sesosok cowok ganteng tiba-tiba mendaratkan bokong di kursi Amira, persis di hadapanku. Dia menopang dagu dengan tangan sambil tersenyum manis.

Aku menghela napas. Berusaha untuk tidak terlihat grogi setiap kemunculan laki-laki ini.

"Aku baru tahu kalo di kelas ini punya konselor percintaan," sinisku, tetapi Sena malah tertawa.

"Eh, tapi kalian cocok lho, Nau," seru Sena sementara aku menyipit. "Yah, maksudnya ... mungkin obrolan kalian bakal nyambung karena kan Gilang bisa ngikutin semua pelajaran tuh. Mungkin, kamu bisa ngobrolin puisi berdua bareng dia?"

Kalau itu bukan ide buruk, maka kutegaskan bahwa itu adalah ide superburuk yang pernah kudengar.

"Menurutmu?" sinisku. "Aku bakal diskusi sama Gilang tentang apa? Siapa penemu puisi pertama di dunia? Terus abis itu kami sama-sama mencari tahu asal usul kenapa puisi bisa ada macam-macamnya, gitu-gitu?"

"Atau mungkin kalian bisa sama-sama mencari tahu alasan kenapa benih-benih cinta bisa tumbuh?"

Aku menendang kaki Sena supaya ia berhenti mengocah. "Jangan ngelawak deh, Sen!"

Gelak tawa Sena berbanding terbalik dengan ekspresi merengutku. Lagian kenapa sih dia masih di sini? Nanti kalo aku sudah selesai menyalin tugas juga pasti buku matematikanya aku kumpulin, kok!

"Omong-omong, kamu udah bilang Gilang, Nau?" Cowok ganteng ini mengambil kegiatan lain dengan mencorat-coret meja belajarku.

"Soal apa?"

"Soal kamu yang suka sama dia."

"...."

Menyadari bahwa aku baru saja berhenti menyalin tugas, Sena langsung mengalihkan pandang padaku dan memasang cengiran cerianya. Bertanya lewat ekspresi, 'apa aku salah?'

Aku mendengkus. "Sen," panggilku, mengangkat pulpen. "Pernah ngerasain dilempar pulpen faster, nggak?"

Cowok manis itu tergelak. "Pernahnya ngerasain dilempar cinta sama semua orang sih, Nau—AKH!"

Kulempar saja pulpen tersebut ke arahnya. Cowok itu meringis sesaat, kemudian terkekeh seraya mengambil alat tulisku yang jatuh di dekatnya.

"Galak banget, Nau." oceh Sena. Aku baru saja menghela napas begitu tiba-tiba si manis melanjutkan, "Kalau ceweknya galak kayak gini, biasanya cowoknya sabar kayak Gilang."

"...."

Posisiku membatu dengan tangan di udara. Menyadari bahwa aku mungkin saja melemparnya dengan bolpoin untuk yang kedua kali, buru-buru Sena menurunkan tangan dan menyembunyikan pulpen tersebut dari pandanganku.

Dia memasang cengiran polos. "Kalau suka sama orang itu, Nau, langsung gas aj—AAHH!"

Beberapa murid menoleh karena rintihan Sena sebab aku menarik rambutnya begitu saja.

Salah siapa yang bilang kalau suka sama orang harus langsung gas? Iya, ini aku gas, Sena!

"Ngomong sekali lagi sama meja!"

"Aw—Nau! Ampun! Rambutku—AAKKHH!"

Aku tidak bisa bersabar lagi! Aku kesal! Aku tidak suka dengan Gilang! Lagi pula kenapa sih Sena harus duduk di depan mejaku dan meledekku ini itu? Aku kan grogi!

"Naura."

"APA?!"

Tanpa sadar, nada bicaraku naik. Aku baru sadar kalau orang yang baru saja memanggilku itu bukan Sena sebab dia masih merintih kesakitan di meja Amira. Menoleh ke kanan, netraku menemukan Gilang yang tiba-tiba menjulang di samping kursiku. Mataku membola, lantas cepat-cepat menarik tangan dari rambut Sena.

"Ke-kenapa?"

Sena mengusap kepala dan mengikuti arah pandangku. Matanya turut melebar ketika menemukan sebuah fakta bahwa Gilang menghampiri kami. Maksudku, ini Gilang! Dan dia tidak pernah menghampiri siapa pun kecuali meja belajarnya!

Cowok jangkung yang sedari tadi kami bicarakan itu melirikku dan Sena bergantian.

"Sekarang aja," kata Gilang datar, membuatku mengernyit. "Ngumpulnya," lanjutnya lagi begitu mendapati ekspresiku yang tidak mengerti.

"Ngumpul ... apa?"

"Musikalisasi puisi."

Aku menganga. "Sebentar. Kita ... sekelompok?"

Gilang mengangguk dan di luar dugaan malah mengambil tempat duduk di ... sampingku.

Posisiku saat ini memang berada di pojok kelas bagian kiri. Sedari tadi, Sena duduk di kursi depanku, sementara kursi sebelah kananku yang biasanya ditempati Melody masih kosong karena perempuan itu sedang pergi ke kantin untuk makan siang hingga Gilang datang dan menempatkan bokongnya di atas sana.

Aku dan Sena melongo tidak percaya.

"OH IYA!" Si manis mendadak berseru sambil menepuk telapak tangan, membuatku mengalihkan perhatian padanya. "Aku lupa bilangin kamu, Nau. Aku, kamu. Gilang, dan Prita satu kelompok buat musikalisasi pui—"

"HAH?" Kok bisa? "Maksudku, kenapa—" Aku tidak bisa melanjutkan kalimat sebab Gilang mewawasku dengan ekspresi dinginnya. Jadi, aku malah tergagap. "Ya-ya ud-udah. Te-terus, gimana?"

Aku mengerling Sena. Berharap dia membantuku kali ini. Tapi, rupanya aku salah memilih sekutu!

Aku yakin cowok ganteng ini sadar bahwa aku mengirim sinyal s.o.s. Tetapi bukannya memadamkan api, dia malah mengambil bensin.

Dengan polosnya, Sena nyengir dan berkata, "OKE! Kalo gitu aku panggil Prita!"

"Lho? Sen, tungg—"

Terlambat. Dia sudah menghilang di balik pintu.

Sial!

Suara-suara tak kasat mata seperti, "Ciee," dan sebagainya memenuhi indera pendengaranku. Membuatku sadar kalau saat ini aku malah duduk dengan Gilang yang digosipkan aku sukai!

Gilang sendiri tidak ambil pusing dengan itu dan malah menidurkan kepalanya dengan bertumpu pada lengan kanan, membuat cowok itu malah menghadapku.

Aku memang tidak menyukai Gilang, tapi kalau ditatap intens dari jarak sedekat itu kan aku juga grogi!

Alhasil, tubuhku bergerak-gerak gelisah seolah sedang menduduki kaktus. Mencoba cari kegiatan lain, tapi yang kutemukan malah sebuah coretan nyaris abstrak milik Sena yang diukir di atas meja belajarku.

Aku menyipitkan mata dan sedikit menelengkan kepala untuk melihat tulisan itu sampai aku sadar apa yang tertulis di sana.

Naura ♡ Gilang.

"HAH?"

Mataku melotot, kemudian buru-buru menutupi tulisan itu dengan buku tulis matematika.

Sena sialan!

Sekarang, aku hanya bisa berdoa agar coretan ini bisa hilang dengan sendirinya.



🌸 Bersambung 🌸

🌹

AUTHOR NOTES :

WKWKWK SABAR YA NAU

Nai

Accismus (VERSI REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang