Perhatian! Perhatian!
Dengan ini, kuumumkan pada seluruh perempuan yang ada di muka bumi untuk berhenti berceloteh, sebab akan berdampak buruk apabila dilanjutkan.
"Kamu ... suka sama aku, Nau?"
Mendadak, napasku jadi sesak. Aku melotot lebar saat Sena dengan teganya mengulang informasi pasti. Mulutku bahkan sudah menganga dengan jantung yang berdentum sepuluh kali lebih cepat. Kuharap pembulu darahku tidak pecah setelah ini.
Sena juga sama terkejutnya, membeliak dengan alis terangkat tinggi-tinggi seakan menunggu jawabanku. Aku sendiri ketar-ketir di tempat. Tidak berani menyanggah atau pun memvalidasi pertanyaan Sena.
Tamatlah riwayatku ....
Apa yang harus kukatakan pada Sena? Dengan alasan apa aku harus menjawabnya?.
Oke, ada dua pilihan: Pilihan pertama, aku akan berbohong dan pura-pura membahas tentang perasaan lain—apa pun itu, yang jelas bukan soal perasaanku pada Sena. Kedua, aku akan berkata jujur dan menghilang dari kehidupan Sena sejauh-jauhnya sebab dia mungkin akan merasa ilfiel padaku setelah ini.
Bibir masih kugigit hingga rasanya nyaris berdarah. Tumitku terus bererak semakin cepat. Ayo berpikir, Naura. Berpikir!
"Nau, kamu—"
"STOP!" sambarku cepat-cepat sebelum Sena kembali mengeluarkan suara. "Aku ... aku nggak enak badan. Aku harus pulang. Kamu udah bilang guru, kan? Udah bilang mamaku, kan? Oke, makasih," imbuhku, semerta meninggalkan Sena di UKS.
Sempat kudengar si manis berteriak, "Lho, Nau? Sini aku antar!" Tetapi aku mengangkat tangan ke atas, pertanda menolak. Dia gila!
Oh, bukan. Aku yang gila!
Terima kasih mulut. Kuharap kisah hidupku tidak bertambah rumit setelah ini.
🌸🌸🌸
Setelah insiden pernyataan itu, aku pulang ke rumah dengan menaiki ojek. Mama benar-benar tampak khawatir melihatku yang lemah, lesu, dan tidak berdaya. Beliau bahkan sampai menuntuntunku masuk kamar dan menjadikanku layaknya tuan putri selama aku sakit.
Ini adalah hari kedua aku berada di rumah sebab masih tidak sanggup melihat Sena. Dua hari ini yang kulakukan adalah berbaring sambil sesekali melirik akun Instagram Gilang dan Sena—aku menggunakan akun kecil untuk mengikuti Instagram Gilang yang terkunci. Untungnya di-acc, tapi tidak ada foto apa pun—Entah perasaan apa yang merayapi tubuhku hingga aku melakukan kegiatan yang sebenarnya tidak terlalu bermanfaat ini. Otakku tidak bisa berhenti memikirkan dua orang itu.
Apa kabar dengan Gilang? Apa dia juga menghindariku karena sudah mengakui perasaannya? Bagaimana dengan Sena? Apa anak itu sekarang sedang melakukan aksi pemblokiran masal terhadap semua akun sosial mediaku? Yang mana pun, intinya, aku tetap bingung harus bagaimana saat bertemu mereka berdua nanti.
Suara ketukan di pintu rumah berhasil mengusik keramaian pikiranku. Dengan malas, aku turun dari ranjang dan beringsut lemah ke arah pintu masuk. Mama bilang bahwa tadi dia akan membeli ayam bakar untuk makan malam nanti sebab ayahku akan pulang sekitar pukul tujuh.
Saat kupikir Mama sedang memesan paket, aku pun berteriak, "Taruh paketnya di teras aja, Mas." Kemudian tetap melangkah lamban menuju pintu. Maksudku, kan kasihan kalau kurir tersebut menungguku yang sedang berjalan lemah, lesu, dan tidak berdaya ini.
Begitu aku tidak menemukan tanda-tanda suara kurir, aku membuka pintu dengan malas dan menemukan sosok cowok ganteng berseragam SMA yang tersenyum lebar. Tak lupa, dia berkata, "Paket!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Accismus (VERSI REVISI)
Novela Juvenil"Kotak pos belum diisi mari kita isi dengan isi-isian, siapa yang kena harus terima tantangan!" * Aku Naura, murid biasa-biasa saja yang menyukai Sena, teman sekelas super-famous dalam diam. Tapi karena sebuah permainan konyol yang menyuruhku menyeb...