Setelah adegan pelukan—maksudku, adegan curhat—kemarin, Sena kembali bersikap biasa saja. Kuanggap biasa saja karena dia sudah balik ceria meski tak menutup kemungkinan di mana aku melihat anak ini beberapa kali mengurung diri di kantin dan menjauhi kerumunan. Tapi, jika aku menemukan Sena seperti itu, aku pasti akan langsung menariknya menuju kelas atau setidaknya menemani anak itu di kantin.Soal Gilang ... entahlah. Aku tidak bisa mengatakan cowok itu kesal, cemburu, atau biasa saja saat melihat kedekatanku dan Sena belakangan ini. Raut wajahnya masih sama: datar, dan itu sama sekali tidak membuatku paham apa artinya. Tapi, sebisa mungkin aku mencoba bersikap biasa saja di depannya, kok.
Malah, kulihat sekarang Gilang lebih sering berbincang dengan Prita—entah apa yang mereka bahas, aku tidak ingin memikirkannya. Fokusku untuk saat ini adalah Sena dan bagaimana cara agar anak itu tidak berpikir hal-hal aneh lagi seperti waktu itu.
"Hai, Nau," sapanya ceria, semerta duduk di kursi
Normalnya, aku hanya akan berdeham dan tidak mau mengamati gerak-gerik anak ini dari dekat. Tapi, hal yang kulakukan sekarang justru berbanding terbalik.
Yap. Aku membalas senyum Sena sambil berkata, "Hai juga." Membuat cowok manis ini melunturkan senyum dengan kedua mata terbelalak tidak percaya. Melihat itu, senyumku ikut turun perlanan. "Kenapa?" Apa segitu anehnya aku berkata 'hai'?
Sena menggeleng cepat, kemudian meletakkan tasnya di atas meja. "Nggak papa. Tumben kamu balas say hi."
Tuh kan!
Aku menghela napas. "Segitu anehnya, ya?" tanyaku asal. Namun, Sena malah mengangguk sebagai jawaban pasti. Membuatku memukul pelan lengannya dengan pulpen. "Ish!"
Sebuah tawa jenaka keluar. "Bercanda, kok. Aku seneng kalau disapa balik," tutur Sena dengan senyum sejuta pesona sambil menepuk pelan bahuku.
Mendengar itu, aku kembali mengangkat senyum. Sena berceloteh tentang beberapa hal sebelum bel masuk berbunyi. Aku mendengar dia menyebutkan beberapa kata seperti 'Shana' dan 'teater'. Namun, aku tidak terlalu fokus sebab kini aku malah mengamati wajahnya yang tampak santai dan rileks.
Tak lama kemudian, bel masuk berbunyi. Wali kelas kami datang sebab hari ini upacara ditiadakan karena sedang hujan sehingga diganti dengan pembinaan wali kelas. Sekitar dua puluh menit Bu Farah memberikan banyak petuah seperti perihal ujian-ujian yang akan kami lalui, persiapan masuk universitas, dan sebagainya. Masih ada waktu lima belas menit lagi sebelum bel pelajaran pertama berdering. Jadi, beliau memanfaatkan durasi tersebut dengan membagikan selembar kertas undangan dari sekolah.
"Ini ada undangan untuk rapat orang tua dan guru, ya, buat hari Kamis nanti. Dimohon supaya salah satu dari orang tuanya bisa hadir karena guru-guru mau mengadakan sosialisasi ujian sekolah yang berbasis komputer." Begitu kira-kira vokal Bu Farah yang sampai di telingaku sebab dari tadi aku sibuk mengoper lembar undangan ke kursi bagian belakang. Setelah terbagi rata, aku memerhatikan isi kertas putih tersebut.
Lain halnya denganku yang sibuk membaca kalimat demi kalimat yang ada di lembar undangan, Sena justru enggan melihatnya dan langsung memasukkan undangan ke dalam tas. Tidak ada rona apa pun di wajah si manis saat melakukan itu. Begitu Bu Farah selesai dengan tugasnya sebagai wali kelas, beliau pergi meninggalkan kami yang masih menyisakan waktu sepuluh menit lagi sebelum bel pelajaran selanjutnya dimulai. Beberapa murid memilih untuk memakan bekal sarapan mereka, sementara aku memutuskan untuk memerhatikan Sena.
Jujur, aku sedikit penasaran dengan Sena. Saat pembagian rapor atau acara rapat orang tua dan guru nanti, siapa walinya yang akan datang, ya?
Sadar sedang aku tatap, cowok ganteng ini menoleh dengan air muka bingung. "Kenapa, Nau?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Accismus (VERSI REVISI)
Novela Juvenil"Kotak pos belum diisi mari kita isi dengan isi-isian, siapa yang kena harus terima tantangan!" * Aku Naura, murid biasa-biasa saja yang menyukai Sena, teman sekelas super-famous dalam diam. Tapi karena sebuah permainan konyol yang menyuruhku menyeb...